BRUTUS PILKADA

 

BRUTUS PILKADA

Oleh Eko Nurwindarto 

          Benarkah adagium kuno dalam rimba raya politik yang berbunyi tiada kawan dan lawan yang abadi juga terjadi secara kasat mata dalam ranah perpolitikan kita?  Padahal telah sering didaku bahwa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi keramahtamahan, kejujuran, gotong-royong dan seabrek nilai kearifan lokal nan mulia lainnya. Artinya adagium machiavelian tersebut seharusnya tidak bisa tumbuh di negeri gemah repah loh jinawi ini.  Politik yang berlangsung adalah politik yang santun dan ramah lingkungan.  Politik yang mengedepankan kerja sama tulus ikhlas, bahu membahu, berat sama dipikul ringan sama-sama dijinjing demi sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan rahayat.  Warna bendera partai bisa berbeda, tetapi tujuan perjuangannya sama.  Bentuk program partai bisa tidak sama, namun isi programnya tetap satu tujuan yaitu demi kejayaan bangsa.  Bila memang demikian, akan indah nian mozaik perpolitikan kita.  Artinya kemakmuran dan kesejahteraan nasional yang selalu didamba akan cepat-cepat menjadi nyata. 

           Namun pada kenyataannya  belumlah demikian.  Di setiap ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) misalnya, tarik ulur kepentingan, kalkulasi primordial, target partai dan pengaruh golongan masih nampak mewarnai.  Jika ada seorang balon (bakal calon) bupati/walikota dari partai X dan jumlah kursi politiknya belum memenuhi syarat untuk mengajukan calon, maka tentu harus menggandeng balon wakil bupati/walikota dari partai Y demi terpenuhinya syarat pengajuan calon. Pada saat proses mengawinkan dua balon itu terjadilah gerilya tawar-menawar.  Namun karena dasar dari "perkawinan" dua balon itu bersifat kontraktual semata, maka jika keduanya terpilih, di tengah jalan akan rawan menuai disharmoni.  Sering terdengar berita dimana seorang kepala daerah tidak lagi kompak dengan wakil kepala daerahnya.  Tak lagi mesra seperti saat kampanye.  Tidak lagi nampak seia-sekata seperti ketika mereka mendaftar di KPUD yang gempita-meriah dikawal oleh gerombolan simpatisannya dengan iringan aneka tetabuhan.  Menurut data yang dilansir oleh Kementerian Dalam Negeri ditemukan fakta bahwa hanya sekitar 5 % saja kepala daerah yang tetap akur. Selebihnya tentu akan senantiasa disibukkan dengan aneka jurus persiapan untuk menghadapi mega pertarungan dalam gelanggang pilkada berikutnya.

        Cerita selanjutnya dari keadaan disharmoni tersebut akan lebih dramatik lagi.  Keduanya kemudian akan pasang kuda-kuda untuk dalam pilkada berikutnya menjadi pesaing bagi yang lainnya.  Perkawinan politik itu telah tercerai, entah disebabkan oleh idealisme, ambisi pribadi atau karena terbakar oleh "kompor partai" (dalam tiap partai selalu ada sumbu-sumbu/tokoh-tokoh yang cerdik dalam memantik api politik).  Pada saat disharmoni itu terjadi, sementara masa jabatan kedua petahana tersebut belum jatuh tempo, maka akan terjadilah wajah kepemimpinan yang seolah seperti status quo.  Bisa jadi bila sang bupati/walikota melangkah ke kanan, maka wakilnya akan berlari ke kiri atau memilih tidak ke mana-mana.  Seolah mereka saling mengintip manuver politik masing-masing. Mereka akan menjadi super sibuk untuk setor muka kepada warga masyarakat yang sekiranya dianggap  potensial sebagai lumbung suara dalam pertarungan pilkada nanti. 

           Dua kolega yang semula merupakan kawan, dalam hitungan ambisi lantas menjadi lawan dengan menyimpan senjata politik masing-masing.  Dan senjata itu akan saling dibidikkan dalam pertempuran sesungguhnya.  Sebab tidak elok jika mereka buru-buru secara frontal saling menjatuhkan pada saat masih berada di panggung pemerintahan.  Tafsir dari senjata politik itu bisa berupa segebung gagasan dan investasi sumber daya.  Sang wakil bupati/walikota tak akan begitu saja mau menyerahkan gagasan brilian kepada bosnya terkait upaya untuk memajukan daerahnya. Gagasan itu akan ia masukkan ke dalam inkubator pribadi untuk nanti disemai dalam ajang kampanye pilkada. Bersama tim sukses yang diam-diam dibentuk jauh-jauh hari, upaya mem-branding dirinya pun dilakukan serupa gerakan bawah tanah.  Sebab untuk bisa terpilih, masing-masing memang harus memiliki keunggulan komparatif yang signifikan. Termasuk menghimpun kolega-kolega strategis entah itu famili, kawan kos yang telah sukses, mantan kekasih yang menjadi pengusaha, dan sobat karib lainnya yang bisa dijadikan "ATM berjalan".  Mereka semua adalah sumber daya strategis untuk meraih tahta.  Maka helatan pilkada itu menjadi seru seperti nukilan sejarah yang sering didramakan dengan kutipan dialog yang melegenda.  "Et tu, Brute ?!!," kata Julius Caesar dengan masgul kepada bawahannya bernama Brutus yang ternyata tidak sehaluan politik lagi.
                              

Pilkada Para Negarawan


             Dari periode ke periode kita selalu disuguhi tontonan pilkada yang begitu-begitu saja.  Rakyat sebatas beranggapan bahwa pemilukada itu sekedar ibarat menyaksikan pertunjukan sesaat.  Sebab banyak digelar pentas dangdut (entah apakah dibolehkan di masa pandemi covid 19 ini). Ada hamburan uang receh dan arak-arakan sepeda motor dengan suara knalpot yang memekakkan gendang telinga sambil mengacung-acungkan kibaran bendera.  Sistem pilkada yang kita anut rasanya belum mampu melahirkan pemimpin daerah yang didambakan. Jangan-jangan tumbuhnya pemimpin daerah yang handal bukan disebabkan oleh sistem pemilihan itu, namun karena kecakapan personality seseorang (seperti Ahok saat masih menjabat, Tri Rismarini, Saeful Anwar, Ridwan Kamil).

            Siapapun kontestan yang berkenan maju dalam pilkada pastilah akan memberikan pencerahan perihal hidup berbangsa kepada masyarakat.  Sedangkan perkara kalah atau menang, sepenuhnya hal itu akan menjadi persoalan kontestan.  Misalnya: kami sebagai rahayat tentu tak akan mampu ikut menanggung beban hutang janji-janji sang kontestan (bila menang), apalagi (bila kalah) sampai hutang baner, spanduk, brosur, pamflet, kaos, rompi, poster, kalender, sticker, baliho, buket bunga, sewa tenda,  sound system, penyanyi ndangdut, snack, katering, pemodal, pager ayu kampanye, rokok tim sukses, bahan bakar mblayer motor, promo di medsos, desain audio-visual, lembaga survey, mug bergrafir, bendera yel-yel, dll.

            Sejak lama pula sistem pemilihan penjaringan calon berlangsung secara unik. Di pusat antara partai A berkelahi dengan partai B yang dibela oleh partai C dan partai D menyorakinya.  Sementara di daerah justru terjadi perkawinan mesra antara partai A dengan partai B yang dipasok suara pula oleh partai C dan D.  Bolehkah jika kelaziman lucu dan sudah ngoyot (mengakar) itu dinamai SISTEM PEMILIHAN OPORTUNISTIK ? 

       
             Pada saat kampanye pilkada sering kita lihat para calon pemimpin yang dengan berapi-api ingin mati-matian membangun daerahnya.  Dengan besaran biaya kampanye tak terhingga jumlahnya, semua calon merasa program-programnyalah yang paling jitu akan bisa mengangkat kemajuan daerah beserta warganya tanpa kecuali.  Masing-masing calon pun sesungguhnya menyadari bahwa hanya akan ada satu pemenang dalam perhelatan pilkada itu.  Maka sebuah kota yang semula hiruk pikuk dengan pesta pilkada itu pun kemudian akan mendadak senyap manakala KPUD telah mensahkan sang pemenang.  Lantas ke manakah para calon yang tidak menang? Kebanyakan seperti ditelan bumi, nyaris tidak ada lagi media yang memberitakan.


          Padahal seperti halnya sang pemenang, mereka yang kalah itu sesungguhnya adalah putra-putra terbaik daerah juga.  Pada saat kampanye mereka mengaku memiliki semangat, visi-misi, program, lobi-lobi, simpatisan dan sumber daya lainnya untuk memajukan daerahnya.  Apakah hanya karena kalah biting atau kalah suara kemudian segenap potensi handal sumber daya manusia dan modal pembangunan itu akan menjadi sia-sia belaka? Bagaimana jika para calon yang kalah dalam pilkada itu dibukakan pintu agar tetap bisa berbakti kepada daerahnya?  Niscaya daerah tersebut akan beroleh berkah pembangunan yang berlipat-lipat karena akan digelontori dengan ide-ide dari putra-putra terbaiknya. Calon terpilih pun akan beroleh dukungan serta partner yang lebih signifikan daripada sekedar berpartner dengan wakil terpilih dalam satu paket yang biasanya tidak begitu kentara platform gagasan-gagasannya.  Selain sang pemenang akan mendapat dukungan berlimpah, calon yang kalah suara pun tidak lagi perlu bersembunyi apalagi harus sibuk menyusun kekuatan untuk menjadi pecundang.  Dengan semangat menjadi negarawan, semua calon baik yang kalah maupun yang menang tetap bisa berjuang buat kemajuan daerahnya.
           Harapan seperti tersebut di atas mungkin saja bisa terlaksana asalkan aturan baru pilkada dibuat demikian: Peraih SUARA TERBANYAK PERTAMA dalam pilkada diangkat menjadi BUPATI/WALIKOTA, peraih SUARA TERBANYAK KE DUA diangkat menjadi wakil bupati/walikota, SUARA TERBANYAK KE TIGA dilantik menjadi sekretaris daerah.  Dan apabila peserta pilkada ada 4 calon, maka peraih SUARA TERBANYAK KE 4 bisa saja diangkat sebagai KEPALA PERPUSTAKAAN DAERAH!!  

      Dengan demikian semua peserta pilkada akan bisa memiliki panggung untuk mencurahkan ide-ide bagi daerahnya.  Efek dominonya, kota dan warganya akan senang-bahagia tak terkira karena memiliki pemimpin-pemimpin yang BERJIWA NEGARAWAN.  Dan "brutus-brutus kekinian" yang biasanya muncul dari sang wakil (paketan) yang merasa hanya dianggap sebagai ban serep belaka pun akan menjadi terlenyapkan.  

     *Eko Nurwindarto, pernah kuliah di FISIP UNDIP, mantan TKI Taiwan, pengelola                perpustakaan swasta, tinggal di Temanggung, Jateng.

    


 

 

Komentar