CELOTEH ORANG PINGGIRAN (kumpulan artikel)






CELOTEH ORANG PINGGIRAN   

SEKEDAR PENGHANTAR 

      Yuk, menjadi pemikir kecil-kecilan !! Seusai lari pagi saban Rabu serta Minggu dan lantas mempir di "Warung 100 Tahun" depan Telkom Temanggung, saya seperti masuk sebuah "kampus".  Di warung itu sering terdengar "mata kuliah" dibicarakan.  Tentang politik, perihal ekonomi, masalah efek kebijakan, dan ribuan "materi perkuliahan" yang lain.  "Dosen" dan "mahasiswa" di "kampus" itu berdiskusi begitu seru, namun tentu dengan sudut pandang mereka.  Sudut pandang rakyat kebanyakan.  "Mahasiswa" yang ngeteh dan ngopi pun berasal dari berbagai kalangan.  Ada pegawai, karyawan, pensiunan, dll.  Dan sering sekali mereka terlibat perbincangan hangat tentang aneka topik lokal maupun nasional.  Di tengah perbincangan "para pemikir informal" itu, sering saya dengar ide-ide bagus terlontar.  Ada yang mendebat, lebih banyak pula yang pasif menyimak serta mengangguk-angguk saja. 
         
         Sesungguhnya dalam diri setiap rakyat, terpapar beragam disiplin ilmu sehingga berhak juga untuk ngomongin aneka ilmu itu secara sekaligus tanpa harus dipenjara oleh "arogansi" disiplin ilmu tertentu.  Seorang rakyat boleh ngomong tentang arsitektur misalnya, yakni ketika hendak membangun rumah.  Sekaligus pula bisa mengutuki ilmu hukum pada saat ia tertimpa ketidakadilan serta dapat pula beropini tentang ilmu tata boga ketika ia menempuh wisata kuliner atau minum dawet di pinggir jalan.  Rakyat adalah konsumen langsung dari beragam ilmu !!   Warung 100 tahun itu (dan juga di berbagai angkringan) adalah serupa sebuah "kampus" di mana seseorang boleh menjadi "mahasiswa" selamanya, dan "sang dosen" pun tidak perlu mengenal pensiun.  Kampus yang mampu merangsang berahi untuk belajar di sepanjang hayat.  Mungkin sebutan yang tepat bagi aktifitas penghuni "kampus seperti itu" bukanlah berdiskusi atau berdebat ya, namun sekedar berceloteh.  Nah, terinspirasi oleh kemerdekaan berpendapat ala "kampus rakyat" itulah, perkenankan saya sebagai rakyat kebanyakan juga ingin berceloteh tentang segenap hal.  Celoteh tersebut selengkapnya terangkum dalam blog ini.  

          Celoteh dari rakyat kebanyakan tersebut statusnya sebagai selingan saja.  Sebab kita tentu tetap membutuhkan tulisan atau pemikiran dari para pakar atau ilmuwan sesuai dengan kompetensinya.  Tulisan dari rakyat tersebut selayaknya umpan yang selanjutnya bisa diolah oleh ahlinya.  Rakyat biasa kiranya layak pula diberi ruang-ruang intelektual sebetapapun sederhananya.  Sebagai rakyat biasa yang menggemari dunia literasi, aktifitas menulis saya sebenarnya sudah lama yakni semenjak SMA dan berlanjut ketika mahasiswa.  Tulisan-tulisan ilmiah populer yang dimuat di surat kabar sewaktu kuliah saat itu, antara lain saya susun berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan kaum lemah atau kelompok yang terpinggirkan,  Mereka bisa masyarakat desa, rakyat miskin pinggiran kota atau pengusaha kecil di mall besar.  Saya coba tangkap harapan-harapan dan teriak-jerit mereka !! 

      Pada mulanya terasa excited ketika tulisan saya bisa dimuat di koran.  Setidaknya beroleh identitas sebagai "penulis" di mata teman-teman aktifis kampus (derajat pun naik dari profesi sebagai penjaga warung makan).  Ada aktualisasi dan value diri serta beroleh honor pula.  Namun......entah mengapa ketika secara fisik atau face to face saya berjumpa kembali dengan mereka (kelompok terpinggirkan) yang menjadi bahan tulisan saya: mendadak terbersit rasa malu !!  Timbul desir rasa gundah gulana dalam diri: Mereka mendapat manfaat apa dari tulisan saya itu ?!  Rasanya artikel saya tersebut tidak memberi efek apa-apa bagi hidup mereka.  Rasanya kok  naif pula bilamana hasil karya tulis itu saya sodorkan kepada mereka.  Apalagi jika harus sambil mengatakan: Ini nasib kalian sudah saya perjuangkan !!   Juga yakin bahwa artikel-artikel tentang kemasyarakatan itu pun tidak dibaca oleh para pemangku kebijakan publik.  Kiranya tak mungkin pula bila honor tulisan, saya berikan kepada mereka.  Selain tidak seberapa, juga kok terkesan sporadik-karitatif !!   

  


           Gebu pemikiran yang kayak gitu selalu menghantui jiwa muda saya waktu itu.  Resah dan terus mencari-cari.  Akhirnya timbul tekad kuat untuk berjuang dengan lebih konkrit lagi.  Kemudian aktifitas menulis saya hentikan, tetapi gairah idealisme itu saya "konversi" menjadi: TERUS BERGAGASAN DAN BERJUANG MEWUJUDKANNYA !!  Berkobar semangat ingin bisa mendirikan sebuah lembaga yang eksis di tengah masyarakat.  Inilah KREDO LITERASI yang saat itu saya peluk.  Gagasan yang hanya ditulis, cenderung akan menguap.  Sedangkan gagasan yang diperjuangkan secara konkrit, berpeluang terwujudkan dan bisa dinikmati oleh mereka yang tidak bisa/biasa menulis atau bahkan tidak suka membaca sekalipun.  Barangkali itulah beda antara PENULIS dengan PENGGAGAS.  Dan gagasan yang waktu itu paling mengkristal dalam benak adalah membangun SANGGAR BACAAN. 

          Selain sekumpulan artikel atau sekedar celoteh komunikatif dengan memasukkan kearifan lokal di dalamnya, blog dengan entri CELOTEH ORANG PINGGIRAN ini bertaut pula dengan entri AjariKamiMenulisPuisi dan RIMBA PUISI TEMANGGUNG yang memuat sejumlah karya berupa puisi.  Namun tidak semata bertujuan agar blog ini tampil beda dengan blog-blog yang lain.  Penautan artikel sekaligus digabung dengan puisi menjadi satu bundling tersebut adalah karena ingin merangkai perjalanan sebuah sejarah literasi.  Berbeda dengan ketika menikmati tulisan berupa cerita pendek atau artikel yang terasa agak lebih mudah dalam mengikuti alurnya, saat itu ketika menyimak sebuah puisi betapa timbul kesulitan dalam menafsir maksud atau makna yang terkandung dalam puisi.  Dan kesulitan-kesulitan yang menghadang itu justru memantik rasa penasaran guna lebih jauh menggumulinya.  Sejak SMA pergulatan itu dimulai dan jejak-jejak karya berupa puisi itu ikut termaktub dalam blog sederhana ini.  Sehingga tidak segan-segannya saya senantiasa merasa bersyukur bahwa ketika muda sudah dikenalkan dengan puisi, dan mencoba bergelut di dalamnya secara cukup intens. 

       Dengan puisi itulah khususnya serta sastra budaya pada umumnya, saya merasa lebih bisa memahami dan kemudian merawat apa yang dinamakan dengan budi pekerti.  Sebab dalam puisi terkandung geliat logika, pendalaman perenungan serta penghayatan atas teks yang dibangun dalam sosok puisi.  Dus, dalam puisi ada percengkeramaan yang harmonis antara otak kanan dan otak kiri.  Otak kiri-otak kanan pun bisa saling bercemburuan, sekaligus bersetubuhan secara baku berkelindan. 

Otak kiri menikmati, otak kanan menghayati. 
Otak kiri menyaksikan alam, otak kanan mencerapi alam. 
Otak kiri bernarasi, otak kanan berkontemplasi. 
Otak kiri mencicipi kehidupan, otak kanan menggumuli kehidupan. 
Otak kiri membangun infrastuktur, otak kanan mendesain kultur. 

           Berbekal puisi-puisi yang tercipta dan kemudian tersimpan di laci meja itulah, saya ingin sekali bisa mengabarkan kepada siapapun dan apapun profesinya untuk bersedia menyimak puisi.  Menyimak di sini bisa sekedar membaca dan kemudian mencoba menyelami makna yang terkandung di dalamnya.  Namun bisa juga dengan mencoba mencipta satu.....dua atau beberapa buah puisi meski kemudian hanya akan disimpan di laptop  atau laci meja.  Jeda penciptaannya pun boleh sehari satu puisi, seminggu 2 puisi, sebulan 5 puisi atau setahun 1 buah puisi tak mengapa.  Yang penting dengan mencipta puisi itulah akan bisa terasakan denting orkestrasi intelektual antara otak kanan dan otak kiri di setiap masa.  Dengan senang berpuisi kiranya akan bisa makin terjiwai pekerjaan kita.  Pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari pun niscaya akan kian bermuatkan visi serta nilai-nilai kemanusiaan.  Melalui puisi pula kita bisa merawat idealisme dan memperkuat imajinasi.  Dan lewat idealisme yang senantiasa terawat, kita akan bisa menjaga segenap perilaku.  Sementara dalam imajinasi terkandung solusi, referensi dan antisipasi untuk menyambut rupa-rupa nasib kehidupan.  Berprofesi apapun kita, yuk ramai-ramai menulis puisi: dokter, kuli bangunan, pegawai bank, serdadu, penjual bakso, dosen, sopir bus, petani, pengamat politik, wartawan, tukang gali kubur, eksportir, pendeta, masinis, seniman jus, juragan ayam, bos bahan roti, pilot, petugas pemadam kebakaran, advokat, pakar motivasi, pembuat nisan, pedagang kain, penjaga toko, ekonom, salesman, politisi, birokrat, tukang odong-odong, kyai, tukang ojek, mahasiswa, guru bersertifikasi atau belum, santri, pelajar, chef  kapal pesiar, petugas parkir, ahli kunci, pakar IT, pelaut, penjual bubur, pemulung, bupati atau tukang tambal ban.  Ciptakanlah sebuah puisi agar pandangan hidup menjadi lebih terang-benderang dan berwarna.  Dan tidak harus menjadi penyair profesional.......Lewat puisi kita juga bisa berceloteh. 

            Blog Celoteh Orang Pinggiran ini yang sesungguhnya merupakan tautan antara kumpulan puisi dan artikel, juga ingin mengajak siapapun dengan profesi apapun agar berkenan menyusun blog atau buku serupa.  Sehingga kelak akan banyak ditulis kumpulan puisi dan artikel sesuai dengan profesi penulsnya.  Misalnya akan ada kumpulan puisi digabung dengan resep masakan yang ditulis oleh seorang chef  berikut disertakan pula artikel yang menceriterakan perjalanannya bergelut di bidang kuliner, dan seterusnya.  Literasi itu adalah milik siapapun, dan para "profesional" tersebut pastilah telah memiliki aneka karya yang kini masih tersimpan di laci mejanya, laptopnya atau di "almari" memorinya.  Yuk, menulis, meski kadarnya berceloteh !! 

*Eko Nurwindarto 2017. 
WA/SMS 081328747838/email: ekkonw@gmail.com/FB: Nancita Baru Temanggung/blog: ekonancita.blogspot.com
                      

DAFTAR ISI 
01. PROSA LIRIS tentatif.
      *Tulisan Pada Kamar. 
      *Sangat Jatuh Cinta. 

02. NYENYET tentatif. 
       *Kelak Bila Tahun 2500. 
       *Siapakah Indonesia Siapakah Desa Saya. 

03. Bank Guru.   
      *Sendiri Satu-Satu. 
      *Masa Depan Anak-Anak Dikotak-Kotak oleh Lomba Mewarnai yang Marak. 

04. Guru Nasional.  
      *Kita Tidak Tahu. 
      *Sangat Jujur Mengabdi (Kepada Bapak/Ibu Guruk
      *Sajak Cinta. 
      *Sangat Terlindung Rembulan. 

07. MAMA-MAMA NanCita. 
08. ADA Car Include Day DI  TEMANGGUNG. 
09. MENJADI TKI PLUS-PLUS (catatan perenungan).  
      *Percakapan Diri Sendiri. 
      *Sangat Terciduk Ndangdut. 

10. MENIMBANG MARWAH TKI (catatan pengalaman).  
      *Musafir. 
      *Sangat Terlanda Rindu. 

11. PEMIMPIN JADI-JADIAN. 
12. PROSA LIRIS tentatif.
      *Jangan Hidup Dibikin Santa
      *Kutub Terbuka. 

14. NYENYET tentatif
      *Lapar. 
      *Nyonya Astina dan Budhe Pandawa. 

15. MEMBAYANGKAN PENGANTIN. 
16. ORANG TUA BERTENGKAR, ANAK-ANAK PUN BERPENCAR. 
17. "SOCIAL SKILL", GENERASI MUDA KEPOLISIAN DAN MAHASISWA ZAMAN                  NOW. 
18. WANITAKAH POLITIKMU ITU?  
19. RESUME dan STEP BY STEP PERJALANAN NanCita. 

     (tunggu artikel-celoteh berikutnya).   
20. PROSA LIRIS tentatif
      *Orang-Orang. 
      *Keranda Sajak. 
      *Mahabharata. 

21. GENERASI TUMPUL SOSIAL-POLITIK.  
      *Nun. 
      *Teringat Ibu Ketika Belum Sholat. 

22. NYENYET tentatif
      *Kita Buka. 
      *Para Globalis. 

23. MAHASISWA DAN NASIB IDEALISME.   
      *Sajak Nekad. 
      *Namamu Jenazah. 

24. NASIB SUMPAH.  
      *Anekdot Seorang Pejabat. 
      *Di Sesembunyian Manakah Tak Kujumpai Orang-Orang Tua. 

25. BUKU FISIK DAN MATA PIKIR.  
      *Permainanku dan Permainanmu. 
      *Permaianan dalam Seminggu. 
      *Sejoli Ayah-Bunda yang Tak Pernah Meminta Kasih-Sayangnya Dikembalikan. 
      *Sangat Berdebar Ketika Menjadi Pengantin. 





TERIMA KASIH PUISI  1 :
                
(PUISI KETIKA SMA)

TULISAN PADA KAMAR
kubaca daun-daun bunga-bunga  
hijau mekar
kubaca wajahmu lewat sendu
kala kau titikkan bening 
kubaca semua dinding
dalam barisan huruf
namun tak kutemukan artimu
          biar burung yang mengeja
          sebab ia adalah kau
          sekarang datanglah
          bersampan
         mengayuh tapak-tapak kenangan
                                                            1979        

                                                                                          
(PUISI SEKARANG)

SANGAT JATUH CINTA
sangat jatuh cinta saat menatap teduh matanya
mampu menghentikan kecamuk gelombang
di hati, rintih suara luka itu pun lenyap
tiada membekaskan apapun kecuali perasaan
ingin selalu bersama

sangat jatuh cinta semacam pintu tak terkunci
angin begitu mudah membukakan gerendelnya
dan tanpa harus dipersilakan
aku akan segera duduk di ruang hati
menikmati kombinasi warna nan membunga
yang tergambar dari transparansi aorta
semacam itulah perasaan sangat jatuh cinta
                                              tiada tikungan yang memelesetkan langkah                                               tiada simpangan yang kan menyesatkan arah
segenap perjalanan menjadi termenangkan
teringkus pula segala sampah kata-kata
ya ampun aku  ingin selalu sangat jatuh cinta 


_________________________________________________________________________________ 


(PUISI KETIKA SMA)
 
                                             KELAK BILA TAHUN 2500                                                                                                                                                                                         
kelak bila tahun 2500
aku tak akan peduli lagi pada segala bentuk
kehidupan pendek
kemiskinan panjang,
bodi manusia  
                                                                                                                                                        
kaki pendek
tangan panjang
aku tak akan peduli lagi pada segala bentuk
hari pendek
hutang negara panjang
aku tak akan peduli lagi pada segala-galanya
usia pendek
kemarau panjang  
                                                                   1979


(PUISI SEKARANG)        

SIAPAKAH INDONESIA SIAPAKAH DESA SAYA
siapakah yang lebih dulu merasa terjaga
mengusap mata memandang warna langit
meredam angin laknat menikam mata-mata 
                                              mendengar gemuruh pergulatan tak terkata                                               antara indonesia dengan desa saya:
     dari hari ke hari
                                                     minggu bulan tahun jam demi jam                                                                              tanpa ada yang kuasa melerai                 
     tak peduli, saling memangsa
     hingga indonesia dan desa saya lelah lunglai

(kalau indonesia menonjok, desa saya terpelanting
 jika desa saya jatuh berguling-guling
 indonesia menembakkan pistol mainan 
 dan mengajak menyulam fatamorgana harapan
 kalau desa saya menuding tersebab padi tak cepat bunting
 ada desir suara maling berteriak maling
 “demi nglakoni modernisasi,” kelit indonesia seraya ngacir pergi)                                                                                                                                                      

suatu kali indonesia mengajak bermesraan
diacungkan semangatnya, diregangkan nalurinya
dibunyikan mesin-mesinnya, menderu luar biasa
desa saya tidak terima, tidak mau
dan bergumam: “siapakah kamu
                           akulah diriku, ada batas ada garis rata
                           jangan berbohong dari balik punggungku !!”
agaknya desa saya penuh harap
minta dirampungkan dulu pertarungan
hingga lahir sang pemenang
agar terkupas makna peradaban
                  pupus masing-masing dendam)                                                                                                
siapakah yang lebih merasa jumawa
menepuk dada melempar sombong-senyuman
antara indonesia dan desa saya
getol saling memperebutkan gelanggang
media bagi menumpahkan eksistensi penampilan,
ketika desa saya kehabisan wanita, pemuda dan senjata
indonesia diam saja
(mesin-mesin adalah indonesia, pikir mereka)
indonesia mengunyah problema
mengunyah polemik dan dilematika desa saya
sebab agaknya kedua tangan raksasanya
belum mampu menggoyang gigi taringnya

(dosen dan mahasiswa menghelat seminar tentang indonesia 
 seminar-profan baik di kampus sini-sana maupun di negri manca
 kebanyakan cuma mempermainkan tema
                                      gaungnya mengawang di mega, menggeliat untuk sementara                             lalu terpaku penuh rahasia
 terlempar serba nelangsa
 quo vadis tata kelola dana desa?)
                                                                                                                                                                                                            TERIMA KASIH PUISI 3 dst, teks ada pada penulis  
                                                                                                                                                     


_________________________________________________________________________________

BANK GURU 
Oleh Eko Nurwindarto  

           Masih teringat jelas ketika di penghujung tahun 80-an, malam-malam saya mengiringi ibu yang disuruh ayah pergi menuju rumah rekan kerja ayah sesama guru yang membuka "jasa peminjaman dana".  Tiap awal bulan gaji ayah sebagai seorang guru SD selalu tidak pernah cukup untuk membiayai hidup kami.  Ditambah saat itu ayah juga sudah pinjam di BRI yang angsurannya dipotong dari bendahara gaji tiap bulannya.  Tiap bulan harus (!!) dipotong, sedangkan kalau pinjam di "bank" milik rekan ayah itu cicilannya bisa lebih lunak.  Sistem peminjamannya pun sederhana, namun saya yakin bunganya pasti lebih tinggi dibanding BRI. 
         Balada nelangsa profesi  guru waktu itu memang cukup suram.  Dibutuhkan pengetatan ikat pinggang yang luar biasa kencang jika ingin gaji yang diterima bisa cukup sampai akhir bulan. Bahkan sampai ada guru yang saban sore hingga malam mangkal di pos ojek menunggu penumpang. Menjadi makelar televisi bekas dan tukang elektronik pun ada. Adapula yang sehabis pagi mengajar, sorenya membuka tambal ban dan servis sepeda.  Sementara guru-guru di kota memberi les privat untuk anak-anak dari keluarga berada.  Mereka terpaksa gali lubang tutup lubang demi mencukupi kebutuhan primer.  Walaupun begitu pada saat tanggal gajian tiba, sisa uang yang diterima pun masih cupet karena termakan potongan-potongan.  Si istri cemberut, bayangan akan bisa membeli kosmetik, terutama pemerah bibir, menjadi tertangguhkan.  TANGGAL GAJIAN sesungguhnya adalah masa-masa yang rawan bagi keluarga guru waktu itu.  Itu adalah saat keharmonisan keluarga dipertaruhkan. Saatnya kesetiaan, saling pengertian, rasa senasib sepenanggungan diuji.  Janji sepiring berdua yang dulu diikrarkan di teras kos-kosan ketika pacaran, saatnya dibuktikan.  Sebab tanggal gajian adalah saatnya pasangan guru berpeluang saling bertengkar !! Si istri mencurigai bahwa sang suami menyembunyikan gajinya, si suami menuduh istrinya boros.  Padahal sebab utamanya adalah: gaji yang memang cupet !!  

          ("Maafkan aku ya, Bu, ternyata hanya bisa memberimu kehidupan yang seperti ini." 
           "................................" 
           "Tidak seperti saat mengapelimu dulu, kata-kata yang kuuntai di teras kos-kosanmu 
             begitu indah serta menjanjikan." 
           "................................" 
           "Jujur kala itu aku harus segera bisa memilikimu.  Terpaksalah aku merangkai jurus- 
             jurus wiro sableng, sebab betapa banyak yang mendekatimu saat itu." 
           "................................" 
           "Ada taruna Akpol (tapi ternyata lulusan secaba).  Ada dokter (tapi jebul mantri sunat). 
             Ada yang tampil bak pengusaha (tapi ternyata penjual batu akik)....." 
           "Ha ha ha ha.....ada apa to, Pak, kok gitu, kadung dari tadi aku ngempet ngguyu...." 
           "..................................................." 
           "Sebagai istri guru, aku sudah bahagia banget kok, Pak.  Anak-anak telah mentas semua. 
             Bahkan sudah ada cucu pula. Tanaman aneka bunga di halaman rumah yang selalu  
             Bapak rawat, juga mampu menyejukkanku.  Tapi kalung yang biasa melingkar di leher  
             ini, kapan kembali dari pegadaian ya, Pak?" 
            ".................................................................................." 
            "Kesederhanaan itu mampu menghantar kebahagiaan sejati kok, Pak.  Berlimpah harta 
              itu belum tentu membahagiakan lho, seperti misalnya mantri sunat itu yang hingga kini 
              belum menikah." 
            "???????????????????????????????????????????????????"

        Tragika minimnya gaji guru juga bisa terbaca ketika itu PORKAS dan SDSB diselenggarakan secara resmi oleh pemerintah.  Serasa bukan menjadi aib jika guru terseret dalam "euforia" undian nasional kala itu.  Lengkap pula dengan ritual-ritual yang lazim dilakukan oleh mereka yang "gila nomor buntutan".  Terkadang tekun pula menyimak tukang ramal jalanan yang mengaku bahwa "matematika nasibnya" kerap nembus.  Alias angka-angkanya sering tepat dengan pengumuman undian nasional yang disiarkan radio resmi pemerintah.  Tanggal gajian dan SDSB keduanya merupakan pemicu terpanggungkannya sebuah drama keluarga yang penuh konflik.  Drama dengan suspensi cerita yang gampang ditebak: piring terbang kemudian jatuh pecah, gelas-gelas berbenturan lantas roboh dan pecah.  Pada sebagian keluarga guru bergaji minim waktu itu, TANGGAL GAJIAN dan SDSB adalah penyebab bongkah-bongkah harapan menjadi terpelanting-terjerembab.  Hampa !!

            Jaman pun telah berubah, namun guru tetap tak bisa dilepaskan dari "saudara kandung"-nya yang bernama perbankan. Kini ketika sebuah pertanyaan ditujukan kepada teman yang bekerja di bank: enak mana meminjamkan dana antara kepada pelaku UMKM dengan guru?  Dengan cepat ia menjawab: ya jelas enak kepada guru dong !!  Kredit dari para guru tidak mungkin macet dan mengangsurnya pun selalu tepat waktu, sebab dipotongkan langsung dari penerimaan gaji.  Berbeda dengan kredit yang diberikan kepada pelaku UMKM yang sering timbul hambatan dengan berbagai alasan.  Harga kulakan naik, pembeli sedang sepi, dan bahkan anak yang lagi sakit pun bisa dijadikan alasan penundaan pembayaran angsuran.  Namun sesuai akad kredit, bank tidak akan gampang untuk peduli.  Kalau perlu dikirim debt collector (dc) atau terpaksa menyita barang jaminan jika terjadi wan prestasi.  Itulah sebabnya bank-bank saling berlomba dalam merekrut nasabah dari kalangan guru (dan PNS lainnya).  Sebab mereka adalah nasabah yang kredibel.  Bank pun akan terbebas dari momok NPL (Non Performing Loan) yang sering digunakan sebagai indikator performa suatu bank. Bank sering mengadakan acara gathering untuk para guru, mereka serasa ditempatkan sebagai nasabah anak emas.  Pinjamannya pun berbonus rice cooker, kompor gas, dll.  Dan tidak seperti kalau mengucurkan kredit kepada pelaku UMKM yang wajib melibatkan notaris, meminjamkan dana kepada para guru nir biaya notaris.  Bunganya juga kompetitif.  Pemanjaan bank terhadap guru dapat dilihat dalam banner-banner promosi seperti ini: Bagimu Pendidik Bangsa Bunga 0,75% atau Kredit Spesial Bagi Guru Plafon Hingga 200 juta rupiah.  Bahkan bagi yang sudah pensiun pun diburu dengan iming-iming: Jangka Waktu Kredit Bisa Sampai 75 tahun !!  Rupanya promosi terus digencarkan hingga ke lubang semut sekalipun.  Dan terhadap Bapak-Ibu Guru itu, bank memberi "penghiburan": jika tiba-tiba meninggal dunia, semua pinjaman yang tersisa otomatis menjadi lunas!! Anak-anak dan istri atau suami yang ditinggalkan tidak akan sampai terbebani, sehingga ybs bisa langsung masuk surga........

Sinergi hidup-mati 
          Dapat dikatakan antara guru dengan bank telah terjadi semacam sinergi "hidup-mati".  Bank butuh nasabah yang terpercaya, guru-guru pun tentu ingin sejahtera.  Penghasilan atau gaji guru sangat pasti cairnya sehingga cenderung lebih berani dalam menyambar tawaran berbagai produk perbankan.  Pengadaan barang-barang elektronik, otomotif, perumahan hingga biaya pendidikan anak bisa difasilitasi melalui kredit bank.  Siapa guru yang tidak tergiur dengan aneka fasilitas itu? Pegawai bank pun siap meluncur untuk mewujudkan segenap impian para guru, tidak peduli jatuh tempo pelunasannya bertahun-tahun hingga pensiun.  Bank sangat percaya pada kelancaran pembayaran angsuran dari para nasabah spesifiknya yang berprofesi sebagai guru tersebut.  Padahal sesungguhnya saban bulan banyak guru yang kemudian dompetnya megap-megap setelah angsuran pada bank terbayarkan.
           Sayangnya belum pernah terbaca suatu hasil penelitian atau sekurang-kurangnya sebuah survei yang bertema: kaitan dan dampak signifikan antara guru yang punya hutang banyak dengan kinerja profesionalnya sebagai guru.  Mungkin saja karena guru umumnya memiliki semacam brain machine yang bekerja mekanistik, sehingga akan bisa memilah-milah bilik-bilik pemikiran yang ada dalam benaknya sesuai dengan fungsinya masing-masing.  Bilik Sosial, Bilik Keluarga, Bilik Profesi, Bilik Religi dan Bilik Hutang.  Idealnya segenap bilik tersebut akan bekerja secara otomatis membuka-menutup sesuai dengan tempat dan waktunya secara bergantian.  Sebab kalau sampai bertabrakan, tentu akan bisa bikin pecah pikiran !!  Jangan sampai ketika seorang guru sedang memaparkan materi pelajaran yang berkait dengan angka-angka dan tragika kemiskinan misalnya, tiba-tiba saja ia "tersinggung" kemudian teringat akan belitan hutang-hutangnya.  Terbayang dengan alokasi angsuran: motor kurang 12 kali, rumah masih 48 kali, pegadaian......lupa tanggal jatuh temponya, hometheater sedang ditawari......etc, etc, etc!! (Oh, mendadak teringat pada guru-pejuang, guru yang berkarakter mirip begawan, masih adakah?).

               ("Bu, kelak kalau aku menghadap Tuhan lebih dulu, segenap bon yang belum lunas sudah 
                kurekap lengkap, tolong utamakan dilunasi dulu ya, Bu." 
                "Pak............" 
                "Sepeninggalku, anak-anak dijaga sebaik-baiknya ya.  Ceritakan perjuangan kita mem- 
                  bangun rumah tangga yang bermodalkan cinta, kalau saja mereka mau mendengar." 
                "Paaaaak....." 
                "Kau masih terlihat cantik, karena alamku kemudian akan menjadi berbeda, juka kau 
                 ingin menikah lagi ya nggak apa-apa.  Aku mengusulkan pilihlah si mantri sunat itu, 
                 kudengar ia kini juga jualan batu akik berkongsi dengan si polisi." 
                "Paaaaaaaaaaaaak" 
                "Kalau pun saat ini aku masih menyimpan jurus-jurus wiro sableng yang paling 
                  mematikan sekalipun, tenagaku sudah tak berdaya lagi untuk melemparkan jurus itu 
                  kepada mereka........" 

           Guru telah terbukti dan teruji ketika menjadi nasabah yang kredibel dan sangat disukai oleh berbagai macam bank.  Lalu kenapa tidak didirikan saja Bank Guru?!  Bank yang nasabahnya khusus guru.  Baik guru yang ingin selamanya menjadi guru demi makin tinggi profesionalismenya maupun guru yang ingin mencetak pasangannya (suami atau istri) menjadi WIRAUSAHA.  Di tengah masyarakat apabila ada seorang guru yang istri atau suaminya berwirausaha, biasanya masing-masing akan bisa memaksimalkan profesionalitasnya.  Pak Guru itu akan bisa lebih kreatif dalam menyusun materi ajar dan alat-alat peraga pembelajaran bagi para siswanya, sebab dapur rumah tangganya akan tetap ngebul olehkarena istrinya sukses memasarkan kue-kue donat misalnya.  SEBUAH PASANGAN IDEAL YANG SALING BERSINERGI.  Seorang pendidik yang sejahtera niscaya akan lebih mampu membongkar segenap potensi yang dimiliki, dan setidaknya ia bisa pula menjadi konsultan atau "bank ide" bagi pasangannya yang berwirausaha.  Dan seorang pengusaha yang memiliki "bank ide", tentu akan menjadi entrepreneur yang terus berkembang.  Di sekitar kita kiranya tertebar contoh pasangan suami-istri yang demikian.  Sedangkan contoh di tingkat nasional antara lain seperti sinergi antara Prof. DR. HAR Tilaar, M.Sc.Ed (ahli pendidikan) dengan DR. Martha Tilaar (pengusaha kosmetik).  Sebuah sinergi strategis yang terbukti mampu melejitkan  kepakaran masing-masing.  Berikut ini foto beliau berdua.


                             

         Barangkali sinergi profesi antara pendidik dan pengusaha ini bisa menjadi pola pilihan persuami-istrian yang ideal.  Seperti seseorang yang menggemari puisi dan sekaligus menjadi pelaku ekonomi.  Hobi berpuisi itu, baik membaca ataupun mencipta, adalah sebuah "pekerjaan" intelektual yang mencerahkan dan bertabur ide.  Sedangkan kecukupan ekonomi akan mendukung terbebaskan dirinya dari persoalan sandang, papan dan pangan.  Seorang pendidik yang sejahtera niscaya akan lebih mampu membongkar potensi-potensi yang dimiliki.  Dan seorang pengusaha yang memiliki "bank ide", tentu akan menjadi entrepreneur yang terus berkembang.
           Tetapi harus selalu cermat dan waspada.  Keduanya harus tetap berjalan pada rel tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing.  Tidak saling mendaku, mengintervensi atau meng-kooptasi. Tidak saling menjadi benalu.  Sinergi tidak berarti saling melebur-hancur.  Sinergi itu sama-sama melengkapi, seiring berakselerasi dan justru makin mengkinclongkan identitas masing-masing. Kiranya sinergitas semacam itu layak apabila kemudian digaung-kampanyekan: menikahlah dengan pendidik dan Anda yang jadi pengusaha (berwiraswasta) !!!  Niscaya carut-marut dunia pendidikan kita akan lebih bisa diurai.  Akan ada banyak pendidik yang selain berdedikasi juga mampu secara ekonomi.  Dan populasi pengusaha akan bisa mencapai kondisi ideal yakni 5 % dari jumlah penduduk.  Namun jika pun Anda bukanlah pasangan pendidik dan pengusaha, tetap akan bisa terinspirasi.  Asalkan Anda suka dan terbiasa BERGAGASAN seperti pendidik, dan senang BERINOVASI laiknya seorang pengusaha.

          BANK GURU niscaya akan banyak berperan dalam upaya makin memajukan dunia pendidikan kita, khususnya dalam hal peningkatan sumber daya pendidiknya.  Sisi kesejahteraan guru yang kini sebagian masih kocar-kacir akan bisa diatasi oleh kinerja Bank Guru dengan berbagai produknya yang mengacu pada pembelaan kepada nasib guru.  Guru adalah profesi mulia penentu nasib generasi bangsa, sudah selayaknya jika diberi perhatian lebih.  Eksistensi guru sering pula berhadapan dengan paradoks.  Ia harus mengajari murid-muridnya dengan ilmu yang setinggi-tingginya, di lain pihak ia harus pontang-panting membiayai sekolah anak-anaknya.  Sementara itu secara naluriah ia juga mempunyai cita-cita yang sama dengan para orang tua dari siswa-siswanya. Guru terkadang berhadapan juga dalam situasi yang klasik-manusiawi.  Misalnya dalam waktu bersamaan harus membiayai anak keduanya di perguruan tinggi dan 2 anak lainnya yang sedang duduk di bangku sekolah menengah, sedangkan anak pertamanya perlu biaya hendak segera menikah. Belum lagi bila suatu ketika datang tidak terduga-duga rupa-rupa musibah yang mirip force majeure.   Situasi yang demikian tentu akan membuat sang guru pusing tujuh keliling.  Dengan adanya Bank Guru  yang aturan-aturannya membela karakteristik nasib guru, niscaya kepala guru yang pusing tujuh keliling itu akan bisa diredamkan sehingga tidak sampai mengganggu kinerjanya sebagai guru. Para guru pun akan bisa fokus pada profesinya bila hanya memiliki satu akun pinjaman, tabungan atau deposito yaitu di Bank Guru saja.  Tidak perlu lagi ke sana ke mari mencari seblakan atau dana talangan yang sistem dan bunganya berbeda-beda besarnya (bahkan sampai ada yang pinjam pada bank plecit segala).  Pada saatnya Bank Guru pun bisa memberikan CSR kepada putra-putri guru berupa bea siswa, juga insentif kepada guru-guru honorer yang keberadaannya masih dibutuhkan di tengah persebaran guru yang belum merata.  Guru honorer ini yang umumnya fresh from graduate, perlu diberi semangat sebab sering dibebani tugas-tugas non mengajar seperti menjadi operator sekolah demi memperlancar sertifikasi guru senior.  Gagasan Bank Guru ini kiranya bisa direalisasikan tentu dengan mengajak para ahli yang berkompeten dan berpengalaman di bidangnya termasuk mengajak pengusaha yang sangat peduli dengan dunia pendidikan seperti misalnya Prof. DR. Chairul Tanjung  (Transcorp), Dahlan Iskan (Jawa Pos Grup) dan Dato' Sri Prof. DR. Tahir, MBA (Tahir Foundation).  Pada awalnya bolehlah dinamakan Bank Guru dan dikelola secara syariah. Namun dalam perjalanannya bisa bermetamorfosa menjadi semacam GURU FOUNDATION yakni sebuah lembaga khusus untuk guru dimana guru yang membutuhkan dana tanpa harus dikenai bunga semata-mata agar tergapai maksimalisasi kinerja. Ini mimpi kepagian memang olehkarena dipantik adanya asumsi: sebuah negara akan mencapai kesejahteraan yang gilang-gemilang apabila GURU SUDAH MERATA SEJAHTERA !!

            ("Bu, masih ada yang ingin kukatakan, tolong dengar baik-baik, bahkan ini sangat penting 
              sebagai bekalku menghadap Tuhan." 
             "Pak, jangan tinggalkan aku, anak-anak masih butuh bimbinganmu....."  
             "Kau dan anak-anak kumohon doakan aku selalu.  Di surga kuingin Tuhan menungguku, 
               namun rasanya aku terlanda ragu-ragu." 
             "Pak...Paaaaaaaak." 
             "Aku ragu apakah benar Tuhan sedang menungguku di surga?" 
             "Paaaak, memang kenapa?" 
             "Suatu saat aku pernah memfotocopi berkas sekolah habis 50 ribu, tapi di kuitansi ku- 
              tulis 70 ribu.  Pernah pula kubawa 3 buah bolpoin milik sekolah ke rumah.  Korupsikah 
              itu, Bu?" 
             "Segeralah bertobat suamiku, dan cepat-cepat minta maaflah pada atasan.  O ya, Pak, 
              gimana jika yang meninggal duluan adalah aku?  Apakah Bapak akan mencari istri baru?" 
             "Bu, oya aku ingat !!  Ada seorang gadis lebih muda darimu yang dulu sering membukakan  
              pintu.  Dia pasti melempar senyumnya tiap aku mengapelimu?!  Rambutnya legam panjang, 
              ia putri ibu kosmu.  Di mana dia sekarang, Bu ?!" 
              "DI  ER.....ES.....JEEEEEEEEEEEEEE.....!!!!!!"). 
________________________________________________________________________________ 


         GURU NASIONAL 
        Oleh Eko Nurwindarto 

             KESEJAHTERAAN GURU, KUALITAS GURU dan MASA DEPAN PESERTA DIDIK adalah triumvirat  persoalan serius yang belum juga beroleh solusi yang mujarab.  Ketika Mashudi, seorang guru honorer di SMA Ketanggungan Brebes yang pada waktu itu diperkarakan secara hukum oleh seorang menteri karena mengritik dan menuntut hak-haknya, kiranya itu adalah letupan kecil dari betapa kronisnya persoalan kependidikan kita.  Pada saat negeri ini dilanda arus konsumsi sedemikian hebatnya, tuntutan kesejahteraan cenderung menjadi berbanding terbalik dengan semangat pengabdian.  Wajar belaka jika hal tersebut berimbas pula pada kualitas para peserta didik.
               Dalam berbagai survei, kualitas dunia pendidikan kita sering berada pada peringkat bontot. Dan salah satu yang sering menjadi sorotan adalah kualitas guru.  Selain revolusi mental nampaknya kita juga memerlukan suatu gerakan revolusi di bidang keguruan, sehingga akan ada sebutan Guru Nasional umpamanya.  Hal tersebut analog belaka dengan "terminologi" atlit nasional, artis nasional, politisi nasional dan seterusnya.  Guru Nasional tidak hanya mumpuni di bidang kebangsaan atau kebhinekaan saja.  Guru Nasional tetaplah guru bidang studi tertentu namun yang memiliki penguasaan plus di bidang ketanah-airan.  Sehingga kemudian akan tersosok Guru Biologi yang nasionalis, Guru Matematika yang nasionalis, Guru Ekonomi yang nasionalis, dst.  Dan niscaya predikat serta "beban" sebagai Guru Nasional yang nasionalis tersebut akan berimbas pada tumbuhnya dorongan untuk menggali bahan-bahan ajar yang diambil dari khasanah bangsa sendiri dikaitkan dengan kondisi terkini.
               Maka akan lahirlah guru biologi yang selain mengajarkan tentang proses pembelahan sel interfase, profase, metafase, anafase, telofase, juga mengajak para siswa untuk mengamati kenapa kita digelontor oleh jambu bangkok, pepaya taiwan, jeruk china, dst.  Akan ada guru matematika yang selain mengajarkan rumus jajaran genjang, juga mengajak siswa menghitung pertumbuhhan kepadatan lalu-lintas secara periodik.  Seberapa besar perbandingan jumlah sepeda motor yang lewat di depan sekolah antara bulan ini dengan bulan kemarin.  Akan lahir pula guru mata pelajaran ekonomi yang selain mengajarkan hukum citerus paribus dan supply and demand, namun juga mengajak siswa untuk blusukan ke pasar guna menyaksikan proses transaksi jual beli serta realitas daya beli.  Demikian pula dengan mata pelajaran-mata pelajaran lain yang diampu oleh GURU NASIONAL lulusan LPTK NASIONAL yang sajian pengajaran dan pembelajarannya senantiasa mengacu kepada kepentingan nasional.
                 LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) Nasional menjadi lembaga supra atau semacam sekolah tinggi bagi sekitar 415 LPTK yang tersebar di seluruh Indonesia (data Dirjen Dikti April 2013).  Perekrutan calon peserta didiknya pun dengan persyaratan dan skema tes yang super ketat.  Barisan pengajarnya haruslah dosen-dosen yang kualifikasinya sangat kompeten-idealistik serta kapabel-aplikatif di bidang pedagogik.  Didukung pula dengan sarana prasarana/infrastruktur yang signifikan dengan jati diri lembaga sebagai sekolah tinggi kependidikan.  Roh kurikulum (dari bahasa Latin currere = kendaraan) yang dipakai pun di kemudian hari haruslah bisa mengantarkan peserta didiknya menjadi guru-guru yang bersedia mengabdi demi menggapai kewibawaan dan kejayaan bangsa.  Konsep ini masih terkesan normatif memang.  Tetapi saya yakin bahwa kita memiliki bergebung-gebung pengamat dan ahli pendidikan yang akan mampu mengejawantahkan konsep yang masih mentah tersebut ke dalam ranah praksis.  Deklarasi dukungan dari berbagai kalangan pun sangat diharapkan.
                Pada saat menempuh pendidikan di LPTK Nasional,segenap kebutuhan hidup peserta didik dicukupi sepenuhnya (tak ubahnya seperti  pemusatan atlit nasional yang nampak sejahtera).  Setelah selesai pendidikan, ada kewajiban untuk mau ditempatkan di wilayah manapun yang bukan merupakan daerah asalnya.  Penugasan alumni LPTK Nasional yang tahun demi tahun niscaya akan bertambah banyak itu, secara periodik di-rolling bisa per 2 atau 3 tahun berpindah tempat tugas. Seiring dengan pertambahan tamatan LPTK Nasional, maka pusaran rolling  itu tentu akan semakin cepat dan merata ke seluruh wilayah Indonesia.  Bagi guru-guru nasional itu sendiri, program tersebut akan menjadi pengalaman heroik bisa mengajar berkeliling Indonesia.  Peranan Guru Nasional adalah sebagai guru inspirator yang akan mampu menginspirasi siswa-siswa dan juga guru-guru di daerah.
              Tunjangan dan gaji Guru Nasional tentu harus lebih tinggi dari guru-guru daerah yang sudah bersertifikasi sekalipun.  Kemudian pasti akan timbul pertanyaan/sanggahan.  Apakah negara memiliki anggaran untuk membangun LPTK NASIONAL dan yang akan bertugas mencetak GURU-GURU NASIONAL lengkap dengan sarana, insentif dan prasarananya seperti yang sebagian telah terpapar di atas?

         Berkaca pada rencana proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Olah Raga (bertaraf internasional) Hambalang misalnya.  Gagasan "megalomania" Kemenpora tersebut ada anggarannya juga walaupun kemudian ternyata mawut-mawut (Jawa: berceceran ke sana ke mari). Artinya sebuah gagasan kebangsaan yang semula dianggap muskil terlaksana pun, bisa terwujudkan sepanjang ada goodwill dari pemerintah dan dorongan serta lobi terus-menerus dari para pemangku kepentingan yang mendukungnya.  Dengan demikian gagasan "pencetakan" guru-guru nasional kiranya bukanlah merupakan suatu utopia yang mengawang-awang.

           (Penulis membayangkan kelak akan ada satu situasi yang terpapar menarik di sebuah SMP di Temanggung berkaitan dengan adanya aktivitas pengajaran oleh Guru Nasional yang ditugaskan di sana.  Guru tersebut berasal dari Padang dan mengampu mata pelajaran ekonomi.  Untuk menggairahkan suasana sebelum pelajaran dimulai, guru itu mengajak siswa-siswa yang kebanyakan beretnis Jawa menyanyikan Ayam den Lapeh.  Usai lagu daerah Padang itu dinyanyikan, pelajaran formal sesuai silabus kurikulum pun dimulai.  Di sela-sela materi tentang Rumah Tangga Konsumsi, Faktor Produksi atau Penanaman Modal, bisa pula diselipkan semacam intermeso yang masih signifikan dengan materi pelajaran.  Misalnya, kenapa rumah makan Padang bisa merebak ke mana-mana?  Apakah hal tersebut terkait dengan budaya orang Padang yang suka merantau?  Kira-kira seberapa besar bekal ekonomik yang harus dibawa ataukah semangat merantau itu semata bermodalkan tekad belaka?  Kenapa cita rasa rendang di Jawa dengan yang di Bangka Belitung kok beda banget, bagaimana dengan rasa rendang di Padang sendiri?  Apa makna peribahasa Alam Takambang Jadi Guru?  Dan lain-lain tema ke-Padang-an bisa dituturkan.  Niscaya para siswa dari Jawa itu akan memperoleh ujaran-ujaran budaya Padang dari penutur aslinya.  Dan setelah pemberian mata pelajaran "Ekonomi Plus" tadi usai, para siswa secara bersama-sama diajak menyanyikan lagu:
Kampuang nan jauh di mato 
Gunung sansai bakuliliang 
Den takano jo kawan-kawan lamo 
................................. 

              Maka wajah Si Budi, Si Bambang, Si Yanti, Si Nanik tentu akan sumringah sepulang sekolah.  Dan antusias menceriterakan kepada orang tua mereka tentang metoda pembelajaran Guru Nasional dari Padang itu.  Pak Budiman sopir angkutan, Pak Hartono anggota DPR, Bu Sumini perawat dan Yu Sukinem tukang sayur pun manggut-manggut puas, salut serta bahagia mendengarkan cerita anak-anak mereka.  Bulan depan akan datang lagi Guru Nasional dari Manado yang akan mengampu mapel biologi, semoga diajarkan pula lagu Arang Tampurung, Polo Pa Kita dan Tarian Maengket.  Guru Nasional pengampu mapel fisika dari Aceh akan datang pula di SMP Temanggung itu, bulannya depannya lagi.  Para siswa sangat berharap akan bisa dilatih Tari Saman. Sebuah tarian yang mengandalkan koordinasi gerak serempak, akurat dan presisi.  Aspek kinetik, motorik dan ritmik berpadu seperti amplitudo gelombang. 
                   Bayangan penulis tentang pentingnya ada "profesi" GURU NASIONAL seperti yang terimajinasikan di atas tentu bisa diabaikan.  Sebab jika keberadaan Guru Nasional itu benar-benar dapat terwujud nyata dalam dinamika kehidupan kependidikan kita, bisa jadi dampak positif dan strategis yang dihasilkan akan lebih dari sekedar bayangan tadi.  Sehingga di Alam Sana para founding father negara ini bisa saling menebar senyum dalam satu percengkeramaan yang abadi. Perjuangan berdarah-darah mereka, pengorbanan tanpa pamrih mereka demi utuhnya kesatuan bangsa, setidaknya akan terus terpelihara oleh kiprah pengabdian guru-guru nasional tadi). 

               Guru Nasional yang merupakan lulusan LPTK Nasional, dikhususkan untuk ditempatkan di jenjang sekolah setingkat SMP dan SMA (bila memungkinkan di tingkat SD juga).  Dan penempatannya tidak mesti di pelosok-pelosok tanah air.  Penugasan guru-guru hingga masuk ke pelosok daerah terpencil, memang sangat dibutuhkan dan harus selalu diadakan.  Namun semangatnya benar-benar karena pengabdian.  Bukan seperti semangat politisi (atau orang yang meng-kamuflasekan hasrat politiknya).  Yakni bila sudah merasa memiliki kepedulian kepada masyarakat bawah, miskin, di desa atau di pelosok, maka dirinya beranggapan bahwa sudah menunaikan tugas heroik dan nasionalismenya.  Kepedulian sebatas di permukaan !! 
              Sekolah-sekolah di kota besar/pinggiran kota layak untuk diberi perhatian lebih.  Dan terkait dengan SEMANGAT PERSATUAN, sesungguhnya siswa-siswa di kotalah yang paling mendapat ancaman.  Tawuran, kenakalan, narkoba, ketidaksantunan dan hedonisme adalah hal-hal  yang belum begitu merebak di pelosok-pelosok.  Semangat hidup guyub dan penuh toleransi pun masih lebih kental di desa-desa.  Pada saatnya guru-guru nasional bisa ditempatkan di daerah pelosok juga, namun akan lebih efektif bila ditugaskan di daerah perkotaan terlebih dahulu.  Generasi penerus bangsa di perkotaan yang lebih dekat dengan akses terhadap instrumen globalisasi (dan paling potensial terdampak), membutuhkan perhatian mendesak.  Namun demikian bukan berarti kemudian mengabaikan geliat generasi muda di desa-desa yang tampak perlahan-lahan merayap menuju perubahan juga.  Kehadiran guru-guru nasional merupakan salah satu penyangga bagi tetap tumbuhnya generasi yang peduli terhadap arah perjalanan bangsa.  Semoga tidak berlebih-lebihan kiranya apabila kita mendamba akan segera bisa mengucapkan:  Selamat datang LPTK Nasional, Selamat Pagi Bapak/Ibu Guru Nasional !!  


Kesejahteraan Guru Nasional  
            LPTK Nasional adalah lembaga yang bergengsi.  Lulusannya yang berpredikat Guru Nasional pun menjadi dambaan generasi.  Dambaan bangsa, andalan negara.  Juga dambaan ibu-ibu yang hendak mencari menantu.  Tidak kalah dengan "nilai jual" lulusan akademi militer.  Bisa dipikirkan pula selain memperoleh gaji dan tunjangan tiap bulannya, Guru Nasional juga mendapatkan skema pengelolaan keuangan yang istimewa.  Yakni sebagian (kecil) gaji dan tunjangan yang menjadi hak Guru Nasional dikonversi menjadi surat berharga.  Jadi selain memperoleh gaji dan tunjangan tunai secara reguler, Guru Nasional mendapatkan juga fasilitas penyertaan saham dari lembaga investasi yang terdaftar dalam pengawasan OJK (Otoritas Jasa Keuangan).  Guru-guru nasional juga akan memperoleh polis asuransi unitlink dari lembaga asuransi yang ditunjuk guna memproteksi diri Guru Nasional itu sendiri beserta keluarganya (di luar fasilitas ASKES dan dana pensiun reguler).  Nilai manfaat dari keikutsertaan dalam "bursa saham" dan kepemilikan asuransi unitlink itu niscaya akan melejitkan tumpukan pundi-pundi atau "harta karun" para Guru Nasional. Kementerian Pendidikan, Departemen Keuangan, Lembaga Investasi dan Lembaga Asuransi saling bersatu padu guna mendukung terciptanya "kesejahteraan maksimal" guru-guru nasional.  Sehingga mereka akan nyaman, tenang dan kian profesional dalam melaksanakan tugas perjuangan kependidikan di seluruh nusantara. 

               (Dan siapa tahu kelak skema pengelolaan keuangan seperti yang diterapkan untuk Guru Nasional itu bisa dinikmati pula oleh guru-guru pada umumnya termasuk guru honorer, didukung juga oleh keberadaan Bank Guru tentunya.  Sehingga tidak akan terjadi lagi seorang guru yang ditangkap polisi karena berkali-kali mengancam Menteri Pendayaan Aparatur Negara yang waktu itu dijabat oleh Yuddy Chrisnandi lewat pesan singkat, seperti yang dilakukan Pak Mashudi yang kecewa karena  sudah 16 tahun menjadi guru honorer.  Dengan gaji sebesar 350 ribu rupiah sementara beban tugas mengajarnya 12 jam pelajaran dalam satu minggunya.  Uang honor tersebut tentu masih jauh dari UMR kota setempat yang mencapai Rp. 1.310.000) 

               LPTK Nasional bukanlah merupakan puncak hirarki otomatis dari LPTK-LPTK yang ada di daerah.  Sebagai sekolah tinggi, LPTK Nasional melakukan perekrutan mahasiswanya dari tamatan LPTK daerah melalui tes dan penjaringan bakat berdasarkan indeks prestasi kumulatif.  Mahasiswa-mahasiswa berbibit unggul itulah yang kemudian akan mengisi kampus LPTK Nasional, dan setamatnya dari sana mereka pun mendapat tanggung jawab sebagai tenaga kependidikan berkualifikasi dan bersertifikat nasional.  Disiplin ilmu lain juga sudah memiliki lembaga pendidikan nasionalnya.  Disiplin ilmu kepolisian mempunyai PTIK.  Disiplin ilmu pemerintahan memilik IPDN. Disiplin ilmu POLEKSOSBUD mempunyai LEMHANAS.  Disiplin ilmu keuangan memiliki STAN. Kenapa oh kenapa disiplin ilmu pendidikan yang sesungguhnya merupakan induk dari semua profesi, belum memiliki kawah candradimuka nasional yang hebat dan terhormat ?!! 

               Seiring waktu kelak jika tamatan LPTK Nasional tersebut dari tahun ke tahun semakin banyak, kiranya bangsa ini akan memiliki serombongan generasi guru yang berkompetensi unggul dari berbagai dimensi.  Dan di usia matangnya, mereka bisa pula MENGISI POS-POS PENTING DI KEMENTERIAN PENDIDIKAN.  Maka birokrasi kependidikan pun akan diisi oleh orang-orang profesional yang mempunyai pengalaman melanglang-melintang dalam "dunia persilatan" pendidikan nasional.  Mereka tentu paham tentang jurus-jurus apa yang sekiranya tepat dirumuskan guna melawan ancaman dan hambatan-hambatan yang muncul di medan pendidikan.  Mereka adalah insan-insan praktisi yang pasti akan memberikan kontribusi signifikan manakala bergabung dengan mereka yang berlatar belakang akademisi dan birokrasi terkait upaya memajukan pendidikan nasional. Dalam konteks tersebutlah SUPER MERIT SYSTEM akan terselenggara di kementerian ini.  Kalau pun kemudian nasib menghantarkan beberapa dari mereka menjadi staf menteri pendidikan misalnya, maka mereka tentu akan menjadi "pembisik" yang the right man on the right job.  Bukan pembisik oportunis dan abal-abal.
             
                 Guru Nasional adalah predikat yang sangat membanggakan bagi siapapun.  Tidak hanya bersedia, mereka justru merasa bahagia-gembira ditempatkan di mana jua.  Guru Nasional bukan seperti guru teladan nasional yang selalu diundang ke Jakarta tiap peringatan 17 Agustus.  Guru Nasional beda dengan guru beretnis Jawa yang ditugaskan di Papua dan selamanya berada di sana. Guru Nasional  juga bukan semacam "gerakan mencari pengalaman" seperti sarjana-sarjana yang ditugaskan dalam program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) atau bukan pula seperti Indonesia Mengajar.  Mereka sesaat ditugaskan (1 tahun) di pedalaman, sehabis itu pulang ke kota dengan membawa segebung inspirasi, lebih cenderung untuk konsumsi dirinya sendiri.  Dan mereka tidak ke pedalaman lagi tersebab kemudian tenggelam oleh pergulatan memburu profesi, eksistensi, aktualisasi diri dan siapa tahu juga menghadapi problem-problem pribadi.
            Guru Nasional adalah guru profesional yang terus berkelanjutan menjadi guru.  Selama hayat berkutat tidak melulu berpaku pada diktat-diktat.  Inovasi dan konsistensi menjadi nafasnya sehari-hari.  Menjadi Guru Nasional niscaya merupakan pengalaman yang kaya warna.  Sebab betapa mereka akan berjumpa dengan berbagai etnis siswa se nusantara lengkap beserta keunikan masing-masing.  Juga berkolaborasi dengan berbagai macam karakter pengajar dan kondisi infrastruktur sekolah di berbagai daerah.  Ditambah lagi akan bisa menikmati eksotika ratna mutu manikam negeri. Guru Nasional adalah guru yang KAYA RAYA.  Dan bila tiba saatnya pensiun nanti, mereka bisa menuliskan harta tak terhingga tersebut ke dalam bentuk buku yang penerbitannya difasilitasi oleh kementerian pendidikan tentunya.  Maka kelak kita akan bisa membaca buku-buku kontekstual tentang "kependidikan nasional" yang ditulis oleh mereka para praktisi kompeten yang PENGALAMAN INTELEKTUALNYA MELIMPAH RUAH.  Buku-buku tersebut bisa memuat tentang pemikiran teori, penghayatan pengalaman dan pendalaman visi terkait pendidikan. Tentang peradaban pendidikan !!!  "Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca," kata Thomas Stearns Elliot.  


             Dalam kaitan dengan gagasan Guru Nasional ini, eksistensi Bank Guru akan tampil berperan secara signifikan bagi upaya perwujudan dan pendampingan berkelanjutan. Keduanya senantiasa berjalan beriringan demi menuju kemajuan dunia pendidikan.  Namun kita mengenal  sebuah adagium kuno yang sering mewarnai dunia pendidikan kita, yaitu: ganti menteri ganti kebijakan, menterinya berbeda kurikulum pun bersalinrupa !!  Bisa jadi seandainya gagasan Bank Guru dan Guru Nasional tersebut suatu ketika bisa diwujudkan oleh seorang menteri pendidikan misalnya, belum tentu gagasan itu akan dilanjutkan oleh menteri pendidikan pada kabinet berikutnya.  Bila kecenderungannya selalu demikian, MAKA PERLU DIADAKAN SEBUAH REVOLUSI LAGI.
          Jabatan menteri (pendidikan) selama ini memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kuasa-politik.  Padahal tempo kekuasaan politik itu cenderung tidak lama.  Sehingga kebijakan-kebijakan yang "diprodukdinya" pun, termasuk kebijakan di bidang pendidikan, tentulah dibuat yang sekiranya bisa menopang durasi kekuasaan politik itu.  Sehingga salah satu dampaknya: ganti menteri, ganti kurikulum !!  Dikarenakan oleh kegemasan terhadap dunia pendidikan perkenankan menyampaikan ide ini: "Mungkin nggak ya seandainya dibuat semacam konsesi politik.  Yakni siapapun presidennya khusus untuk pos Menteri Pendidikan diberi durasi menjabat setidaknya 3-4 kali masa kerja kabinet (kurang lebih 15-20 tahun).  Jadi presiden boleh berganti namun menteri pendidikan tetap bertahan selama kurun itu."  

          Dengan demikian kita tidak akan sering terlanda badai sistem pendidikan yang sangat menguras dana serta pemikiran, sementara peserta-didik terhempas dan terkubang dalam danau fatamorgana kualitas.  Selalu terjadi pengulangan sirkulasi topik pendidikan yang jalan di tempat. Tiap tahun yang diomongin perkara UN melulu, dan tiap 5 tahun "debat kusir" tentang kurikulum selalu.  Kapan ngomongin inovasi-inovasi ilmu?  Dengan masa jabatan menteri pendidikan yang panjang, niscaya dunia pendidikan kita tidak akan gampang dimasuki kepentingan bisnis dan digedor-gedor oleh kekuasaan politik.  Pak Menteri Pendidikan beserta jajarannya termasuk seluruh pemangku kepentingan di dalamnya pun kemudian akan bisa memaksimalkan niat dan tekad perjuangannya demi kemajuan hebat dunia pendidikan dengan rasa aman dan tenteram.
               Jika konsesi politik terkait masa jabatan menteri pendidikan tersebut bisa terwujud, maka kemudian dibutuhkan dua hal yang sangat penting, yakni: Pertama, sosok menteri pendidikan yang penuh integritas, kapabilitas, nasionalistik, futuristik dan segenap nilai-nilai ideal lainnya. Penunjukkannya pun perlu melalui fit and proper test secara terbuka.  Selain akan menjabat dalam kurun waktu yang lama, juga upaya penciptaan "generasi yang sungguh-sungguh bisa menjadi penerus bangsa" tertumpu di bahu menteri pendidikan.  Kedua, kurikulum yang benar-benar realistik dan visioner sehingga peserta-didik mampu meringkus masa depannya sedari awal (bukan peserta-didik yang malah teringkus dan menjadi bulan-bulanan pusaran jaman).  Kita sungguh tidak membutuhkan kurikulum pendidikan yang disusun secara instant serupa memasak mie rebus manakala diserang lapar di tengah malam.  Dan menteri pendidikan yang akan mewujudkan gagasan-gagasan tersebut pun seharusnya bukanlah yang memiliki atau menyimpan ambisi politik, ingin menjadi presiden umpamanya.  Menteri pendidikan haruslah seorang akademisi pendidikan yang orientasi hingga di penghujung hidupnya hanya ingin menjadi Begawan Pendidikan. 

(BANK GURU dan GURU NASIONAL saya tulis olehkarena sejak dulu terobsesi oleh guru seperti apa sih yang bisa menghantarkan peserta didik keluar dari kebodohan dan kemiskinan.  Tidak saja kebodohan serta kemiskinan dirinya sendiri, namun juga yang menimpa masyarakatnya.  Tiga "nabi" pendidikan, yaitu Ivan Illich, Paulo Freire dan HAR Tilaar, sangat mempengaruhi pemikiran saya meski hanya sebagai masyarakat biasa yang tentu selalu terpapar dengan kronika pendidikan).

________________________________________________________________________________ 

_______________________________________________________________________________ 

 MAMA-MAMA NanCita 
Oleh Eko Nurwindarto 

Pengin curhat ah, kepada Mama-Mama yang kurun 17 tahun lalu masih berseragam biru dan abu-abu.  Seperti halnya anak-anak njenengan, anak saya Hanna Nancitanova Rifdah, kelas 1 SD, juga suka nanya-nanya terus antara lain demikian: 

"Yang menciptakan orang India itu siapa to, Yah?" 
"Tuhan." 
"Lho kok bukan dewa?!" 

*Ayah, kenapa bayi kok dikasih nama?" 
*Orang Indonesia kok nggak bisa mbuat hp to, Yah?  Kenapa!!?" 
*Tuhan sholat nggak, Yah? Sendirian apa berjamaah?" 
*Nyawa itu letaknya di tubuh sebelah mana to, Yah?" 

"Kehilangan nyawa itu apa to maksudnya?" 
"Nyawanya diminta Tuhan." 
"Kok diminta?!!" 
"Kita hanya dipinjami." 
"Dipinjami kok cuma sebentar?!" 

"Tuhan itu di mana to, Yah?" 
"Di atas." 
"Kok nggak jatuh ?!" 
"??????????????????????????"

*Sepulang Hanna dari sekolah, tiba-tiba ia mendendangkan ini:

Yo wis ben nduwe bojo sing galak 
Yo wis ben sing omongane sengak....... 

"Lho kok nyanyi lagu itu to, Dik"
"Ini lagu wajib temen-temenku di sekolah, kok, Yah."


(Bapak/Ibu Guru Yth, gimana jika pas jam istirahat diputarkan lagu-lagu seperti "Kasih Ibu", "Ayo Makan Bersama", "Rury Abangku", "Bintang Kecil", dll yang dikumandangkan ke seluruh ruang kelas hingga lapangan.  Haruskah anak-anak menyimak lagu-lagu itu dari tukang odong-odong?  Kami para orang tua tentu bisa sih nyetelkan lagu-lagu tersebut via youtube, hp, player di rumah tapi ini sifatnya kan privat sekali dan berbau intimidatif.  Beda jika lagu-lagu itu diperdengarkan di "ruang publik anak-anak" dalam hal ini sekolah.  Tentu akan bisa diresapi secara demokratis-merdeka dan dinyanyikan secara koor paduan-kompak membahagiakan sehingga akan mudah nyanthel, seperti lagunya Via Vallen itu.  Jadi yang diputar di sekolah bukan hanya lagu-lagu wajib nasional tiap Hari Senin menjelang upacara bendera).

*Saya pun sudah melarang Hanna menyanyikan lagu berjudul "Bojo Galak" itu.  Apakah kemudian ia akan pindah selera dengan mendendangkan "Wanita yang Sedang dalam Pelukan"?  Jangan nyanyikan ya, Nak, sebab itu adalah tembang buat ayah-bunda.


________________________________________________________________________________


Ada Car Include Day di Temanggung  
(tentang Pasar Minggu)
Oleh Eko Nurwindarto 
   
          Sebagai masyarakat kebanyakan, ketika itu saya merasa bahagia banget melihat tetangga kiri-kanan tergopoh-gopoh keluar rumah saban Hari Minggu Pagi. 

           "Badhe tindak pundi, Bu Renggo?" 
           "Menyang Pasar Minggu.  Gandem tenan.  Njo melu !!" 
           "Cuss Bu !!!" 

            Beliau yang biasanya jarang sekali jalan-jalan pagi menjadi tergerak untuk menjejakkan langkah alias berarti sekaligus juga menyehatkan badannya.  Tentu akan sehat pula jiwa kita semua sebab sesawangan di Pazaar Minggu itu memang terlihat serba berbeda.  Sesawangan kuliner, sesawangan fashion include yang jaga (entah owner atau worker : cantik-cantik nian !!), sesawangan radio kreatif, aneka asesoris dan kaos.  Pokoknya semua sesawangan terasa menyegarkan sesegar sinar mentari yang pelahan menyemburat sehingga menambah keindahan kawasan alun-alun Temanggung.  Anak saya yang kecil pun luar biasa senang ketika dibelikan sebentuk makanan berbahan dari tahu yang dimodif sangat eyecatching dan funnies.  Membahagiakan dunia anak-anak.  Ada pula thiwul, nasi megono, susu asli, bakpao kekinian, dan lain-lain yang disajikan dengan semangat terobosan alias mencoba inovatif.  Tekstur, tampilan dan taste-nya berani serta begitu berasa !!
              Pazaar Minggu itu adalah selayaknya pasar tiban (sebagai komplemen dari pasar reguler, dan bukan sebagai substitusi).  Anda tahu bahwa ada kelaziman-kelaziman yang menyertai setiap ada pasar tiban terselenggara?  Yakni semangat para pedagangnya untuk tampil spesial dan paling sempurna di hari pasar tiban itu tiba.  Sempurna penataan lapaknya, sempurna kualitas barang dagangannya, sempurna penampakan dirinya dengan senyuman yang luar biasa menawan dan pilihan diksi penawaran yang paling sugestif.  Di pasar tiban yang rentang jarak kehadirannya seminggu sekali, dijamin tidak akan ada jajanan wayu atau nget-ngetan dijual.  Semuanya serba baru dan hangat.  Pasar berjenis seperti itu adalah serupa bazaar pameran yang bertujuan hendak menghunjamkan image produk kepada setiap hati pengunjung.  Sebagai ajang promosi, sebagai ujian pemasaran produk.  Para pelaku usaha di pasar itu pun tampak begitu terangsang untuk tampil habis-habisan.  Segenap potensi digali, seluruh kreatifitas ditambang, sejumlah modal dikuras bersemangatkan: laku nggak laku yang penting eksis !!

               Demikianlah juga kiranya dengan Pazaar Minggu Temanggung yang pernah berlangsung.  Pasar Minggu telah mampu menggairahkan minat kewirausahaan warga, bahkan termasuk mereka yang sehari-harinya tidak berprofesi sebagai pedagang sekalipun.  PNS yang hobi membuat cake misalnya, bisa mencari tambahan dana keluarga dengan berjualan di Pasar Minggu sekaligus merekatkan paseduluran dengan beragam strata masyarakat.  Kegairahan warga berwirausaha itu sangat tampak terasa saban Minggu Pagi.  Setiap lari pagi di Hari Minggu dengan rute yang berganti-ganti, sering sekali saya lihat para pedagang (mungkin dadakan) yang rempong menggotong properti dagangan.  Ketika lari dengan jarak tempuh ke Joho atau ke Sroyo atau ke Gilingsari atau ke Kaloran, saya sering berpapasan dengan mereka yang berboncengan motor dengan memanggul sesuatu berbentuk melingkar yang mirip jemuran kumbahan dari aluminium.  Atau ada juga yang menggunakan mobil bak terbuka sehingga transparan barang dagangannya.  Seperti gerak sentripetal, dari berbagai sudut kota mereka dho ngebut semangat banget menuju satu titik nasib !!



                  Belum lagi dengan kegiatan anak-anak muda yang terbangkitkan dengan penyelenggaraan Pazaar Minggu.  Mereka mencoba tampil eksis dengan bermusik, fashion show, senam masal, dan lain-lain.  Dan juga rombongan kesenian tradisional pun bisa ikut unjuk gigi.  Sehingga topeng ireng, jaran kepang dan kawan-kawannya itu tidak hadir di kawasan kota setahun sekali yaitu pada saat hari jadi Temanggung saja.  Sungguh, berkunjung ke Pazaar Minggu sangat berbeda debar syahwat-semangatnya bila dibanding dengan pergi ke pasar swalayan yang item-nya hanya itu-itu saja: pasta gigi, minyak goreng, pembalut dan makanan kemasan !!  Sejatinya Pasar Minggu telah bersemayam di hati para warga dengan derajat sangat ngangeni.  Ngangeni secara psikologis dan ngangeni secara finansial (ada dorongan instintif untuk menyisihkan dana mingguan buat pergi ke Pasar Minggu bareng keluarga).


                 Tetapi mengapa oh mengapa, tiba-tiba saja Pazaar Minggu itu lenyap hingga kini.  Padahal sudah tak pamerke kepada kerabat dan kolega dari luar kota bahwa di Temanggung ada destinasi wisata baru di pagi hari nan sejuk.  Tempat segenap komponen warga Temanggung pamer gigi sesuai dengan passion masing-masing.  Namun sebagai rakyat biasa, kiranya tidak perlu sampai kemudian mencari tahu penyebab kenapa Pasar Minggu itu menjadi tiada.  Kita main uthak-athik gathuk saja begini: Pazaar Minggu tersebut berakhir mungkin dikarenakan penyebutan kata Pasar menggunakan huruf Z (Pazar).  Z adalah huruf terakhir dalam urutan huruf Latin.  Maka wajarlah jika kemudian Pazaar Minggu itu berakhir pula.  Coba kalau yang digunakan adalah huruf S (Pasar).  S bermakna SELALU, SENANTIASA, SELAMANYA sehingga niscaya Pasar Minggu itu pun akan terus eksis sepanjang usia !!  He he he....(de'e ojo melu mesem lho).  Pastinya sesuatu yang pernah menjadi kebahagiaan itu akan selalu tersimpan menjadi memori laten dalam benak.  Dan suatu waktu akan gampang terpanggil menjadi gambar-gambar kenangan.  Aiihh, meriahnya Pasar Minggu....... Gambar kenangan yang menangis dengan resolusi yang jelas !!
                     


           Dan gambar kenangan tentang Pazaar Minggu itu tiba-tiba muncul ketika saya menyeberang jalan di depan Pasar Kliwon Temanggung.  Betapa para sopir aneka jenis kendaraan yang melintas di depan Pasar Kliwon itu sangat ber-tepo sliro dalam menyetir kendaraannya.  Dari arah POM LAMA mungkin mereka agak ngebut.  Tetapi begitu sampai di TUGU JAM laju kendaraan pun diperlambat disesuaikan dengan medan pasar.  Mereka memberi kesempatan kepada para penyeberang jalan dengan begitu sabar.  Para pengendara itu rupanya telah terkena perasaan SADAR PASAR.  Yaitu sejenis kesadaran yang muncul secara otomatis manakala sedang melintas di depan keramaian pasar.  Antara pengendara dengan para penyeberang jalan seperti timbul koordinasi yang ritmik serta bersahabat.  Terjadi rasa kebersamaan yang indah antar sesama pengguna jalan.  Walau di depan pasar itu tidak ada otoritas yang berwenang yaitu polantas, namun lalu-lintas di situ berjalan baik-baik saja.  Sering terlihat pula gerak atau gesture tubuh penyeberang jalan yang serupa pantomim. Kepalan tangan diangkat dan digerak-gerakkan sebagai tanda hendak menyeberang, dan seusai menyeberang kepalan tangan itu dibuka dan tetap digerakkan kiri kanan sebagai tanda dadah-dadah dan ucapan terima kasih kepada pengendara kendaraan.  Ada pula penyeberang jalan yang sangat percaya diri menyeberang di tengah lalu-lalang kendaraan dengan memainkan kelenturan tubuh dan pantatnya.  Adegannya demikian: Pas menyeberang, pantat dan tubuhnya ditarik ke belakang dengan cepat, dan seketika  mak  wussss.......sepeda motor lewat di depannya dengan jarak hanya beberapa jengkal.  Kalau yang begini sih sang pengendara tidak hanya butuh SADAR PASAR, namun juga harus SADAR REM !! (de'e ojo ngguyu meneh ah !!).  Coba kalau ada waktu, seksamakan sepasang mata Anda untuk melihat hal-hal yang serupa youtube realistik dan dekat dengan hidup kita tersebut.  Bukan seperti konten youtube yang sering kita akses dimana videonya kebanyakan berasal di negeri nun jauh di sana.
 
              Lalu apa hubungannya antara menyeberang jalan di depan Pasar Kliwon dengan Pasar Minggu?  Ya, seandainya saja Pasar Minggu bisa dihadirkan lagi dengan mengadopsi kelaziman orang menyeberang di Pasar Kliwon, betapa bahagia rasanya.  Artinya Pasar Minggu versi yang baru nanti membolehkan angkutan kota jurusan Parakan melintas atau "menyibak" di depan lapak-lapak pedagang.  Demikian juga dengan sepeda motor dan mobil pribadi, kecuali bus antar kota dan truk pasir tentunya.  Seperti halnya ketika melintas di depan Pasar Kliwon, para pengendara pun tentu akan terdorong untuk SADAR PASAR juga.  Pelan-pelan ketika menyetir dan bahkan (niscaya) akan mencenderungkan para penumpang di dalamnya menjadi penasaran dengan Pasar Minggu sehingga tertarik untuk turun di situ.  Juga dengan "para penghuni" mobil pribadi akan langsung bisa menyaksikan kemeriahan Pasar Minggu dari dekat sekali.  Ke Pasar Minggu jadi mudah akhirnya, bisa dihantar sampai di depan lapak yang diinginkan.  Kondisi yang demikian ini tentu akan mendorong tumbuhnya semangat "bagi-bagi rejeki" khususnya antara pedagang dengan sopir angkutan kota.  Guyub, damai serta membahagiakan !!  Para penumpang - para sopir angkutan - para pedagang dan juga para pelintas akan menciptakan sinergitas yang signifikan bagi eksistensi dan prospek PAZAAR MINGGU  (bila kondisi demikian bisa tercapai, boleh pakai Z !!).  Pasar Minggu yang berlangsung dalam kisaran hanya 6 jam saja itu pun bakal ramai selalu.  Sehingga semua eksponen dalam pasar tersebut akan bisa menikmati semacam rasa orgasme.  Orgasme-finansial, orgasme-promotif dan orgasme-eksistensial !!

           Ide Pasar Minggu seperti tersebut di atas tentu akan melahirkan sebuah suasana yang crowded.  Justru berangkat dari situasi semacam itulah kita akan terangsang untuk melahirkan pemikiran yang antisipasif dan solusif.  Salah satunya adalah lebar lapak para pedagang haruslah berukuran sesuai dengan ruang jalan sehingga kendaraan bermotor tetap bisa melintas perlahan-lahan.  Untuk itu perlu dibentangkan tali aluminium (bisa juga tali dadung) yang memisahkan antara "kawasan pasar" dengan "kawasan jalan".  Ruang-ruang akan terbatas memang, namun jangan khawatir.  Berkacalah pada situasi di Pasar Kliwon.  Di Pasar Minggu pun, selain para pengendara secara otomatis akan SADAR PASAR dan SADAR REM, para penyeberang pun akan menyeberang dengan gaya berpantomim pula.

                 Di Thailand ada sebuah pasar rakyat yang bahkan berada di antara rel kereta api.  Justru ketika kereta api itu hendak lewat menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh para wisatawan.  Mereka mengabadikan sinergitas-humanis antara pedagang dengan kru kereta api.  Wisatawan berselfi-ria dengan latar belakang lapak-lapak pedagang yang crowded dan jalan kereta api yang melambat.  Kereta api Thailand yang "membelah" pasar rakyat itu tentu juga sudah sadar pasar dan sadar rem !!  Lebih sadar tentu, sebab suasana pasar seperti tergambar dari foto di bawah ini sudah berlangsung sejak lama di sana.  Coba simak para pedagang di Pasar Maeklong ini.  Mereka tidak berkeberatan untuk rempong sejenak menggeser tenda-tenda lapaknya setiap kereta api melintas di depan dagangan mereka.  Kiranya "rempong sejenak" itu tidak mengapa daripada lokasi pasar dipindahkan.  SALAH-SALAH KEMAKMURAN RAKYATLAH YANG JUSTRU IKUT BERPINDAH !!
                 


 


             Pasar tiban, pasar rakyat, termasuk Pasar Minggu janganlah diremehkan keberadaannya.  Sesungguhnya ia bisa menjadi destinasi andalan sebuah kota jika dikelola secara kreatif serta berkelanjutan.  Dan pasar tiban yang destinatif  tersebut hendaknya tetap berlokasi di pusat kota.  Seperti di Taiwan, pemerintah di sana sangat memperhatikan peranan pasar tiban seperti itu.  Coba tengok pasar malam di pusat kota metropolitan Taipei (tak jujug-ke po !?), desain tendanya bagus-bagus dan kemeriahan yang berlangsung sangat nyedulur sekali (silakan simak fotonya dalam artikel PASAR MALAM PEMDA juga terpacak di blog ini). 

              Pasar Minggu dengan tetap mengajak para sopir itu tentu bukanlah seperti penyelenggaraan Car Free Day.  Dalam Car Free Day semua akses jalan bagi pengendara bermotor ditutup tanpa kompromi, dan bahkan hingga menyebabkan kemacetan di ruas jalan yang dijadikan alternatif (contohnya seperti kemacetan di sepanjang Jalan Dr. Wahidin belakang Pendopo Pengayoman bila alun-alun ditutup).  Semoga Pasar Minggu versi baru nanti bisa menjadi pelopor bagi konsep Car Include Day  yang terjemahan bebasnya adalah: pengendara kendaraan bermotor tetap bisa ikut berbahagia dalam penyelenggaraan suatu keramaian (dalam hal ini Pasar Minggu).  Day dalam Car Include Day bermakna hari bergembira bersama.  Hak sopir angkota untuk hidup mengais rejeki tidak disingkirkan dalam Car Include Day, bahkan menjadi aktor yang setara dengan para pengunjung dan pedagang dalam upaya pelaksanaan kegiatan tersebut.  Kiranya bolehlah jika kemudian dikatakan bahwa Car Include Day adalah merupakan antitesis dari Car Free Day. 

             NJO !!, Car Include Day ini segera diselenggarakan.  Hal tersebut tentu dibutuhkan kerjasama yang apik banget antara segenap pemangku kepentingan.  Sinergitas antara kegembiraan berdagang, keramahan kebijakan dan kreatifitas polantas sangat diperlukan.  (Oh, Tuhan, tolonglah hambaMU  yang haus berwirausaha dan berekspresi ini).  Celoteh ini pun saya tulis semata-mata didorong oleh rasa cinta kepada Temanggung seisinya.  Isi Temanggung itu antara lain ya New Tugu Jam, Minal Lama, Bakso Pak Di, Ayam Djoe'dag, Ronde Wito, entho cotot, Butik Melcyd, Toko Redjo, OBL, Kebon Arum, Toko Hidup Baru, Toko Italy, pis kopyor telkom, Toko Arjuno, Warung Mak Ti Pom Lama, Toko Kondang, Kedu Susu, Radio Magno, Kopi Mukidi, Pikatan Water Park, Bakpao Samkok, Kledung Area, Gumuk Lintang, dll, dll......termasuk Pazaar Minggu.  Oh he-eh ding, ada NanCita harang !! (hayo, ngguyu maneh de'e).   

                "Selamat datang Pasar Minggu" yang ngangeni.  Dan saya membayangkan akan terjadi sebuah dialog pada Hari Sabtu sore di suatu saat nanti entah itu pada kurun kapan (semoga saja segera) berikut ini: 
                     "Besok ke Artos Magelang ya, nak?!" 
                     "Ah, nggak mau, Yah.  Besok Hanna pengin ke Pasar Minggu aja!!" 

                    (Namun di Hari Minggu pagi saat itu nanti saya tidak akan lagi diajak oleh Bu Renggo.  Beliau telah almarhum.  Dari surga Sana beliau tentu akan mengucapkan banyak terima kasih.  Sebab saat beliau masih sugeng setidaknya telah dibahagiakan juga oleh keberadaan Pazaar Minggu Temanggung yang saat ini sedang almarhum !!) 
NB: 
1. Pemrakarsa Pazaar Minggu, Mas Singgih S. Kartono, kini menyelenggarakan Pasar Papringan di  
    Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, KEDU. 
2. Artikel PASAR MALAM PEMDA serta ADA Car Include Day di TEMANGGUNG adalah  
    tribute buat nenek saya dimana dulu saya sering membantu berjualan di pasar ketika SD. 

NUMPANG CURHAT : 

1. Lazim belaka kiranya jika dalam setiap keramaian, termasuk pasar, ditampilkan pertunjukan aneka 
    kesenian tradisional.  Terus terang setiap menonton pertunjukan seni tradisi dengan jenis apapun, 
    sering tersaji kebosanan koreografis.  Ritme hentakan kaki selalu seperti itu.  Gerak pacak gulu  
    tidak begitu berbeda.  Blocking antar pemain signifikan sama.  Yang berbeda cuma glamouritas 
    kostum dan propertinya.  Dari identitas kostum serta properti inilah kemudian bisa dipindai nama 
    cabang seninya: jaran kepang, topeng ireng, kuntulan, bangilun, kubro siswo, dll.  Similirisasi  
    yang menjenuhkan.  Seni yang menggiring imaji menjadi berhenti pada KONSEPSI HANYA. 
    Hanya begitu......hanya begitu....selalu tanpa kedalaman yang menjiwa !!

   



Selamat bangun pagi para sejarawan, budayawan, pemerhati seni !! 
Tersebab pada suatu ketika, mungkin karena tidak terlambat saat menontonnya, saya melihat adegan paparan naratif ketika topeng ireng hendak ditampilkan.  Narator itu sepertinya berposisi sebagai "pejabat eksekutif jaman lama" yang hendak memberangkatkan pasukan perang.  Bila memang demikian adanya, berarti dalam topeng ireng itu sesungguhnya tersimpan teks-teks sejarah yang bisa digali kemudian diangkat menjadi fragmen-fragmen pertunjukan.  Sebuah repertoar bisa ditampilkan dari kronik/khasanah topeng ireng.  OPERA TOPENG IRENG, itulah ide yang ingin saya kemukakan.  Dengan tampilan sebagai opera, betapa kemudian topeng ireng akan bisa dipentaskan tidak hanya di panggung-panggung lapangan.  Demikian juga dengan jaran kepang, dll, dan artinya suspensi dramatiknya pun tidak harus dengan kesurupan !! 

                 "Saksikanlah Opera Topeng Ireng di Gedung Pemuda Temanggung...!!!, seru suara dari mobil promosi keliling suatu ketika nanti. 

                  Tetapi dengan catatan: jika infrastruktur panggung dan perangkat akustik Gedung Pemuda sudah memadai untuk memanggungkan sebuah pertunjukan opera.  Semula saya pikir Gedung Pemuda itu akan mampu menggelorakan semangat juang pemuda seperti era Boedi Oetomo.  Jebul malah lebih banyak untuk menyemangati para pemuda agar cepat-cepat menikah, terbukti sering dipakai buat perhelatan resepsi pengantin.  Tetapi hal itu justru sesuai dengan peruntukannya sebagai gedung untuk para pemuda ding ya ?  Sebab yang dho menikah di situ kan ya para pemuda-pemuda juga to?  Memang pernah Mbah Kakungmu jadi manten di sana ?????????! 


2. Pengin curhat pula tentang hal sebagai berikut: 
    "Njo, kita buat gerakan membuang artikel akademik ke tong sampah!!  Terutama artikel akademik 
    yang tidak bisa diwujudkan....," terdengar dialog kecil di emperan perpustakaan. 
    "Eitt, jangan !!" 
    "Kenapa dong ?," NADA SUARA ini merajuk, tampaknya ia adalah seorang mahasiswi yang 
     matanya lentik pipinya cantik. 
    "Tanpa artikel akademik, industri pendidikan bakal bangkrut.  Kampus sebagai pabrik sarjana, 
     akan tutup.  Tiada lagi budaya bajak-membajak gagasan.  Sepi order skripsi dengkulan, padahal 
     ini komoditi.  Kos-kosan bakal kosong.  Mie instan sebagai menu utama mahasiswa jelata,  
     menjadi expired.  Belum lagi jasa fotocopi dan penjilidan, segera gulung tikar mengenaskan. 
     Doa-doa yang biasa khusyuk dipanjatkan menjelang ujian, tak akan tergaung di tengah malam. 
     Puasa Senin-Kamis pun tak akan lagi menjadi ritual andalan !!!" 
    "Jadi harus gimana dong ?!!," NADA SUARA in tambah merajuk, matanya kian lentik, pipinya 
    semakin cantik. 
    "Artikel akademik meskipun tidak bisa diwujudkan tetaplah dibutuhkan.  Sebab bisa dipakai 
     untuk bancikan kenaikan golongan.  Untuk prasyarat meraih jenjang kepangkatan dan lantas 
     menikmati kenaikan gaji dari anggaran yang disediakan.  Artikel seperti itu juga bisa dipakai 
     guna masturbasi intelektual berkepanjangan.  Tetapi artikel yang termuat dalam CELOTEH 
     ORANG PINGGIRAN ini tidak termasuk lho.  Sebab hanyalah celoteh warungan, meski  
    sebenarnya bisa diwujudkan juga sih..,"hayo  coba tebak NADA SUARA yang ini milik 
    siapa??!).   
____________________________________________________________________________ 

MENJADI TKI PLUS-PLUS 
(catatan perenungan) 
Oleh Eko Nurwindarto   

            Berikat-ikat buah leci tampak terpajang di toko-toko makanan dan lapak-lapak pedagang pasar di Nankang, Taichung, Taiwan.  Kami para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sering memborongnya untuk kemudian disantap akrab bareng-bareng terutama setelah memeras keringat usai lelah bekerja.  Segar luar biasa !!  Buah leci adalah buah yang merebak muncul di seantero Taiwan bila musim panas tiba.  Nyesss adem, sungguh melegakan tenggorokan.  Bila leci telah berbuah, hal itu sebagai pertanda bahwa kehidupan di Taiwan akan kembali bergairah setelah berbulan-bulan ditelikung oleh musim dingin yang menusuk tulang.  Belum lagi ditambah datangnya badai yang menggiriskan (kadang berkelindan pula dengan gempa bumi yang membuat "negara" kecil itu oleng bergoyang-goyang). 

              Bila musim panas tiba adalah saatnya sweater, jaket tebal, jumper serta tumpukan selimut disingkirkan.  Dan terlihatlah orang-orang mengenakan busana yang berkesan seadanya: hotpants, tanktop, "you can see", dan model-model busana minimalis lainnya.  Mereka (tentunya yang kemudian menjadi pusat perhatian adalah yang kaum hawa) banyak berlalu-lalang di pedestrian, taman-taman kota, mal-mal, bus umum dan kereta api.  Suatu hari pas mendapat libur kerja, penulis bersama teman-teman sesama TKI gembira-berwisata ke Taoyuen, salah satu kota besar di Taiwan.  Refreshing !!  Sambil bercanda ke sana-ke mari menyusuri lorong stasiun KA, bersemangat hendak berburu kuliner Indonesia yang banyak dijajakan di "warung-warung Indo" yang terletak di seberang stasiun KA Taoyuen.  Sungguh kami sudah rindu pecel, rindu sate, rindu wedang jahe !! 

 

         Tiba-tiba pandang mata kami terlesat kepada sesosok gadis berpenampilan modis yang berjalan menyalip dari sisi kanan dan kemudian tepat melenggak-lenggok di depan kami.  Meninggalkan hembusan parfum dengan aroma elegan.  Gadis itu memakai sepatu lars dengan tinggi hampir separuh lutut.  Bercelana pendek, rambutnya sebahu dan mengenakan topi.  Khas penampilan gadis Taiwan di musim panas.  Demi melihat pemandangan yang sexies itu, kami pun saling berbisik dengan narasi khas pejantan.  Kami memang mengira ia adalah gadis Taiwan.  Cuma kemudian terbersit pertanyaan: kenapa ia berjalan menuju warung Indonesia?  Apakah ia ingin mencicipi makanan khas Indonesia?  Apakah ia rekan bisnis dari pemilik warung Indo itu?  Atau jangan-jangan ia adalah seorang chef  Taiwan yang hendak menangguk ilmu tentang perkulineran Indonesia? 

          Kami, terdiri dari 3 pejantan, terus mengikuti dari belakang langkah-langkah gadis modis itu hingga memasuki warung Indo yang biasa kami kunjungi.  Seksama kami perhatikan, cermat kami pandang.  Dan kemudian serta-merta kami lihat, tangan kanan gadis itu diangsurkan ke sebuah piring yang berisi setumpuk makanan.  Hahhh...!!  "Gadis Taiwan" itu mengambil sebuah tempe bacem !!!  Bangga rasanya makanan lokal kami digemari oleh orang luar negeri.  Padahal sering kami lihat gadis-gadis Taiwan yang berlalu-lalang seraya tangannya memegang burger, ice cream atau snack kemasan ternama lainnya.  Beda banget dengan "gadis taiwan kami" yang satu ini.  Ia menggemari tempe bacem kami.  Tempe bacem is local wisdom goes global ??!! 
            Ingin banget kami menyapa gadis itu.  Betapa ia telah menjunjung tinggi harkat dan martabat kuliner kami.  Ingin sekali kami mengetahui pendapatnya tentang taste makanan kebanggaan kami itu.  Namun belum sempat kata-kata terucap.  Keberanian menyapa pun belum terbangun sempurna, bahkan rangkaian kata masih dalam tahap rencana.  Mendadak gadis yang dari belakang tampak molek itu membalikkan badannya.  Maka tersibaklah gerai rambut yang semula menutup pipi kiri-kanannya, dan langsung bersitatap dengan kami.  Hahhhh....!!!!  Ternyata gadis berpenampilan metropolis berompi cardigan nan tipis itu....berwajah Jawa !!!   TKI juga.    

 

            Konsumtifisme dan mentalitas aji mumpung memang gampang melanda TKI/TKW kita.  Mumpung gampang beroleh uang, maka belanja-belanja tanpa rencana.  Berdandan salah kostum sudah biasa.  Semuanya memang bisa dikompensasi dengan kerja lembur sekian jam saja.  Bekerja di negeri orang jika tanpa dibekali dengan gagasan yang kelak akan diwujudkan sesampai di negeri sendiri, niscaya akan mudah terlena.  Sesungguhnya gaya hidup TKI cenderung kelewat boros, namun sering tidak terasa.  "Manajemen" menjadi TKI kita rasanya memang sulit diubah.  Umumnya uang yang didapat dipergunakan hanya untuk membangun rumah atau membeli mobil.  Bila kemudian habis ya berangkat lagi menjadi TKI.  Alangkah strategisnya bila motivasi menjadi TKI itu demi mencari modal untuk mewujudkan gagasan.  Motivasi yang sifatnya lazim dan elementer, yakni mencari uang, memang tidak kemudian harus dinafikan atau diabaikan. Namun betapa indahnya jika dalam motivasi tersebut dimuatkan pula bekal gagasan yang terkait dengan kepedulian kemasyarakatan. 

 

          Dan menjadi TKI itu sebenarnya adalah perjuangan yang niscaya ketika di negeri sendiri lapangan pekerjaan masih terbatas.  Dengan menggunakan kalkulasi DERET HITUNG dan DERET UKUR, perjuangan meraih cita-cita itu bisa ditempuh.  Notasi deret hitung adalah 1, 2, 3, 4......dst, sedangkan deret ukur menggunakan notasi perkalian atau perlompatan 2x2=4, 4x4=16, 16x16=256......dst.  Misalnya saja jika kita bekerja pada sebuah lembaga di negeri sendiri dengan gaji 2 juta rupiah perbulan.  Berarti setahun akan berjumlah 24 juta rupiah.  Namun tentu tidak akan bisa terkumpul utuh sebesar 24 juta, sebab pasti kepotong untuk membeli sabun, pasta gigi, sumbangan kondangan atau tilik bayi  dan bejibun kebutuhan lainnya lagi.  Jika hanya setia berjuang dengan menggunakan prinsip deret hitung ini, perjuangan mewujudkan gagasan tentu akan lebih sulit tergapai.  Beda dengan kalkulasi deret ukur.  Dalam deret ukur akan terjadi perolehan penghasilan yang berlipat dalam waktu yang lebih pendek.  Dengan "metode" deret ukur itulah seorang TKI selain akan bisa meraih kebutuhan dasarnya, juga sekaligus akan bisa mewujudkan gagasan-gagasan kemasyarakatan yang diimpikannya.  Menjadi TKI yang plus-plus, kiranya itulah pilihan perjuangan yang ideal. 
_________________________________________________________________________________ 

MENIMBANG MARWAH TKI 
(catatan pengalaman) 
Oleh Eko Nurwindarto 

                TKI/TKW dikenal cenderung gampang terlanda gagap budaya manakala sedang bekerja di negeri orang.  Mereka beranggapan itulah saatnya bisa puas berbelanja dan berdandan, karena harga-harga barang memang berada dalam jangkauan.  Apa-apa bisa dibeli, hal yang mustahil tergapai di negeri sendiri. Kerja kerasnya siang malam di negeri manca dihargai dengan setimpal.  Kesehatan dan keselamatan kerja diperhatikan.  Jam lembur dihitung secara cermat, tidak dinilai sebagai kerja bakti.  Capai memang, tetapi lembaran dolar gampang hinggap di tangan, dan apabila di-kurs-kan membikin dunia serasa selalu bertabur senyuman.  Namun TKI/TKW yang tidak bisa mengendalikan diri akan gampang terjerumus ke dalam gaya hidup yang konsumtif dan hedonistik. 

              Itulah persoalan klasik TKI/TKW kita, tersebab semenjak sebelum berangkat ke negeri orang yang melekat dalam pikirannya hanyalah uang dan uang belaka.  Jika misalnya kontrak 2 tahun pertama usai, maka diperpanjang lagi (dengan berbagai modus) entah sampai tahun ke berapa.  Bila bosan bekerja di negeri asing yang satu (Malaysia misalnya), lantas berganti ke negara asing yang lain lagi.  Bahkan di kalangan "pejuang TKI" ada semacam tangga-tangga sukses yang biasa ditempuh.  Pertama-tama apabila modal yang dimiliki untuk menjadi TKI tidak begitu banyak, Malaysia-lah yang dituju sebab biaya untuk ke sana tidak semahal ke negara lain.  Setelah kontrak kerja di Malaysia habis, dan modal sudah dirasa cukup, maka kemudian melirik negara-negara yang standar gajinya lebih tinggi.  Taiwan, Jepang atau Korea Selatan-lah pilihannya.  Demikian seterusnya cara pejuang TKI itu "menaiki tangga", sampai ada teman penulis yang berhasil menjejakkan kaki sebagai TKI di Amerika dan Eropa.  Modal untuk menuju ke negara-negara tersebut memang lebih besar.  Tetapi karena gaji yang diterima makin tinggi, maka balik modalnya pun lebih cepat.  

                Sayangnya mentalitas TKI/TKW kita yang tidak bisa jauh dari gaya berkonsumtif tadi, mungkin dikarenakan kebanyakan mereka masih berbekal visi (pendidikan) yang terbatas.  Berbeda dengan tenaga kerja asing dari Philipina yang suka bergerombol di tempat rehat dengan berseragam dan di tangannya tergenggam koran atau majalah, dan terlihat seru mendiskusikan berita yang termuat di dalam media Philipina itu.  Ternyata banyak tenaga kerja Philipina yang sudah sarjana.  Pemerintah Philipina pun dikenal sangat memberikan perhatian kepada hak-hak legal walau mereka tidak sedang tertimpa masalah sekalipun.  Ada sekitar 10 - 12 juta atau lebih dari 10 % penduduk Philipina yang bekerja di luar negeri (Kompas 15 Oktober 2017 halaman 3).
      
 

             Pemerintah Indonesia harus senantiasa memberikan perhatian dan dukungan lebih bertubi-tubi lagi kepada para TKI/TKW (secara gender serta bahasa, singkatan TKI/TKW ini sebenarnya membingungkan).  Menjadi TKI/TKW adalah suatu pilihan yang niscaya ketika lapangan kerja di negeri ini masih terbatas.  Harap diingat, mereka bukanlah serupa komoditas sehingga sejatinya tak layak diperas demi hujan devisa yang merinai deras.  Pelatihan-pelatihan dengan melibatkan motivator kreatif perlu diberikan kepada mereka, sehingga bisa memiliki daya saing.  Dan dimotivasi pula agar di sepanjang hidup mereka tidak harus selamanya melanglang buana melulu menjadi TKI/TKW saja.  Negeri ini perlu diolah bersama-sama apapun latar belakangnya.

 

Tenaga Kerja Berkebangsaan Indonesia 
           Sebenarnya sepanjang dilandasi dengan tekad yang kokoh-kuat dan motivasi yang bermuatkan gagasan-gagasan kreatif, menjadi TKI/TKW adalah sebuah perjuangan yang menjanjikan.  Pemerintah pun diharap senantiasa mampu memberikan perhatian dan perlindungan yang berkelanjutan.  Salah satunya, yang mungkin sebagian orang akan beranggapan sebagai sesuatu yang remeh, adalah terkait istilah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan TKW (Tenaga Kerja Wanita).  Kedua istilah tersebut memang sudah populer dan mampu menggiring proses identifikasi tentang siapa serta apa spesifikasi pekerjaan mereka.  Namun bila lebih dicermati lagi, sebenarnya istilah tersebut kurang tepat secara bahasa dan mengandung bias gender.  Tenaga kerja Indonesia berjenis kelamin perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik luar negeri umumnya tidak mau disebut sebagai TKW.  Mereka lebih sreg disebut sebagai TKI.  Sebab istilah TKW sudah terlanjur ngetop untuk mengelompokkan mereka yang bekerja di sektor domestik: perawat orang jompo, mengasuh anak atau yang kita kenal sebagai PRT.  Padahal secara bahasa, pekerja pabrik berjenis kelamin perempuan itu tentu boleh saja dikenai sebutan TKW.  Istilah TKW sebenarnya juga belum bisa menunjukkan  dari mana asal negara pekerja perempuan tersebut.  Tidak mesti berasal dari Indonesia, sebab pekerja wanita di sebuah pabrik atau rumah tangga di luar negeri ada yang berhak pula menyandang sebutan TKW dari Thailand, TKW dari Bangladesh, dst.

 

          Istilah TKI juga tidak mengacu kepada mereka yang berjenis kelamin laki-laki saja sehingga kepanjangannya tentu bukanlah Tenaga Kerja Laki-Laki.  Ada pula pekerja kita yang tidak dikirim melalui jalur PJTKI, merasa emoh  menyandang predikat sebagai TKI.  Mereka yang umumnya sarjana disiplin ilmu tertentu, merasa lebih enjoy apabila disebut sebagai tenaga profesional.  Sudah terlanjur terstigma bahwa TKI adalah mereka yang bekerja di pabrik-pabrik atau perkebunan yang kadang dikabarkan tertimpa kecelakaan kerja.  Sedangkan TKW adalah mereka yang bekerja di rumah tangga (sampai ada yang terkena hukuman pancung segala). 

            Untuk mengurangi istilah yang debatable karena memang terkesan rancu, ada baiknya penyebutan untuk para pejuang devisa itu diluruskan dengan menawarkan istilah baru.  Selain agar tidak terjadi resistensi, juga supaya istilah tersebut mampu mengembalikan marwah atau jati diri sebagai duta bangsa dan memantik semangat juang yang berlipat ganda. TENAGA KERJA BERKEBANGSAAN INDONESIA (TKBI), kiranya tepat untuk di-blow up  sehingga pelan-pelan bisa mengganti istilah TKI/TKW.  Istilah TKBI ini niscaya akan bisa memayungi kesemuanya tanpa mengandung aura diskriminasi.  Tenaga kerja pria-wanita, pabrik-rumah tangga, informal-profesional, berasal dari Singkawang atau Madiun, sepanjang berpaspor Indonesia mereka adalah keluarga besar TKBI yang memanggul amanat membawa citra bangsa di negeri manca. 
__________________________________________________________________________ 

PEMIMPIN JADI-JADIAN 
Oleh Eko Nurwindarto 

            Ketika belum habis mengherani pertanyaan anak saya, Hanna Nancitanova Rifdah yang masih kelas 1 SD: "Yah, babi ngepet itu apa to?  Suster ngesot itu apa?!!" (padahal juga masih terngiang saat ia dikontaminasi teman-teman sekolahnya dengan lagu "Bojo Galak"), tiba-tiba Pak Pos datang.  Paket dari siapa ini?  Horeee, jebul dari teman kos dulu mengirimiku sebuah buku karya dia berjudul 3000 METER.  Selamat ya!  Juga buat teman-teman yang telah memberiku buku-buku karyanya.  Jerih payah yang hebat.  Sebab tentu telah teman-teman lewati PROSES MERENUNG, LAKU MENGAMATI dan AKSI-AKSI MENDALAM lainnya saat menulis buku.  Teruslah berkarya di tengah gejala tumbuhnya PEMIMPIN JADI-JADIAN dan GENERASI PERMUKAAN seperti saat ini, generasi yang bangunan karakternya tidak sekokoh para pahlawan yang membanggakan. 
         Buat teman kosku Jansen Napitupulu di Batam, telah lama banget ya kita tidak karambol bareng di teras kos-kosan (dan jika ibu kos pergi, meja karambol itu kita gotong ke ruang tamu!!).  Lamaaaaa.....dan jauh, tetapi kini kita bisa berjumpa dan saling menyemangati.  Aduh, apakah akan dicap nggak nasionalis ya jika saya kok pengin bangets ngucapin terima kasih banyak kepada "seseorang" yang dengan karya ciptanya telah mempertemukan kita, sebab ia bukan anak kebanggaan negri yang kabarnya kaya akan sumber daya ini.  Thank's ya "pahlawan jaman now" Mr. Mark Zuckerberg, telah kau ciptakan FACEBOOK !! 

("Dik Hanna, babi ngepet itu babi jadi-jadian." 
 "Jadi-jadian itu apa, Yah?!!" 
 "Bukan sesungguhnya." 
 "Bukan sesungguhnya itu apa?!!" 
 "Ya semacam menipu." 
 "Babi kok menipu?!!!" 
 "??????????????????" 
(Kemudian Hanna menghambur ke arah ibunya: 
 "Mah, kalau suster ngesot itu apa?" 
 "Coba besok ditanyakan pada Ibu Guru ya...," tukas Hesti, gadis yang dulu sering saya kunjungi di  
 teras kos-kosannya, balapan dengan Bowo, Upri dan Aries, mereka teman-teman satu kos).  


_______________________________________________________________________ 

SALAH BERCERITA DAN SALAH BERLAGU? 
Oleh Eko Nurwindarto  
  
SALAH BERCERITA?
Menjelang tidur biasanya Hanna minta cerita dan pasti diinterupsi alias “ngeyel”, petikannya seperti ini:

“Jadi, pesawat terbang itu bisa menjangkau belahan bumi mana saja. Demikian juga melalui hp, kini kita bisa mengetahui berita dari negara seluruh dunia……”
“Yang pertama kali membuat pesawat terbang dan hp itu orang mana, Yah?”
“Orang luar negeri.”
“Kenapa mereka bisa membuatnya?”
“Mereka pinter-pinter.”
“Mengapa mereka pinter-pinter?”
“Ya karena suka makan sayur serta buah-buahan, dan tidak suka jajan.”
“Lha Ayah ini juga suka makan sayur dan buah-buahan, tapi kok nggak bisa mbuat hp dan pesawat terbang?”
“??????....!!!!!!.......!.......?”

SALAH BERLAGU?
Agar cepat bangun, di dekat telinga Hanna Nancitanova Rifdah ini kadang saya nyanyikan lagu:  
“Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi.  Habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku”

Mendadak ia bangun dan protes:
“Lho Yah, setelah bangun tidur, Hanna kan juga sholat, nonton tv dan sarapan, tapi kok nggak disebutin dalam lagu itu??”

“??????zzzzzz!?!?!?!!!!!!ggrrrrrrhhhhhh………….?!” 


  *Eko Nurwindarto 
WA/SMS 081328747838
________________________________________________________________________
                   
              
     _____________________________________________________________________________  


MEMBAYANGKAN PENGANTIN 

Oleh Eko Nurwindarto 

    Membayangkan menjadi pengantin memang indah.  Bagi siapapun yang belum pernah mengalaminya, barangkali akan selalu diganggu oleh pertanyaan semacam ini: bagaimana sih rasanya menjadi pengantin itu?  Pertanyaan tersebut bisa timbul ketika sedang menghadiri pesta pernikahan, melihat teman sebaya tampak bahagia menggendong momongan atau saat mengaduk-aduk lamunan. Atau bisa pula ketika merasa hitungan usia kian bertambah, pundi-pundi tabungan lebih dari cukup dan “jodoh” sudah dalam rengkuhan.
        Menjadi pengantin sesungguhnya identik dengan upaya meraba dan menjangkau masa depan.  Di sana akan tersosok kerangka sebuah keluarga yang akan membimbing perjalanan sebuah generasi baru.  Dan kekuatan serta ketangguhan generasi baru tersebut sangat ditentukan oleh bagaimana kerangka keluarga dibangun.  Pondasinya bisa terdiri dari kelayakan biologis, kesiapan psikologis dan ketersediaan ekonomis.  Tak boleh dilupakan juga: kedinamisan romantis !!
       Sebelum bergumul dalam dunia pengantin, selayaknya kedinamisan romantis ini perlu diberi porsi perhatian yang memadai.  Sebab dalam perkawinan terkandung hubungan ketersalingan yang akan bergerak secara otomatis yang salah-salah bisa menjadi rutinitas belaka.  Misalnya yang terjelma dalam bentuk otomatisasi sikap seia sekata, senasib sepenanggungan dan bahkan sikap sehidup-semati. Ketika seseorang mengajak pasangannya menikah, ia harus siap mempersembahkan jiwanya kepada pasangan terkasihnya itu.  Dan secara otomatis sang pasangan itu tentu akan pula rela memaklumi bahwa dirinya sudah tidak hanya menjadi milik dirinya sendiri.  Kedirian individualnya sudah berubah menjadi keterpemilikan bagi pasangannya.  Kemudian di sini akan terjadi semacam tawar-menawar atas selera, pandangan, hobi dan sikap.  Rela pula saling memberikan pengorbanan tanpa harus merasa menjadi korban eksploatasi dari pasangannya.
   Dalam konteks demikian memang dapat dikatakan bahwa perkawinan tak ubahnya pembelengguan.  Namun bukanlah pembelengguan yang bersifat formal ataupun institusional semata, melainkan pembelengguan demokratis dengan “penjara-penjara naluriah”.  Dikatakan demikian olehkarena siapapun yang terikat dalam perkawinan sebenarnya justru berada dalam kondisi yang merdeka.  Salah satu bentuknya adalah kemerdekaan untuk mempersembahkan cinta kepada pasangannya secara sah.  Dengan demikian berarti aktifitas penjajaan, penyelewengan dan penyimpangan cinta adalah bukan kemerdekaan.  Siapapun yang menjajakan cinta sesungguhnya dirinya justru terbelenggu, demikian pula dengan yang suka menyeleweng dan menyimpangkannya.  Terutama dibelenggu oleh kepribadian yang terpeleset dan tidak berada dalam kondisi yang sehat dan bebas dari tekanan.
       Menjadi pengantin berarti menentukan sebuah rencana.  Setidaknya rencana untuk membebaskan diri dari kesendirian.  Dan sebagaimana lazimnya sebuah rencana tentu terdapat andil aktifitas pikiran di dalamnya.  Berarti secara sederhana dapat dikatakan bahwa menjadi pengantin seharusnya merupakan tindakan menggabungkan antara dimensi rasa dengan dimensi rasio.  Rasa yang tumbuh secara naluriah serta wajib dikelola sesuai proporsi.  Dan rasio yang harus dicurahkan demi terselenggaranya cita-cita menggapai tujuan menjadi pengantin.
          Sayangnya “campur tangan” rasio dalam setiap peristiwa cinta sering diabaikan begitu saja.  Padahal sesungguhnya hal itu merupakan kendali agar arah cinta bisa mencapai tujuannya, yakni berupa totalitas kebahagiaan.  Ketika pulung cinta sudah merasuk dalam jiwa, biasanya karena “pandangan pertama”, selanjutnya peranan rasiolah yang akan menentukan.  Apakah kisah cinta itu akan menjadi sejarah abadi, kenangan masa lalu belaka atau justru merupakan rentetan bencana. Dan biasanya perkawinan yang sudah lama terselenggara, keawetannya lebih ditentukan oleh kapasitas rasio dari masing-masing pelaku perkawinan itu.  Sebab seiring dengan perjalanan waktu, perhatian suami-istri pasti akan terbagi kepada beragam hal.  Misalnya kepada tumbuh-kembang anak-anak,  langkah-langkah karir atau terhadap upaya mewujudkan cita-cita tertunda yang baru menemukan peluangnya.  Bila sudah demikian, cinta tak lagi hanya bersosok naluriah saja, tetapi terkandung pula jiwa tanggung-jawab di dalamnya.  Dan andil rasio sangat besar bagi terwujudnya tanggung-jawab tersebut. 
            
        Membayangkan menjadi pengantin memang indah, entah kalau sudah mengalaminya.  Tetapi bagi yang sudah mengalami dan ternyata merasa tidak indah, semoga tidak kemudian berniat untuk menjadi pengantin berkali-kali.  Sebab hakekat keindahan itu sesungguhnya terletak pada kesempatan yang pertama kali(*).  



 _______________________________________________________________________________ 

ORANG TUA BERTENGKAR, ANAK-ANAK PUN BERPENCAR 

Oleh Eko Nurwindarto 

         Bagi seorang anak, mendengar pertengakaran orang tuanya adalah sesuatu yang menjengkelkan, memusingkan kepala dan menekan perasaan.  Tetapi barangkali tidak demikian bagi si orang tua yang sedang bertengkar.  Pertengkaran  bisa dianggap sebagai media pelampiasan kemampatan hubungan suami-istri.  Bisa pula menjadi prasyarat demi makin terjalinnya keterbukaan komunikasi.  Sebab dalam pertengkaran biasanya akan terungkap sisi kelemahan atau kekurangan masing-masing yang segera disadari untuk harus dibenahi.  Setelah menyelenggarakan pertengkaran, umumnya makin tebal kesadaran untuk mengevaluasi perjalanan hidup yang telah diarungi bersama.  Barangkali itulah sebabnya sehingga ada pemeo yang berbunyi: pertengkaran adalah garamnya perkawinan !!
           Persoalannya: seberapakah porsi garam yang harus dituangkan ke dalam belanga perkawinan?  Tetapi ngomong-ngomong, bagaimana jika sebaiknya garam itu tidak perlu ada saja?  Dan jika pun harus ada karena sering datang dengan sendirinya tanpa bisa dihindari, bagaimana kalau jangan sampai dihidangkan di depan mata anak-anak?  Sebab anak-anak memiliki keinginan-keinginannya sendiri.  Dan salah satu keinginan tersebut adalah keharmonisan hubungan kedua orang tuanya.  Bila memang demikian, si anak pun bisa merasakan bahwa dirinya memiliki dunia.  Dunia keluarga yang tenteram, tempat di mana segenap bakat dan kepribadiannya terbentuk.
         Tak jarang kita temui anak-anak yang lari dari rumah karena bosan melihat orang tuanya  bertengkar.  Mereka merasa tak lagi mempunyai dunia bebas di rumahnya sendiri.  Mereka pun kadang merasa tak cukup punya keinginan untuk sekedar menegur orang tuanya yang bertengkar.  Sebab salah-salah bisa dicap sebagai turut campur urusan orang tua dan serta-merta akan dihardiknya dengan kata-kata “anak kecil tahu apa !!”   

         Penggambaran di atas barangkali terlalu ekstrim, dan cenderung terjadi hanya pada keluarga dengan kondisi kepribadian orang tua yang sudah parah.  Tetapi yang pasti dalam setiap peristiwa pertengkaran orang tua, posisi si anak memang sulit.  Misalnya bila harus melakukan pembelaan, ia harus membela siapa.  Sebab di matanya kedua orang tuanya adalah orang-orang yang harus dicintai.  Selain itu sering pula si anak tidak tahu menahu, sebenarnya persoalan apa yang menyebabkan kedua orang tuanya bertengkar.  Apakah memang persoalan yang hanya boleh diketahui oleh orang tua saja?  Bila memang demikian, mengapa tidak segera dipecahkan?  Mengapa tidak secepatnya diatasi?
       Si anak akan resah dan terus bertanya-tanya.  Kemudian mereka pun akan mencoba mencari tempat yang sekiranya bisa menenteramkan hatinya.  Dan repotnya dalam rangka mencari tempat itu mereka terlebih dahulu harus mengeluh-kesahkan problematikanya.  Jika tempat berkeluh-kesah itu bisa dipertanggungjawabkan, tak akan banyak timbul persoalan.  Namun sebaliknya jika tempat tersebut ternyata tidak jelas iktikadnya, si anaklah yang akan menjadi korban.  Misalnya menjadi bahan pembicaraan, olok-olok atau bully.  Kemudian si anak pun akan merasa terasing dan sendiri.  Akhirnya bisa terekrut ke dalam komunitas yang menyesatkan.
      Ada kecenderungan bahwa si anak tak akan pernah puas mengeluhkan problemnya kepada orang lain.  Apalagi bila problematika tersebut berkaitan dengan hubungannya dengan orang tuanya sendiri.  Sehingga si anak akan terus lari sana-sini tanpa tujuan pasti.  Berpencar-pencar.  Selain dalam bentuk keluh-kesah, bisa pula terekspresikan dalam perbuatan-perbuatan a sosial.  Sementara apa yang diinginkan si anak tersebut tak akan bisa tergapai, sebab sesungguhnya hal itu terletak dalam genggaman orang tuanya sendiri.  Namun bagaimana jika ternyata pihak orang tua tidak mempersembahkan tempat dan suasana yang nyaman?  Tempat di mana anak akan bisa leluasa mengutarakan keinginan-keinginannya dan suasana yang kondusif untuk merangsang terkuaknya potensi-potensi kreatif si anak.  Sehingga si anak akan mampu merumuskan kebutuhan-kebutuhan psikologisnya, misalnya berupa pencapaian identitas, penuntasan refleksi serta pencanangan obsesi-sbsesi.
         Garam pertengkaran dalam perkawinan memanglah sesuatu yang “sebaiknya tak perlu ada meski pada kenyataannya sering ada”.  Hal tersbut barangkali disebabkan oleh sejarah kepribadian yang semula berbeda sebelum kedua orang menyelenggarakan ikatan persuami-istrian.  Masing-masing memiliki dan membawa warna ego kepribadian sendiri-sendiri.  Memang dibutuhkan waktu dan pengorbanan untuk mencapai satu titik pencapaian kepribadian.   Bahkan kadang titik itu sulit untuk dipertemukan, kecuali dengan memandang bahwa sesungguhnya anak-anak adalah titik-titik kepribadian itu sendiri.  Artinya segala perbedaan yang biasanya menjadi benih-benih pertengkaran bisa diminimalkan.  Yaitu jika faktor kepentingan anak senantiasa dijadikan acuan terdepan.
        Lantas bagaimana jika sisi dari “keharusan” bertengkar itu hadir dengan tiba-tiba?  Yang paling enak dan aman adalah bertengkar dalam kamar tidur yang kedap suara.  Tindak lanjut dari pertengkaran model demikian, tentu akan lebih asyik asalkan tidak keburu tertidur saja !!! 
________________________________________________________________________________

“SOCIAL SKILL”, GENERASI MUDA KEPOLISIAN DAN MAHASISWA ZAMAN NOW 

Oleh Eko Nurwindarto 

        Seseorang yang memiliki minat besar terhadap masalah-masalah sosial, dan telah berpengalaman memecahkan kepelikan-kepelikannya serta terus berupaya mencari alternatif untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial yang masih ada, dapat dikategorikan sebagai telah mempunyai suatu “social skill”.  Ketrampilan tersebut tidak harus didapat dari suatu penghayatan terhadap profesi tertentu atau dilegitimasi secara akademik saja.  Melainkan bisa pula “diorganisasi” dari aksi kepedulian terapan, baik ketika dalam rangka mengaktualisasikan diri maupun saat mengeksistensialkan sebuah tatanan masyarakat.  Selanjutnya kepedulian tersebut dapat juga dirumuskan ke dalam bentuk planning, dan diujicobakan pada komunitas sosial yang diharapkan mampu menerima gerakan operasionalisasi yang terkandung di dalamnya.  Dalam konteks demikian, sangat dibutuhkan sebuah ketrampilan manajerial untuk makin mempertinggi derajat dan fungsi dari “social skill” tersebut.  
           Sebagaimana halnya alam, sesungguhnya realitas sosial itu telah ada begitu saja.  Persoalannya adalah bahwa tingkat kerumitan yang terjadi terasa semakin kompleks.  Tetapi meskipun di tengah keadaan semacam ini, kita masih sering dibuat bingung sendiri manakala hendak mencari sosok problema sosial yang dengan bersemangat sering kita diskusikan.  Sebuah penjelasan yang sedikit konkrit, barulah kita peroleh bilamana di hadapan kita telah terhidang suatu keresahan sosial dalam bentuk aksi.  Dan pada tahap pertama barangkali sebagian dari kita pun hanya akan menjadi penonton saja.  Barulah setelah kita adakan sekedar analisa dan perenungan, tiba-tiba kita menjadi terhenyak olehkarena ternyata kita juga telah mengambil peran di dalamnya (misalnya pamer kekayaan di luar proporsi atau menyebarkan berita-berita gosip dan hoaks).  Kesadaran memiliki peran tersebut akan makin terasa setelah diketahui bahwa terdapat pula problem sosial yang sebelum menjadi letupan ternyata telah bergerak secara pelahan-lahan dan bahkan struktural.  Kemudian timbullah rasa tanggung-jawab pada diri kita masing-masing agar masalah sosial tersebut dapat dieliminir sedemikian rupa sehingga tidak berubah menjadi suatu aksi yang meresahkan.  Dan bentuk partisipasi yang kita ambil bisa secara vokal-individual atau sistematik-institusional.  

Institusi Kepolisian
      Seperti diketahui bahwa kepolisian adalah lembaga yang paling bertanggungjawab bagi tetap terpeliharanya kamtibmas.  Kepolisian juga paling dekat dengan problem-problem sosial yang sering dicurigai sebagai penggoyah tata kamtibmas tersebut.  Dengan kemantapan organisasi, kelengkapan peralatan dan keunggulan sumber daya personilnya, kepolisian senantiasa menjadi tombak terdepan untuk menampung segenap problem masyarakat.  Sedangkan di lain pihak, kultur masyarakat menjadi titik balik tersendiri bagi polisi olehkarena di sinilah segenap citra polisi dipertaruhkan.  Keragaman watak, karakter dan kepentingan masyarakat menjadikan tugas-tugas kepolisian tidaklah sederhana.  Dalam keadaan yang demikianlah agaknya motto “Tekadku Pengabdian Terbaikku” akan mampu menemukan wahana implementatifnya, sebab peran polisi dalam melayani masyarakat menjadi teraktualisasikan.
          Tetapi meskipun polisi yang lebih dulu mengambil inisiatif melayani, bukan berarti masyarakat lantas diam melulu.  Peran masyarakat tetap diharapkan bagi berhasilnya tugas-tugas polisi dan terpenuhinya harapan masyarakat itu sendiri.  Namun secara legitimate kendali kamtibmas memang berada di tangan polisi.  Maka terasa wajarlah jika polisi lebih banyak berhak “mempelajari” masyarakat, dibanding sebaliknya.  Problema masyarakat harus lebih banyak diketahui polisi.  Namun demikian karena menyadari keterbatasannya, kepolisian tetap mempersilakan masyarakat untuk “menjadi polisi bagi dirinya sendiri”  (dalam konteks kamtibmas).
      Jadi peran masyarakat bagi terbinanya situasi kamtibmas sangat tergantung dari seberapa terbukanya sebuah masyarakat, secara efektif dan selektif, menyampaikan problematikanya kepada polisi.  Dengan demikian dapat dibayangkan betapa beratnya beban polisi dalam menampung, menganalisa dan memecahkan problematika sosial yang diterimanya dari masyarakat.  Namun sayangnya keadaan yang demikian kadang tidak dipahami oleh masyarakat, sehingga sejumlah complain kadang masih terdengar.  Masyarakat cenderung berpikir atas nama kasus pribadinya saja.  Sedangkan di tangan polisi, kasus tersebut menjadi tugas organisasi untuk memecahkannya.  Artinya bukan tugas Pak Kapolsek atau Pak Kapolres an sich, melainkan harus melalui proses koordinasi antar bagian yang ada dalam birokrasi kepolisian.  Bahwa complain tersebut kadang masih muncul, barangkali karena memang adanya suatu dilematika yang dialektis antara kultur masyarakat dengan profesi polisi.
       Penguasaan polisi atas segenap problematika sosial menjadi menarik karena kualitas dan kuantitasnya tentu saja valid manakala dipakai untuk membaca karakteristik sosial masyarakat tertentu.  Dalam mengumpulkan data, polisi tidak saja menggunakan “questioner” konvensional, tetapi juga dipakai “metode intelejen” sehingga sumber data akan dengan serta-merta bersedia memberikan seluruh keterangannya.  Keadaan seperti itu niscaya makin diperlancar dengan adanya semacam image of enforcement  yang tercipta dengan sendirinya dalam diri masyarakat.  Misalnya, polisi akan lebih mudah mendapatkan peta kejahatan di wilayah tertentu lengkap dengan problematika sosialnya.  Polisi akan tahu “konfigurasi sosial” wilayah yang warganya cenderung permissive terhadap tindakan-tindakan a susila ataupun kriminal misalnya.  Polisi pun paham terhadap peta black collar crime yang cenderung dilakukan masyarakat kelas bawah, demikian pula dengan peta white collar crime yang biasanya dijamah oleh maysrakat menengah ke atas.
      Dimensi praksis yang komprehensif tersebut niscaya akan makin memantapkan kekayaan “social skill” polisi.  Dan kondisinya sungguh berbeda dibanding mereka yang bergelut di bidang “social idealism” yang mungkin karena begitu luas dan generalnya wilayah kajian, sehingga terkesan teoritis sekali alias kurang membumi.

Generasi Muda Kepolisian dan Mahasiswa Zaman Now
         Dalam kesehariannya, di benak kaum mahasiswa senantiasa tergaung konsep-konsep atau teori-teori akademik yang lebih banyak bersifat fresh from book.  Artinya semenjak mahasiswa tersebut menginjakkan kakinya (dan memasrahkan impuls intelektualitasnya) di bangku kuliah, langsung dihidangkan di hadapannya sejumlah teori sebagai suatu tools of analysis.  Dan seperangkat alat tersebut diminta untuk membedah segenap problematika kemasyarakatan yang secara metodhologik barangkali merupakan sesuatu yang masih asing bagi historika pemahamannya.
      Deduktifikasi teoritis tersebut dimaksudkan untuk mengantarkan semangat ilmiah mahasiswa menuju satu keadaan yang diharapkan memenuhi prasyarat sebagai “calon ilmuwan”.  Dan meskipun statusnya baru dalam taraf calon, namun agaknya mau tak mau telah mengkondisikan dirinya untuk menggumuli lingkup dialektis atas masalah kemasyarakatan tertentu.  Dan selanjutnya “kepekaan serta ketajaman” yang didapatnya dari mempelajari teori-teori akademik tersebut akan mendorong dirinya untuk menggumuli realitas sosial, meskipun masih tetap berbau akademik.  Artinya setelah menguasai teori, mereka pun ingin mencoba memecahkan problem kemasyarakatan yang ada, minimal yang tengah terjadi di seputar lingkungannya.  Pertanyaannya adalah, seberapa jauhkah tingkat keberhasilan dan juga potensi kegagalan dalam upaya menerapkan teori-teori akademik tersebut?  Dan seberapa lebarkah sebuah teori akademik mampu mengatasi bentangan problema sosial yang ada (mengingat teori akademik cenderung akan aplikatif secara “eksklusif” atau tergantung dengan citerus paribus, kalau meminjam terminologi ilmu ekonomi)?  


        Barangkali upaya kaum mahasiswa untuk menerapkan teori-teori akademik tersebut, keadaannya akan berbeda dengan kolega mereka yang sama-sama tengah mengkaji “teori-teori akademik plus” di bangku Akademi Kepolisian.  Agaknya ada keharusan dari setiap taruna Akpol untuk sebanyak-banyaknya menguasai teori kemasyarakatan (yang dikaitkan dengan relevansi praksisnya), sebab setelah mereka menamatkan pendidikannya sudah pasti akan menangani problema-problema sosial.  Pekerjaan yang mereka tekuni kelak secara terus-menerus akan langsung berdekatan dengan masyarakat, bahkan bertanggungjawab pula atas gerakan peta kamtibmas yang terjadi.  Keadaaan seperti itu akan mengharuskan taruna Akpol untuk melakukan proses filter terhadap samodra teori-teori akademik dan memberikan aksentuasi serta intensifikasi kajian terhadap teori-teori yang dipandang aplikatif saja.
       Sedangkan para lulusan perguruan tinggi yang ingin bergelut dalam dunia akademik (biasanya menjadi dosen), tentu saja cenderung akan menampung seluruh teori dalam lingkup wilayah keilmuannya dengan semangat “dari manapun dan untuk wilayah kajian di manapun”.  Artinya tidak perlu begitu peduli pada kadar aplikasi dan “masa berlaku” sebuah teori.  Dan mereka pun akan bekerja di panggung akademik dengan kaca mata methodologis.  Namun karena umumnya menggunakan “kaca mata” dan berdiri tegak jumawa dari menara gading kampus, maka seringkali pendapat-pendapat yang ditelorkannya pun terasa jauh dari subyek permasalahan aktual yang bahkan tengah berada di hadapannya.  Hal tersebut terjadi tampaknya karena kajian akademik belum mampu meng-cover perubahan sosial yang begitu cepat terjadinya.  Atau barangkali dikarenakan kalangan akademik belum memiliki perangkat law of enforcement seperti yang dimiliki dunia kepolisian yang terbukti telah mampu menangkap akar dan bangun dari suatu problematika sosial?  Tanggung jawab yang diemban oleh para ilmuwan kampus pun agaknya masih terbatas pada lingkup moral, mungkin karena harus buru-buru melakukan kajian akademik di wilayah lain yang tampaknya senantiasa makin luas saja.  Sebagai misal, lokasi desa penelitian yang digunakan oleh peneliti guna “memburu” permasalahan, cenderung akan ditinggalkan begitu saja manakala program penelitian telah selesai.  Sementara desa tersebut telah “berubah” lagi, dan para warganya pun menjadi “tercengang” kembali.
        Sementara itu bagi lulusan perguruan tinggi yang memilih profesi bukan sebagai ilmuwan (populasinya sangat banyak), persoalannya pun tentu akan berlainan.  Sebetapa pun bekal teori yang diperolehnya dari kampus dapat dikatakan masih minim (terutama jika ditinjau dari aspek aplikatif),  namun mereka ini bisa diasumsikan cenderung akan lebih menghadapi tantangan untuk memiliki suatu “social skill” tertentu.  Sebab dalam kesehariannya secara vis a vis dan secara aktif-pragmatis akan berhadapan dengan problem kemasyarakatan juga, seperti halnya polisi.  Dan manakala mereka menghadapi kenyataan sosial, keputusan yang akan diambil pun tidak harus melulu  mengacu kepada teksbook.  Melainkan dengan pendekatan kasuistik dan intuitif disesuaikan dengan ekksistensi pribadi serta profesinya, baik dalam kapasitas sebagai birokrat maupun pekerja swasta (apalagi yang bergelut sebagai “pekerja sosial”).  


          Maka meskipun barangkali belum bisa disejajarkan dengan tingkat “social skill” yang dimiliki polisi, sesungguhnya tamatan perguruan tinggi pun memiliki esensi tugas yang sama terkait upaya-upaya pemecahan problem kebangsaan.  Dengan demikian terbuka peluang untuk saling bekerja sama demi makin tersusunnya suatu modifikasi tools of analysis untuk memecahkan suatu problem.  Dan secara lintas lembaga sebenarnya gerakan kerja sama tersebut sudah bisa dibina semenjak polisi tersebut masih duduk di bangku akademi dan para mahasiswa zaman now masih asyik menggumuli buku-buku teks di kampus masing-masing.  Bentuk kerja sama tersebut bisa berupa tukar pikiran tentang model pendekatan kemasyarakatan yang diajarkan pada masing-masing lembaga.  Sehingga dengan demikian kiranya akan menjadi menarik sekali menyaksikan dua kutub pendekatan, kajian praktis vs analisa teoritis, bertemu secara ilmiah-akademik.  Selama ini barulah mahasiswa dari Fakultas Hukum saja yang sering melakukan kerja sama, dan ini lebih dalam konteks membina hubungan sebagai sama-sama calon penegak hokum.  Sedangkan sesuai dengan kodrat keragaman masalah kemasyarakatan itu sendiri, sesungguhnya masih terdapat pula mahasiswa yang berasal dari cabang ilmu lainnya.
       Dan bagaimanapun, setelah melewati tahapan try and error kondisi sosial-politik di tengah sistem kemasyarakatan yang probabil (serba penuh kemungkinan), sebenarnya mahasiswa perguruan tinggi umum juga memiliki peluang yang sama pula untuk kelak muncul sebagai pemimpin masa depan.  Berarti “nasibnya” tentu akan sama dengan para taruna Akpol sebagai generasi muda kepolisian yang kelak akan menduduki jabatan-jabatan komando kepolisian yang strategis dan berkait erat dengan proses merumuskan kebijaksanaan demi kesejahteraan masyarakat.  Generasi muda kepolisian bersinergi dengan mahasiswa zaman now demi kesuksesan dalam menghadapi bonus demografi.
     Selain itu kegiatan kerja sama sejak sama-sama duduk di bangku kuliah tersebut, dapat juga dianggap sebagai prakondisi untuk makin memperbanyak lahirnya pemikir-pemikir kebangsaan terutama dari pihak kepolisian.  Sehingga akan kian banyak generasi muda kepolisian yang bisa meneruskan jejak perjuangan kepenulisan seperti yang ditempuh Anton Tabah sebagai “polisi pemikir” yang buah pikirannya sering dimuat mass media kala itu.  Sedangkan generasi pemikir yang berasal dari kalangan kampus, tampaknya selalu lebih banyak bak cendawan di musim hujan yang panjang (*). 
________________________________________________________________________________
    
WANITAKAH POLITIKMU ITU? 

Oleh Eko Nurwindarto 

      Saat memandang sosok ibu, bukan karena terpukau oleh ucapan John Stuart Mill: “wanita hanya boleh punya perasaan” jika yang hadir dalam hati justru jaringan benak bapak.  Menatap bapak agaknya tak cukup waktu dan alasan untuk memperbincangkan kemanjaan perasaan.   Sinar yang dipancarkan dari segenap organ tubuh bapak senantiasa menyiratkan transparansi terdapatnya dominasi (otoriterianisme?) atas sejumlah besar hal.  (Aristoteles bilang: “laki-laki menguasai wanita karena jiwa wanita memang tidak sempurna”).  Dibanding ibu, sosok bapak lebih sering menciptakan dan merangsangkan kesempatan buat berbicara kepada lebih banyak orang lain (masyarakat).  Sedangkan kadang, seorang ibu masih diliputi ketidaktegaan melihat getaran dimensi “anak dan kerakyatannya” dengan “anak dan kediriannya”.  Seorang ibu lebih sering berkata “hati-hati ya, nak”, dibanding bapak yang biasa mengucapkan dengan menggebu: “merdeka atau mati!!”.
      Memang perkara keberanian kerap ditawar-tawar oleh wanita, hal demikian tentu saja akan mencenderungkan tidak sempurnanya ketegaran, kurang lengkapnya kemampuan serta tidak kokohnya suatu aksi “pemberontakan”.  Bahkan secara filantropis-etis, wanita sering menjadi sasaran serba kasihan.  Selalu didahulukan tetapi tidak menjadi yang pertama.  Menyandang budaya “lady first, namun tidak dinobatkan sebagai yang “number one”.  

      Segenap yang tersebut di atas tidak pula untuk menggiring sikap membenarkan kata-kata Immanuel Kant yang berbunyi: “saya sulit percaya bahwa wanita punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip”.  Persoalan memahami konsepsi prinsip menjadi penting, justru karena dalam kancah politik tidak ada lahan bagi profil yang tidak berhaluan (ideologi).  Masalahnya dalam upaya mengakomodasikan kepercayaan orang, tidaklah sesederhana mencampuradukkan rempah-rempah dalam belanga.  Yang lantas setelah matang, seseorang yang pertama kali mencicipinya akan berujar: “masakan ini cocok sekali untuk prasmanan siang!!”
      Pada lain sisi, kadangkala sebuah keraguan yang hampir menjelma menjadi pemahaman justru mengkristal dan menulikan telinga, manakala berkali-kali kita dengar dengung eksplosif dari propaganda emansipasi.  Apakah seseorang akan kehilangan kepekaan politiknya dengan begitu saja jika telah dihidangkan kepadanya sejumlah simbol yang diglamourkan?  Dikiranya seseorang itu tidak pernah melakukan “semedi diri” guna “ngrogoh sukmo”, sejenak melepaskan jiwa dari raga (baca: nation) ?  Ketidakjujuran yang meskipun dibungkus dengan kedok rapat sekalipun tentu akan meniscayakan terbentuknya semangat karbitan.  Artinya dalam hal ini, pemberitahuan bahwa telah dibuka kesempatan seluas-luasnya kepada kaum wanita untuk terjun dalam dunia politik menjadi terserang distorsi.  Apakah karena dari pihak kaum wanita tidak/belum muncul kelompok militan yang mampu mempertunjukkan eksistensi dan kredibilitas nasionalismenya?  Apakah karena negara lebih banyak dikelola oleh laki-laki? Padahal perhatian pokok terkait emansipasi politik ini setidaknya diwarnai oleh dua hal.  Pertama, berkaitan dengan masalah “pemerataan kesempatan” atau masalah “keadilan”.  Kedua, berkaitan dengan masalah yang secara umum dapat disebut dengan “efektifitas”.  Dengan kata lain, pengecualian wanita dari jabatan penting dalam birokrasi dan kedudukan politik lainnya, hampir pasti menghasilkan kebijaksanaan yang mengesampingkan kondisi dan aspirasi setengah dari jumlah penduduk (Martha G. Logsdon).
              Namun agaknya secara egois dan tidak tulus, ketidakpercayaan-kesinisan-kepesimisan akan ketidakmampuan, ketidakberdayaan dan keterbatasan kodrati wanita, baru dapat menjadi harapan untuk dengan lantang disuarakan realita pengikisannya.  Sebab “kendala x” yang invisible masih akan tetap dipegang oleh pria, meski sesungguhnya ini merupakan pos yang sulit dipahami.  Namun demikian sebuah revolusi demi “narsisisme wanita” pun agaknya tak akan terlihat segi kemanfaatannya, akan tetapi kemudian ini bukan berarti “mengkoncowingkingkan” wanita.  Hal tersebut terjadi tentu bukan karena Sigmund Freud  berujar: wanita hanya baik jika ia menjalankan fungsinya, yakni mengembangkan keturunan”.   Padahal sebuah penelitian yang dilakukan Lembaga Administrasi Negara menyebutkan bahwa wanita cenderung untuk tidak menyalahgunakan jabatan ketimbang pria.  Dan lebih dari 75% responden pria dan wanita sependapat bahwa wanita lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.
          Mencari profil panutan tidaklah segampang membalikkan telapak tangan, sedang kadang tangan saja sulit untuk digerakkan olehkarena sarat beban.  Tidak saja yang berkualifikasi suaranya lantang sehingga bobot maknanya lebih condong untuk mengggetarkan nyali daripada hikmah kata-kata yang diamanatkan.  “Tinjulah korupsi, perangi pelacuran !!”, tidak akan menghunjam ke sanubari setiap orang jika tanpa dukungan dari pengalaman struktural atas sejumlah persoalan yang kasuistis serta sosialistis. Maka kenapa pemetik teh dipilih para wanita?  Sebab wanita lebih mempunyai kesabaran, sedangkan dunia politik kurang tepat bila dimediakan untuk mengaktualisasikan kesabaran.
           Meskipun Talcot Parsons berceloteh: “istri boleh bekerja di luar rumah, tetapi hendaknya itu bukan merupakan kariernya,” tidak kemudian membolehkan seorang wanita lantas bergumam: “kita ini memang sudah terlanjur dibelenggu kodrat.”  Mau terus bermain apologia?  Cuma kalau ini boleh dianggap sebagai pesan laki-laki: jangan coba-coba menetralkan politik dari nilainya.  Misalnya dengan cara mengoleskan make up sehingga sang politik nampak kalem dan anggun atau mensterilkan politik (praktis) semata-mata demi keluwesan tata krama belaka.  Sebab bagi laki-laki, politik itu sudah dianggap sebagai simbol kejantanan, terdapat manuver-manuver beresiko tinggi di dalamnya.  Jadi memang tetap dimungkinkan bagi wanita untuk berprestasi dalam kancah politik, meski dengan keyakinan bahwa politik itu bukanlah institusi yang kewanita-wanitaan.  

Diplomasi ranjang
        Meskipun mungkin kurang koherensif, ada soal lain yang barangkali kocak untuk dipaparkan di sini.  Orang Jawa mengatakan bahwa kewajiban perempuan itu seputar olah-olah, umbah-umbah, asah-asah, noto omah, momong bocah serta lumah-lumah nganggo obah-obah belakaTetapi rangkaian tugas ini jangan dilihat secara sinisme-kronis saja.  Sebab pernah ada misalnya isu yang mengatakan bahwa sebaiknya para istri (karyawan negara) secara politis-strategis ikut berperan dalam memberantas korupsi, yakni dengan melakukan diplomasi di atas ranjang. Karena dalam wicara yang tidak formal apalagi diselingi romantisme, justru biasanya muncul satu kekuatan untuk merubah jalan pikiran yang nyaris sesat.  Berbeda dengan wicara dalam mimbar resmi yang meskipun mengandung ide-ide besar, namun sering hanya berhenti pada makalah saja.  Sebenarnya yang namanya lalu-lintas ide itu seperti sifat hakekat manusia itu sendiri, yakni selalu berorientasi kepada wadah atau ruang yang pas.  Makna inti pas di sini tentu yang tidak menenggang dalil-dalil materiil-indoktriner yang cuma omong kosong belaka. Memang yang programatis  itu tetap perlu berdampingan dengan aksi yang sifatnya psikologis-pragmatis sehingga memungkinkan mengemukanya kewajaran semata. 

      Seperti yang dapat kira kuak dari sejarah, betapa Josephine menjadi sumber inspirasi bagi panglima perang ulung Napoleon Bonaparte.  Atau Anna Rutledge yang merupakan pengilham bagi Abraham Lincoln sehingga dikenang sepanjang masa atas apa yang telah diberikannya kepada negara yang kita kenal sebagai Amerika Serikat.  Hal ini menunjukkan bahwa ada kaitan erat antar pola sikap wanita dengan hitam-putihnya politik suatu bangsa.  Misalnya lagi, hanya pribadi Marcos seorangkah yang sampai menciptakan pemerintahan kleptokrasi di Philipina?  
      Rasanya tidak akan begitu tanpa peranan si kupu-kupu besi Imelda Marcos yang gemar mengoleksi aneka sepatu mahal kelas dunia. Demikian pula dengan Jean-Clauda “Baby Doc” Duvalier, mental kediktatorannya di Negara Haiti tentu pula dikipasi oleh Michele Bennett Duvalier, istrinya yang gemar belanja itu.  Maka adagium Jawa yang berbunyi “swargo nunut, neroko katut”, hendaknya tidak pantas untuk dipergelikan semata, melainkan pada sisi waktu yang lain tepat juga untuk ditelusuri segi kemaklumannya.  Utamanya bagi wanita yang secara hukum tidak terjun langsung dalam kiprah politik.  Sudah bukan rahasia lagi bahwa bila sang suami memiliki jabatan politis, otomatis sang istri punya pengaruh politis pula.  Dus, jika si bapak punya bawahan, si ibu pun tentu memiliki bawahan.  Dan karena agaknya gejala tersebut bukan semacam faith accompli, maka sebaiknya mulai dini setiap wanita berpikir untuk mengambil ancang-ancang.  Setidaknya untuk selalu memperkaya sifat-sifat kerakyatannya, memperluas cakrawala politiknya dan memperteguh kadar intelektualitasnya.  Supaya kelak tidak dituduh sebagai pelengkap yang merongrong belaka, seperti “dua perempuan naga”, Imelda dan Michele di atas.  Dan pula, karena setiap wanita tidak mesti mampu bersikap bahagia seperti Eva Braun pada saat Adolf Hitler berkata: “istriku adalah hanya Jerman.”  Ketrampilan wanita untuk mengkompensasi kecemburuan memang berbeda-beda.
      Maka segenap permakluman yang telah kita dapatkan harap segera ditegaskan lewat sudut pandang ala seorang militer: strategisasi!!  Sehingga apabila kita berjumpa dengan seorang gadis yang nampak heroik, berkobar-kobar nasionalismenya, segeralah mengajaknya berdialog.  Sebab tentu kita harus khawatir jika ternyata menemukan dialog yangdemikian:
      “Nduk, kalau sudah besar kamu ingin jadi dokter?”
      “O, tidak!  Saya ingin mencari suami seorang dokter saja.”
      “Kenapa?”
      “Toh saya pun akan disebut Bu Dokter!”

(Seorang mahasiswa yang ternyata mendengar dialog tersebut, segera pergi ke toko buku.  Ia ingin memberi hadiah berupa buku buat adiknya yang punya pacar seorang “calon bupati”.  Dengan penuh antusias disapanya si pelayan toko: “Mbak, apakah di sini tersedia buku tentang politik yang sekaligus berisi resep-resep masakan?”).
   _____________________________________________________________________________ 

RESUME dan STEP BY STEP PERJALANAN LITERASI NanCita 
 ........................................
 04 dari 9 STEP 

                          Cuplikan dari proposal yang gagal terwujudkan (1992) 
         Teks proposal ini selengkapnya dimuat dalam naskah buku Kumpulan Sajak PARKIR                                                                    
                                                                                                                    
                    
                                      Proposal ini juga gagal terwujudkan (1998) 
             Teks proposal ini selengkapnya dimuat dalam naskah buku Kumpulan Sajak PARKIR    

 05 dari 9 STEP
                                                                                                                                                     

                                  SANGGAR BACAAN PUN AKHIRNYA TERWUJUD    
       
06 dari 9 STEP  ............Bersambung ke entri AjariKamiMenulisCerpen (Kumcer MOBIL 
                                        SURGA) dalam BLOG ini juga.
                                                                                                                                         
                     NanCita tahun 2000
 
   
                               
                             NanCita Kini 
                         














Komentar