AjariKamiMenulisCerpen (Kumcer MOBIL SURGA)




AjariKamiMenulisCerpen 


SECERITAPENDEK PENGHANTAR 
         Sebuah penghantar ternyata adalah sesuatu yang sangat sulit dituliskan.  Terbukti ia baru bisa ada setelah cerpen tercipta.  Namun karena penghantar sepertinya harus ada alias tak bisa barang sejenak pun ditunda, maka ia meluncur juga meskipun kemudian seperti tak layak disebut sebagai sebuah karya. Di dalamnya banyak unsur terpaksa, sehingga ia hanya berupa deretan kata-kata belaka.  Tiada makna kecuali dengan nekad hendak dipahami dengan terpaksa. 
           Berbeda dengan cerpen.  Cerpen sesungguhnya adalah kehidupan itu sendiri yang tidak butuh penghantar.  Ketika kehidupan dimulai, tiba-tiba saja di dalamnya sudah bermuatkan fragmen-fragmen.  Kadang tak berpangkal, sering pula tak berujung.  Kehidupan itu mendadak saja meng-Ada, dan tak tertolakkan.  Rumit, dan di jantungnya selalu terdetak pertarungan aneka rupa persoalan. Berat, sehingga sebagian pelakunya tak lagi mampu menanggungnya walaupun sudah menyusun rupa-rupa barikade pertahanan.  Juga kumuh, dan bahkan siapa pun tak bisa menghindar untuk terkubang di dalamnya. 
            Olehkarena cerpen itu, yang kata saya, sudah berat seperti kehidupan, maka logis kiranya jika ia disajikan dengan mudah.  Cerpen yang mudah maksud saya!!  Yakni cerpen yang mudah dipahami, sekaligus enteng pula dilupakan.  Mudah dimaknai, dan langsung bisa diabaikan.  Mudah dibaca, bahkan bisa jadi takkan ada kata-kata yang akan melekat di kepala.  Nir aforisma.  Buktikan saja setelah Anda membacanya.  Dan jika Anda belum berhasil membuktikannya, barulah ia adalah cerpen yang sesungguhnya!! 
             Demikianlah kumpulan CERPEN MUDAH ini coba dihantarkan.  Last but not least, menulis cerpen itu asyik banget: kadang bisa menundukkan kata-kata, namun sering pula terjajah oleh kalimat-kalimat yang secara kurang ajar tiba-tiba saja meluncur disusun oleh sang kata-kata!!

         Sesungguhnya ada dua buku yang senantiasa menghadirkan mimpi saya di sepanjang waktu. Dan selalu ingin menempatkan buku itu sebagai bukti kampanye bahwa hobi membaca sejak dini itu akan luar biasa berguna bagi kehidupan. Buku itu adalah  KAN KUKENANG DALAM-DALAM dan KUMPULAN SAJAK PARKIR yang saya susun  ketika duduk di bangku SMA.  Saat di mana saya beroleh embrio-literasi guna manjing ajur-ajer bergelut dalam dunia baca-tulis.  Dan pengalaman beserta gagasan-gagasan yang tumbuh saat itu, buahnya ingin sekali saya bagikan kepada siapapun.  Setiap ada rombongan anak SMA yang datang ke perpustakaan saya, adrenalin untuk mengajak mereka lebih tekun membaca buku (dan menulis) pun terpacu begitu tinggi.  Berikut ini cuplikan buku tersebut:                                                       
                                                                                                                                                          
  
“Apakah buku yang sama sudah diberikan juga ke perpustakaan SMA 
     Anda dulu?  Buku (ini) sangat berharga.  Termasuk untuk mereka. 
     Biar menjadi inspirasi.  Salam,  Dahlan Iskan”
                                                                                                    
                                                             RANGKAIAN KATA             
DIA ADALAH TUHAN, yang menciptakan pertemuan-pertemuan, mencetak  persaudaraan dan kasih sayang, demikian pula membikin perpisahan……….. Adakalanya perpisahan itu menakutkan  ataupun bahkan menggoreskan dendam.  Namun sesungguhnya Tuhan juga membuat perpisahan yang penuh akan aroma kedamaian, bergelimang kecerahan serta kepastian.  Yakni adalah perpisahan yang bertolak dari persaudaraan, bermula dengan saling pengertian bertabur bunga persahabatan dan berangkat dari suasana hati yang padang lapang. Perpisahan yang dilandasi persaudaraan adalah sejatinya bukanlah hakekat perpisahan, karena jiwa kita akan tetap bersatu meski wajah tak saling bertatap syahdu, ibarat ungkapan “jauh di mata dekat di hati”.  Lain dengan perpisahan yang berlatar belakang itu tuh….cinta. Perpisahan macam begitu akan selalu dibaluti oleh emosi, malah juga dendam dan caci maki, sebab cinta itu sendiri adalah penggoncang diri, pengurai lamunan dan seribu satu peran lagi. Tandaskan sekali lagi, bahwa sebenarnya kita tidaklah akan pernah berpisah !  Sebab hati kita niscaya senantiasa memohon agar sang malam setia menurunkan mimpi-mimpi bagi kita beserta segala tingkah polah kita, dinamik kita. Ehm, orang bilang masa remaja adalah saat yang paling indah, dan kita tahu bahwa masa tersebut lewat ketika kita di SMA, oleh karenanya tak akan bisa kita lupakan segala gerak langkah kita di dalamnya, bukan ?  Selain itu, masa “SMA” juga merupakan saat pencetakan kedewasaan kita, kedewasaan hidup, kedewasaan BERTUHAN.  Mari kita garis masa remaja kita dengan garis yang putih dan lurus.  Agar kelak dapat kita gunakan sebagai obat awet muda, apabila kita mengenangnya setelah kita tua.  Dan semoga rangkuman isi dalam buku ini akan mampu menggelorakan semangat kita buat mengolah kehidupan di kemudian hari dengan bulat kepal tangan dan teguh tegar pendirian, beriring bersama kulum senyum keteduhan. Amin. Que sera sera, whatever will be, will be…………………
                                                                                                                                                              
                                                                                                                                    foreword to peace  
                                                                                                                                                RED  
                                                                                                                                               

                                                  
   Seraut profil ini punya nama : EKO NURWINDARTO.
   Ngumpet dalam gubug di : Kaliurip, Kec.Bener, PURWOREJO.
   Dipencet ke buana tgl : 20 April 1963 (ARIES).   
   Hobbynya : Membaca, main mainkan kata, dan fresh jogging.  

   WIWIEN,  panggilan  premannya.  Sang  “pentholan” kelas kita terakhir yang multi
   sahaja ini  berucap tentang modern: “Modern adalah segenap keadaan  dimana segala 
   sesuatunya dilakukan berdasar pola-pola pengaktifan  rasio.” Dia  yang  merupakan   
   pencetus ide dan pengolah hingga  terbitnya buku ini   ternyata senang dengan musik 
   tradisional-modern yang  inovatif. Kalau diajak ngomong  perihal  politik, dinamik 
   agama, sport, wah getol sekali.  Cowok yang tidak merokok ini berkilah tentang cewek
   idolanya: “Tiada yang lebih ideal bagi saya, kecuali seorang gadis yang mampu
   menyadari apapun posisi  saya,  yang  demikian itu  adalah segala-galanya  didalam  
   upaya  saya menyayanginya secara bijaksana, sepenuhnya.”  Dia yang  sering kita
   mintai bantuan buat bikinkan puisi-puisi ultah, cinta, rayuan,  dan lain-lain ini, rupanya  
   telah terbiasa makan dengan seadanya, pokoknya asal halal (syukur bergizi).   
   Bung Karno adalah tokoh yang kharismatik dan “merakyat”.  Lech Walesa merupakan
   lambang kemanusiaan internasional dalam merebut kebebasan dan martabat insan,  
   sedang Francois Mitterand sebagai tokoh sosialis yang sangat berani berdiri di antara 
   duri-duri  stabilitasnya  dunia, yakni komunis, itulah segenap tokoh idolanya beserta 
   alasan-alasannya.  Selain itu ia juga punya tokoh musuh yang “dikagumi”,  yaitu
   Leonid Breznev.  “Aku angkat jempol buat isi batok kepalamu, tapi hobymu yang
   suka intervensi dan infiltrasi itu lho, menjadikan aku benci, Kameraad !”, begitu 
   ucapnya tentang Breznev.  Dengan bocah- bocah kecil yang lucu dan terhadap seni-
   seni tradisional, dia sangat menaruh perhatian besar.  Prinsip eksistensinya : bahwa  
   sesungguhnya  manusia itu  diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sebaik-baiknya,  
   jadi adalah merupakan suatu dosa jika seseorang itu mengatakan jelek atau merasa
   dirinya lebih terhadap yang lain.  Dia ini ingin berupaya semampunya, bahwa kelak
   kalau tiba saatnya Tuhan memanggilnya ingin dalam keadaan seperti dulu ketika
   ia dilahirkan (singkatnya mau jadi manusia baik-baik).  Dan yang ia harapkan dengan  
   persahabatan kita, janganlah hanya  saling mengingat doang, tapi juga harus selalu 
   saling doa mendoa setiap masa. Amin (B).

   bersua muka dg-nya lagi yg ke…                                  goresan jemari memorynya
   tgl……..   di …………………                                                                                                       
  

                              
 STUDY TOUR DALAM MEMORY-MEMORY KITA

SHOPPING CENTRE YOGYA
(DADA RIANG DADA SENANG)

celoteh yang bersahutan
deru yang berkejaran
berbaur dalam keadaan
riuhgaduhpanjang                                                                                                   
                                                                                                            
buku
dan remaja
bersiuran
dalamkesederhanaan                                                                                                                                                                                                                                     
takkan puas
kita semalaman
di sini memang jam tak terhiraukan   
                                               1982  

                                                   
                                                                
                  Judul  : HERMIN YULIANINGSIH.
                  Berdomisili di : Jln. Kesatrian No. 13 PURWOREJO, KEDU, JATENG.
                  Dilegalisir jadi bayi pada tgl : 26 Juli 1963 (LEO).
                  Hobby sahabat ini al : Tidur, makan dan ndengarkan musik yang nglangut-  
                                                     nglangut. 
                  “Yuliii….”, begitu jika ibunya  memanggil kawan kita  ini. Gadis berpenampilan
                   serba  praktis  dan  tercatat sebagai  Sekretaris II kabinet  terakhir kelas kita ini 
                   punya  idola tokoh Bung Karno. Dia  ini  berpendapat  bahwa modern itu adalah   
                   segala  tingkah hidup yang  mengikuti  perkembangan zaman dengan kebudayaan   
                   tinggi, dan  hanya  diambil  hal-hal  baru yang dapat  memperbaiki  cara  hidup.
                   Wah, ternyata  seraut  wajah di sini  ini  punya  prinsip hidup yang  yahud, begini :  
                   “Bukan   kepuasan   atau  kemewahan   yang   kucari,  namun kedamaian   dan  
                   kebahagiaan. Bukannya harta  yang  hendak  kutabung,  tapi amal  budi untuk 
                   bekal  dalam aku kembali ke alam abadi.”  O, cowok yang berwibawa, tenang,  
                   sederhana dalam penampilan, setia dan tanggung  jawab serta bijaksana  
                   kepribadiannya, ternyata menjadi idaman dari kawan kita ini.  Dan ia ingin sekali
                   menjadi manusia yang berguna buat sesama.  Oh ya, dia juga punya favourit  
                   terhadap aktris si mata biru Michelle Pfeiffer dan novelis La Rose serta   
                   illustrator/kartunis majalah “GADIS” si Jon.  Masyarakat bisa kejam bila kita  
                   tidak dapat menyesuaikan diri, namun sebaliknya juga bisa membuat kedamaian  
                   bila terjalin pengertian dan penyesuaian, begitu kesimpulan atas pandangannya
                   terhadap dinamiknya masyarakat.  Dia juga bilang bahwa kehidupan di masa  
                   remajanya cukup menyenangkan, penuh akan pengalaman dan petualangan. 
                   Kawan yang senang terhadap musik jazz dan slow serta film detektif juga roman
                   psychology ini ternyata sangat sayang pada bapak ibunya tercinta.  Mengenai  
                   saat- saat yang tidak menyenangkannya sebagai pelajar, kalau nilai hasil ulangan  
                   jelek dan tak siap dalam ulangan dan tidak bisa berkonsentrasi dalam menerima   
                   pelajaran.  “Semoga persahabatan kita ini abadi, dan bila ada acara pertemuan saya  
                   harap teman-teman bisa mendatanginya, ya ?  Dan tak lupa jika ada diantara teman-                              teman yang mau itu tuh…. nikah, bagi-bagi undangannya ya ?”, begitu serangkai
                   pengharapannya (H+E).

                   bersua muka lagi dengannya yang ke ..                  goresan lembut jemari kenangnya
                   tertanggal ….. di …………                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    

  
(Buku kenangan SMA ini selain memuat 47 profil teman sekelas dengan beragam opini mereka, juga terpacak 26 buah puisi-memorik, 11 sketsa “cerpen-futuristik”, foto-foto di kelas, pantun, renungan serta TTS persahabatan, dan lain-lain. Buku ini lahir juga dikarenakan oleh keaktifan saya dalam kegiatan SASTRA RADIO kala itu.  Sesungguhnya buku sederhana yang memorable  dan serupa “masterpiece” ini senantiasa menjadi penghela saya untuk terus terlecut bergelut dalam dunia literasi. Saya pun selalu terpacu untuk mengajak rombongan anak-anak SMA yang sering datang di perpustakan saya agar tekun membaca dan menulis, juga siapapun mereka yang peduli kepada aksi bergagasan).      
   
(berisi sekitar 78 sajak)

SENDIRI-SENDIRI SATU-SATU
kita buka jendela satu-satu
kalau tak mau biar membuka sendiri
sebab bila dipaksa siapa yang malu 
        kita keluar dari kamar
        loncat satu-satu
        kalau tak bisa biar loncat sendiri-sendiri
        sebab kalau dipaksa
        siapa yang rugi
                                                                                      
                                                       Juli 79  
KEPADA MELATI
kupanah dengan daun ilalang
mega duka yang bergayut di wajahmu
agar kilat yang kau pancarkan  
terang merambati hatiku
                                             Agustus 79
                                                                                                                                                                                     
KELAK BILA TAHUN 2500

kelak bila tahun 2500
aku tak akan peduli lagi pada segala bentuk
kehidupan pendek 
kemiskinan panjang,
bodi manusia
kaki pendek
tangan panjang 
aku tak akan peduli lagi pada segala bentuk
hari pendek 
hutang negara panjang
aku tak akan peduli lagi pada segala-galanya
usia pendek
kemarau panjang
                                                    Agustus 79 


             Maafkan bila “curhat” tentang buku memori tersebut terlalu panjang, meski sebenarnya yang saya cuplikkan itu hanya sebagian kecil saja. O ya, kedua buku tersebut masing-masing telah diterbitkan tersendiri.
                 Mohon doanya semoga upaya saya untuk mengembangkan minat baca, beroleh berkah yang berkelanjutan. Pelahan-lahan segenap gagasan yang masih berserak akan saya kumpulkan. Saya juga masih menyimpan gagasan-gagasan literasi kemasyarakatan, semoga bisa  pula terwujudkan. Selain sekedar eksperimen literasi dengan tajuk Opini MiniCerpen, di halaman  belakang buku ini juga tersertakan sekedar kisah perjuangan literasi yang  alakadarnya berdasarkan gagasan yang juga betapa sangat alakadarnya. Yakni pengalaman jatuh bangun mengelola perpustakaan swasta berjudul PERPUSTAKAAN SEBAGAI UMKM, dan dua kisah titik balik hidup saya: Pengalaman ber-KKN dan Menjadi TKI di Taiwan.
             Salam literasi selalu.                                                                
                                                                                                      Eko Nurwindarto  
                                                                                                      (pecinta buku sejak dini)   
                                                                                                   


Daftar Isi 
01. CERPEN PUTRIKU. 
02. KUBINGKAI CEMBURU MUTIARAMU. 
03. SEPENGGAL KASIH DI TEPIAN SAYANG. 
04. IBUKU DAN ATAU SANG PERAMPOK.  
05. (nantikan judul-judul selanjutnya). 
06. RESUME dan STEP BY STEP PERJALANANLITERASI NanCita. 


“Tidak seperti yang didefinisikan oleh Maurice Duverger, Aristoteles ataupun Max Weber, POLITIK itu kadang seperti ibu-ibu yang suka ngerumpi = ngomongin kekurangan pihak lain sambil tebar pesona demi membuka ruang untuk menarik simpati bagi dirinya sendiri. Politik sering pula bagaikan seorang ayah yang membanggakan anaknya karena sudah bisa berjalan, padahal anak-anak yang lain juga mengalami pertumbuhan serupa !!”  


_______________________________________________________________________________

                                                        CERPEN PUTRIKU

                                                Oleh Eko Nurwindarto   

        Ketika semalam secara tiba-tiba aku memasuki kamar belajarnya, buru-buru ia menghentikan mesin printernya yang sedang bekerja. Kulihat ia segera menggeser mouse komputernya, dan di layar monitor seperti tertampil kisi-kisi sebuah mata pelajaran. Aku tak begitu memperhatikan, sebab segera kusadar bahwa kehadiranku sangat mengganggunya. Atau tepatnya mengagetkan keasyikannya nge-print sesuatu naskah tadi. Setelah menyapa alakadarnya, pintu kamarnya kututup kembali sambil meninggalkan kesan seolah aku tak melemparkan kecurigaan atas kesibukannya itu. Di matanya aku tadi tengah melihat bahwa ia sedang mengerjakan tugas atau belajar.

       Namun sesungguhnya tidak demikian pikiran yang menggangguku. Ia pasti tengah mengerjakan sesuatu yang sangat pribadi sifatnya. Rahasia bahkan.  Bisa jadi ia sedang menyusun proposal yang ibu dan ayahnya ini tak boleh tahu. Jangan-jangan ia sedang membuat naskah atau brosur untuk sebuah kegiatan terselubung?  Tapi apa mungkin? Sebab kutahu putri sulungku itu bertipe anak yang terbuka kepada siapa saja. Aku memang belum pernah berhasil menangkap basah apa yang sesungguhnya sedang di-print-nya itu. Putriku itu beperasaan sangat sensitif, sehingga dibutuhkan kehati-hatian berlipat ganda manakala menghadapi kaca kristalku itu.

       “Aku lebih condong menduga bahwa yang ia kerjakan itu berkaitan dengan urusan keremajaan sesuai umurnya saat ini,” tukas Nurfarin Heningkumandangndari istriku, mantan aktifis kampus, “kalau kau tuduh ia kemungkinan terlibat jaringan terlarang, kau berlebihan,” sambungnya ketika kami membincangkan perilaku putri kami itu.

        “Bagaimanapun kita harus waspada, Jeng,”sanggahku kepada wanita bermata bulat yang  kuliahnya dulu tiga tingkat di bawahku ini.  

   “Ia menanjak dewasa dan kita berangkat tua ya, Jeng?” kataku sambil                                                                                          membetulkan tali sepatu.

        “Empat puluh tiga memang lebih tua dibanding tiga puluh, tetapi empat puluh tiga kan lebih muda daripada yang lima puluh tiga?” canda diplomatis istriku seraya melesatkan senyuman memikat. Ada tahi lalat kecil di atas bibirnya.  Terbayang ketika melakukan prosesi 

“Makin tua harus makin bijaksana,” kataku lagi.                                                                                                                                                

         “Jelas, dong. Termasuk harus hati-hati dalam menghadapi puber ke dua,” cetus Jeng Ndari, demikian sapaan yang kupilih untuknya, sembari menghunjamkan lirikan mata jauh ke dalam hatiku.  

                                                                                                                                                        

         “Ah, kau bisa saja,” jawabku dengan nada seperti habis diskak mat, “Jangan khawatir Jeng, pertahananku kuat kok.” Dan kudaratkan lembut kecupan di keningnya sebagai tanda pamit berangkat ke kantor.

        Pada usia ke 43 ini memang terasa makin kompleks saja persoalan yang kuhadapi.  Baik yang berhubungan dengan karirku di kantor maupun dalam keluargaku. Anakku berjumlah tiga, dan yang gadis adalah si sulung itu. Ketika  usianya sudah menginjak 17 tahun tentulah ia bukan kanak-kanak lagi.  Pertumbuhan, terutama dari sisi kejiwaannya, tentulah berbeda dengan Gion atau Ade, kedua adik si sulung Nining.  Aku harus bisa memberikan arahan yang tak terkesan otoriter kepadanya.  Bukan saja agar ia bisa menjadi panutan bagi kedua adiknya, namun aku juga mesti bisa menangkap sisi-sisi sifat pemberontakkannya sebagaimana lazimnya gadis seusia dia.

        Ah, tiba-tiba saja potensi kebapakanku terasa kian teruji dengan tantangan-tantangan yang baru lagi.  Seperti inikah siklus umum seorang bapak yang memiliki anak seorang gadis?  Kupikir kebengalan yang sering muncul dari usia anak remaja itu tidak hanya disebabkan oleh lingkungan saja.  Namun juga oleh orangtuanya yang tidak berhasil merengkuhnya sebagai anak dengan rengkuhan sedekat mungkin.

         Ada sesirat kebanggaan dan sekaligus kekhawatiran yang menyelinap di balik nuraniku.  Bangga karena aku akan berada pada puncak usia sebagai ayah. Khawatir sebab kebanggaan itu bisa saja mendadak pupus olehkarena ulah sang   anak pula.  Gadis seusia Nining itu memang wajar jika mulai bersinggungan  dengan cinta, misalnya.  Namun jika tak diteropong dengan seksama bisa saja akan menjungkalkan segala harapan. Kira-kira apa ya isi dari naskah yang akhir-akhir ini ia kerjakan?  Tentu bukan tugas-tugas sekolahan, sebab pekerjaannya itu tampak selalu ingin ia sembunyikan.

       “Seksamai selalu dia ya,Jeng, karena kau yang lebih banyak di rumah.  Namun dengan cara yang   halus.   Jangan sampai di matanya kita ini bersikap kasar atau otoriter.  Bisa berontak tak karuan dia nanti.  Dalam memberi nasehat pun harus dengan kata dan waktu yang tepat.  Berikan padanya keleluasaan berpikir dan kesempatan berbicara.  Pada gadis seumur dia, rawan penanganan memang. Seumuran dia tentu akan sudah tahu mana yang baik mana yang buruk.  Namun seharusnya tetaplah dalam bimbingan kita sebagai orangtuanya.  Kita pun jangan sampai salah menempatkan diri.  Bisa-bisa nanti ia akan bertindak hanya berdasarkan kebenaran yang ia susun sendiri,“ ucapku seperti mendikte kepada istriku sepulang dari kantor.  Seharian itu rasanya aku hanya ingin membicarakan tentang Nining saja.

        “Sudaaaaah???  Gantian aku yang ngomong, dong !!” sergah istriku seperti memberontak.                                                                                                                                                   

Dan langsung memberondongkan peluru kata-kata, “Kita jangan terlalu cepat mendakwa anak  kita.  Pikiran harus diolah masak-masak dulu sebelum menyimpulkan sesuatu.  Bahkan kalau perlu pakai investigasi segala, Mas.”

        “Lho, sepertinya kau kok memojokkan diriku?” 

        “Tak hanya memojokkanmu, tetapi juga membuka matamu lebar-lebar.”

        Lho ?!! Kemudian Jeng Ndari mengangsurkan kepadaku berlembar-lembar kertas hasil mesin printer.  “Kutemukan itu di laci meja belajar Nining.  Bacalah, aku telah membacanya, mumpung tadi Nining bilang bahwa ia akan pulang agak sorean.  Ada rapat kelas katanya.” 

       Kuterima segepok kertas itu dengan gunung rasa penasaran. Oh, ternyata deretan kata-kata yang tersusun berupa cerita pendek.  Kubaca judulnya : Sebongkah Hati di Ujung Bingung oleh NiningTyasHernani. Dan di pojok kanan  atas dari cerpen itu tertulis : untuk Rifa, mohon kritik-kritiknya.

       Persoalan yang tengah dihadapi Diana sungguh tak bisa dianggap sepele. Saban hari otaknya serasa diperas untuk memikirkan hal itu saja.  Ia sama sekali tak ingin kehilangan Budi.  Betapa hatinya terasa disiram kesejukan jika sudah berdampingan dengan Budi.  Akan tetapi ia tak bisa mengabulkan permintaan Budi yang satu itu.  Bagi dirinya permintaan Budi sangatlah berat, betapapun mungkin bagi Budi hal semacam itu wajar  saja.  Bahkan menurut Nonon, Tina dan Mery hal itu mah  bukanlah sesuatu yang aneh.  

          “Segitu aja kok, kagak bakalan susut deh tubuh kita,”celetuk Nonon dengan genitnya.

         “Kecil, tuh,” sambut Tina dengan nada kalimat yang sangat ringan.

         “Ah, justru bikin suasana makin romantis,” timpal Mery nadanya memanja.

          Diana memang tak dengan sengaja menanyakan hal itu pada kawan-kawan sekelasnya itu.  Ia hanya sering mendengar pembicaraan mereka bila jam istirahat tiba. Nguping.  Nampaknya mereka telah menganggap hal itu semacam jabat tangan saja.  Oh, Diana rasanya seperti terasing sekali.  Ia tak bisa mengimbangi pembicaraan mereka.  Sebenarnya ia juga ingin ikut bergabung bicara tentang segala hal termasuk hal itu.  Tetapi apakah setiap pembicaraan terlebih dulu harus berdasarkan suatu pengalaman?

           “Lho, ya jelas,dong,” jawab Mery ketika si alim Santi secara kebetulan berdebat tentang hal itu dengan “gerombolan” Nonon, Tina dan Mery, “Dicium segitu aja nggak mau,” sahut Nonon menyambung.

           Diana berpikir, ia harus memihak kepada siapa nih?  Apakah ia akan membenarkan sikap Santi yang kemudian pergi dengan wajah tak setuju begitu mendengar jawaban Mery dan                                                                                                                                                        Nonon itu?  Ataukah ia akan berpihak pada Nonon dan Mery?  “Santi itu memang belum pernah   pacaran sih.  Ia masih bau kencur, belum tahu apa-apa.  Maka alimnya,huu nggak ketulungan,” timpal Tina kemudian.  Apakah benar Santi belum pernah pacaran?  Kalau begitu lain dong dengan diriku, batin Diana.                           

                                                                                                                                                                                                                                                   

          Diana merasa bahwa satu sisi dari hidup masa lalunya, keceriaan tanpa beban di masa kecilnya, telah hilang.  Ia merasa sudah tak pantas lagi bermain boneka.  Ia bukan Diana yang dulu lagi.  Diana berpikir, kini hidupnya kok jadi lain sekali.  Aku kini tengah seneng banget kepada Budi, cowok cakep kakak kelas SMA-nya. Tiap saat ada desiran rasa kangen di hati. Tetapi kok ada problema yang mengganjal sih? Apakah Budi hanya ingin main-main saja padaku, rusuh hati Diana.

          Kecamuk hati Diana itu menunjukkan bahwa ia memang sudah memiliki pribadi yang berbeda dibanding waktu-waktu yang lalu.  Ia merasa selalu dalam pusaran tanya akan eksistensinya kini.  Misalnya, apakah ia harus selalu tunduk patuh pada kedua orang tuanya. Bahkan cenderung takut, sehingga menjadikan dirinya canggung dan tertutup.  Apakah bisa ia menanyakan perasaan yang kini mendera kalut hatinya itu kepada bapak-ibunya?  Juga apakah perasaan suka pada Budi itu harus melahirkan sikap tunduk pula kepada kemauan Budi?  Ia pernah diajak Budi ke rumah nenek Budi sehabis sekolah.  Dan setelah pulang dari bermain itu, ibu dan bapaknya marah besar.  Ia pun menangis.  Sebenarnya Diana ingin bicara.  Ingin mengatakan bahwa sewaktu diajak bermain itu ia tak kuasa menolaknya.  Bahkan ingin sekalian menanyakan, kok dirinya bisa menjadi penurut pada Budi seperti itu, kenapa?  Namun bapak ibunya tak memberi kesempatan sedikitpun kepadanya.  Dampratan orang tuanya justru kian menggila.

       “Pacaran ya kamu!!?” Mangkir ya!!? Sekecil itu sudah berani nekad !”

       Seplastik buah jambu yang dibawanya dari rumah nenek Budi, direbut ibunya kemudian dilemparkannya hingga berhamburan, “Huh, jambu guna-guna!” seru ibunya seraya memandang tajam suaminya seperti memohon persetujuan atas amarahnya. Diana pun lari ke kamarnya sambil mengeraskan suara tangisnya.  Perasaannnya rusuh bukan main.  Aku harus bagaimana? Oh, ibu tak mau tahu perasaanku, dan bapak tahunya hanya menamparku atas laporan ibu. 

       Di kamarnya tangis Diana kian membuncah saja.  Budi, tahukah kau bahwa tak ada orang yang mau mengerti diriku?  Kenapa kau menambah beban-bebanku?  Aku sebenarnya ingin berbicara, berkeluh kesah, tetapi  siapa yang akan    mendengarkan? Aku ingin bertanya tentang banyak hal, namun siapa yang  berkenan memberikan jawaban?  Budi, kenapa sih kau yang kucintai kok minta cium segala? Apakah cinta itu tak boleh ada tanpa hal itu?

       Rasanya Diana ingin lari saja, namun kedua kakinya terasa berat. Kalaupun bisa lari, akan                                                                                                                                                        menuju ke mana dan kepada siapa? Apakah yang penting lari, lari dan lari saja?  Sebab jika  diam melulu, dirinya serasa dalam tahanan.  Kalau berteriak, nanti dikira dirinya tak lagi waras. Tiba-tiba selintas keputusan mengaliri benaknya.  Ia harus tetap memutuskan bahwa bagaimanapun ia tak mau memenuhi permintaan Budi itu.  Tak mau, betapapun ia sangat mencintai bintang basket itu.  Aku harus tegas dan berani, tekadnya dalam hati.  

                                                                                                                                                        

         Pada suatu kesempatan yang lain lagi, Budi mengajak Diana pergi ke sebuah tempat wisata.  Lagi-lagi Diana tak kuasa menolaknya.  Budi memang cakep, kayak Aliando Syarif digabung dengan Al Ghazali. Ihh, tubuh Budi atletis banget. Namun Diana tetap berpegang pada tekad yang telah ia pancangkan dalam hatinya. Kesadarannya pun bulat mendukung gumpalan tekadnya.  Ia tak menemukuan alasan yang tepat untuk harus melakukan itu.  Cinta ya cinta pokoknya.

       “Lihat Na, langit cerah sekali,” tukas Budi setiba di tempat wisata dan mereka duduk di atas bangku taman. Diana tetap sadar bahwa ia tengah dibawa ke suatu suasana. Sedangkan Budi sangat yakin bahwa suasana itu akan takluk dengan segenap rencananya.

       “Kalau langit cerah lalu kenapa?” respon Diana dengan nada kocak. 

       “Berarti untuk waktu satu atau dua jam lagi, rasanya tak akan turun hujan.”

      “Kalau memang ada tanda-tanda mau hujan, kita langsung cabut ya?”

      “Tanda-tanda itu belum ada, Na. Berarti tak ada alasan untuk buru-buru pulang.  Kita nikmati saja kebebasan Hari Minggu ini, sebagai penyegaran setelah kita semingguan suntuk mikirkan pelajaran.”

      “Di rumah pun sebenarnya kita bisa mencari penyegaran.  Baca majalah, nonton tv, seharian ngenet…”                                                                                                                          

       “Ah, bosan dong, nggak alamiah dan hijau seperti di sini.”

       Pada mulanya yang mereka bicarakan sekedar yang ringan-ringan saja.  Tetapi Diana tahu bahwa Budi pasti akan menjurus ke sana.  Kenapa sih gitu, batin Diana.  Betul juga, Budi kemudian mengajak Diana untuk duduk di tempat yang terlindung rerimbun pohon. Terlindung dari pandangan orang. Angin terasa semilir membuai insan yang tengah jatuh cinta.  Hembusannya berpotensi menggoyahkan perasaan sekuat apapun. Menawarkan kenikmatan yang menggoda. Apalagi bagi Budi, berkali-kali ia menemukan kesempatan semacam ini dalam setiap perburuan dan petualangannya.  Maka ia menjadi sangat paham bagaimana strategi menaklukkan kesempatan. Sekaligus mewujudkan segenap keinginannya, melengkapkan gemuruh perasaannya yang lama tertahan.

      “Jangan Bud, jangan!! Aku nggak mau !!” tolak Diana seraya mendorong tubuh Budi ketika                                                                                                                                                          Diana merasakan nafas Budi yang terasa menerpa pipi Diana.

      Tergumpallah raut kekecewaan di wajah Budi.  Dihembuskannya nafas yang mengandung nada keberangan yang tertahan.  Ia lalu bangkit berdiri dan melangkah menuju bangku di depannya.  Ditinggalkannya Diana yang menunduk sendiri.  Perasaan rusuh sangat membaluti hati Diana.  Dengan enggan ditepiskannya sesuatu seperti debu yang hinggap di blusnya.  Tiba- 

                                                                                                                                                        

tiba ia sadar bahwa tadi telah berbohong kepada bapak-ibunya. Sesungguhnya Hari Minggu ini tak ada kegiatan di sekolahnya. Ia membuat alasan hanya demi ingin bertemu dengan Budi saja.  Bahkan malah pergi ke taman ini.  Oh, matahari terus merangkak kian mendekati titik kulminasi.

     “Kalau kau ingin pulang, pulanglah!” mendadak suara Budi memecah sunyi.  Seperti menghardik saja.  Seketika hati Diana menggejolak.  Ditatapnya Budi dengan pandang penuh keheranan.  Bud, aku mencintaimu tetapi kamu kok kejam begitu sih?  Sesungguhnya aku ingin setia padamu, kenapa kamu tampak marah begitu?  Persoalan cium saja bikin kamu ngambek.  Kuingin kita bicara tentang pelajaran, buku-buku kesukaan atau boleh juga tentang cita-cita.   Kelak kau ingin jadi apa, Bud?

      “Berarti kau tidak mencintaiku.  Kau tak ingin jadi milikku,” tambah Budi                                                                                                                          lagi.  Aduh sungguh Bud,aku ingin tetap mencintaimu.  Kenapa kamu tidak bisa   mengerti sih?  Duh, bagaimana aku harus mengatakannya?

      “Ternyata kau hanya setengah hati terhadapku.  Okelah kalau memang begitu, kita putus sampai di sini saja!! “

       Blarrr!! Lho?! Kok putus bagaimana sih, Bud?  Pelahan dan tak terasa karena hati Diana risau tak terkira,bulir-bulir air matanya pun membasahi pipinya.

     “Satu kali   dua kali, aku masih bisa menerima penolakanmu.  Tetapi setelah yang kali ini, sudah cukup bukti untuk mengatakan bahwa kau hanya bohong-bohongan saja padaku.  Baik, untuk yang terakhir kalinya kau akan kuantar pulang.  Tetapi untuk waktu-waktu berikutnya jangan bermimpi aku sudi tersenyum padamu.”

      Oh Budi, mengapa kau ucapkan kata-kata itu?  Apakah kau tak merasa bahwa aku telah cukup berjuang untukmu?  Betapa aku sering dimarahi ibu-bapakku setelah pergi terlalu lama, itu semua demi kamu, Bud.  Kalau selama ini aku menolak kau cium, kupikir itu hanya karena tak pantas saja.  Belum boleh tepatnya, Bud. Lagian kenapa orang yang saling jatuh cinta pakai cium segala?  Jatuh cinta itu kan saling mengagumi.  Kamu memendam rasa kangen, demikian juga aku. Selalu ada dorongan hati untuk saling melindungi.  Malu ah jika pakai cium segala !  Coba bayangkan, kalau aku melihat kamu yang kupandang pasti bibirmu.  Ketika makan, tentu aku akan ingat bibirmu. Pada saat gosok gigi seketika aku pasti terbayang bahwa bibirmu pernah nempel di pipiku.  Ah, enggak…enggaaaak!  Takut deh,Bud, sumpah aku takut.                                                                                                                                                  

       Tubuh Diana berguncang.  Bayangan hari-hari mendatang yang bakal dihadapinya, tiba-tiba menghantui dirinya. Kalau Budi benar-benar tak mau lagi menyapa dirinya, betapa akan perih banget hatinya.  Di sekolah, apakah ia hanya menatapnya tanpa lagi bisa menegurnya?  Oh, bagaimana jika Budi keukeuh meninggalkan dirinya?  Apa kata teman-teman nanti?  Selama ini mereka sudah tahu bahwa antara dirinya dengan Budi bak sepasang merpati.  Lalu bagaimana jika tiba-tiba Budi sudah menggaet gadis lain, dan memamerkannya di depan                                                                                                                             mata?  Oh, ke mana muka akan kusurukkan? 

       Semenjak kejadian itu, memang benar Budi kemudian menjauhi Diana. Bahkan kini Budi telah pula punya gacoan baru.  Reny gadis berponi teman sekelas Budi. Tampak mereka akrab sekali. Sesungguhnya Diana tak ingin  menengok kemesraan mereka itu. Namun seperti ada dorongan spontan, ia pengin mengetahuinya, meskipun setelah itu hatinya digodam deraan luka. Luka hebat yang menganga.  Teringat betapa beberapa waktu yang lalu, ia juga menikmati hal yang sama.  Tetapi kok naga-naganya saat itu Budi tidak semesra dibanding  dengan Reny saat ini, ya? Apakah dulu itu ia hanya bersandiwara denganku?

        Ah, tidak.  Kurasa dulu Budi memang mencintaiku.  Buktinya ia sering mengajakku ke manapun pergi.  Tetapi……,kenapa kini ia meninggalkanku? Hanya karena aku tak mau dicium?  Berarti kalau sekarang Budi kelihatan mesra dengan Reny, Reny pasti mau dicium dong. Ah..ihhhhh…segitunya Budi dalam mengukur tanda-tanda cinta.  Kenapa begitu sih, Bud?  Ataukah Budi berprinsip bahwa gadis yang pertama kali dicium akan dijadikan kekasih buat selamanya?  Bahkan menjadi istrinya kelak? Oh, kalau begitu kini aku sudah tak mungkin lagi menjadi kekasihnya.  Berarti Reny-lah yang beruntung.  Ah, andaikata saja dulu aku mau dicium, tentu aku…… Oh, tidak ! Ngeri deh, ngeri !!

      Akhirnya segumpal kesadaran hinggap juga pada diri Diana.  Terlalu mengharap saja tentu akan sia-sia jika memang Budi telah menyisihkan dirinya. Lantas Diana mencoba untuk mencari kesibukan supaya kisah-kisah bersama Budi terlupakan. Ia bersedia menerima jabatan sekretaris kelas yang ditawarkan padanya.  Dulu terhadap urusan macam begitu, ia tak berminat  sama sekali.  Juga kini ia ikut kegiatan kesenian sekolah.  Tetapi meskipun telah dengan sesibuk-sibuknya ia berkegiatan, hatinya masih sering terusik juga dengan penggalan kisah cintanya dengan Budi. Apalagi bila ada temannya yang menyinggungnya.  Ada yang menyayangkan, katanya pasangan Budi-Diana itu ideal. Cantik dan cakep. Diana menekur, kalau sedang berjalan bersama  kayaknya memang serasi banget.    Namun ada pula yang memaklumi, di dunia ini memang tak ada yang kekal.  Bahkan ada pula yang mengucapkan selamat kepadanya, “Selamat deh, Na.  Budi itu kan playboy.  Kamu sebagai anak kelas                                                                                                                                 satu belum tahu siapa Budi,”kata Sisil kakak kelasnya yang juga aktifis kesenian.    Terhadap info dari Sisil itu ia mencoba merenungkannya. Ada sekilas pembenaran yang lantas hadir dalam benaknya.  Apalagi begitu cepatnya Budi pindah ke tangan Reny.                                                                                                                                                 

        Semakin Diana menyibukkan diri ke dalam berbagai kegiatan sekolah, semakin ia merasa  terkuak dunianya.  Banyak teman yang bisa saling diajak bercerita.  Bahkan dukungan-dukungan untuk jangan gampang terpuruk oleh cinta pun, berdatangan. Dan serasa tiba-tiba saja ….kini ia sudah dekat dengan Ikram, kakak kelasnya juga. 

       Ikram ini jauh sekali sifat dan gayanya dengan Budi.  Orangnya kalem, sedikit pemalu dan berkesan dingin. Sekilas seperti putra sulung Presiden Jokowi, Gibran…. siapa tuh nama lengkapnya?  Dari segi tampang, Ikram  tak  begitu  jauh  berbeda  dengan  Budi. Dan agaknya   

                                                                                                                                                       

Ikram ini baru pertama kali jatuh cinta terlihat dari lagak gayanya. Sementara bagi Diana tentu saja bukan yang pertama.  Yang kedua, seperti apakah bedanya dengan cinta pertama, batin Diana dirundung rasa penasaran.

      Ternyata meskipun ia telah bareng dengan Ikram, di dalam hatinya kadang masih muncul  tautan rasa kepada Budi.  Padahal ia tahu kini Budi pun telah bersama Reny. Dalam satu kata, cinta Diana kepada Budi belum sama sekali bisa pupus. Kayaknya sudah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya deh.  Ah, betapa Budi sedemikian hangatnya.  Kocak juga, ngegemesin pokoknya. Bahkan secara agak kurang ajar dia sering membatin bahwa suatu ketika Budi akan kembali kepadanya. Ia tahu bahwa perasaannya itu aneh, tetapi ia tak tahu kenapa bisa begitu.

       Terkadang ia pun jujur dengan hatinya.  Bahwa dekatnya dirinya dengan Ikram semata dikarenakan adanya dorongan rasa malu telah dicampakkan Budi.  Dan juga sakit hati terutama bila melihat  Budi dengan Reny asyik ngobrol dan berjalan beriringan. Jadi Ikram semata sebagai pelampiasan dendam saja. Juga kadang terlintas dalam benak Diana, jangan-jangan tontonan kemesraan Budi bersama Reny yang demonstratif itu sengaja dilakukan Budi dengan tujuan untuk memanasi Diana belaka.  Mungkin Budi sengaja berbuat begitu agar Diana mau                                                                                                                             berpikir ulang atas permintaaannya, sehingga hubungan bisa dijalin kembali.  Berarti sesungguhnya Budi juga masih ada keinginan untuk kembali kepadanya? Apalagi Budi sepertinya sering sengaja memamerkan kemesraan itu di hadapannya. Berarti Reny hanya diajak bersekongkol saja. Bersandiwara.

        Tetapi kalau memang aku harus kembali kepada Budi, lalu bagaimana dengan Ikram?  Teman-teman sudah tahu kalau ia jalan bareng dengan Ikram.  Dan nampaknya pula kini Ikram sudah mulai bisa hangat kepadanya.  Tanpa disadarinya Diana seperti telah “mendidik” Ikram untuk jatuh cinta.  Namun bersamaan dengan itu, perasaan cinta Diana kepada Budi kok terus saja berkobar di hatinya.  Oh, aku harus pilih siapa?  Kecamuk hatinya menderu-deru.  Apalagi ia mendengar kabar bahwa hubungan Budi dengan Reny sudah merenggang. Ohhh……….

                                                        Catatan: tanggal 6 Juni menghubungi Rifa, mendiskusikan 

                                                        cerpen ini. 

                                                       (malam sunyi, 30 Mei pukul 23.45).                                                                                                                                                   

           

           Hhhhh….cukup tegang juga mengikuti alur cerita pendek Nining, putri manisku ini.  Aku  tak menduga jika cerpen inilah yang selama ini ia kerjakan.  Ia beroleh ilham darimana? Jangan-jangan tokoh Diana yang diciptakannya itu adalah potret dirinya.  Betapa selama ini aku tak memahami perkembangan putriku.  Rupanya aku harus memulai membuka komunikasi dengannya.  Potensi kebapakanku mulai diuji. Kemudian seraya kulepas helaan nafas lega, kulesatkan senyum pada Jeng Ndari. Terima kasih atas investigasimu, batinku teruntuk istriku.

        Tiba-tiba  dari  arah  pintu  terlihat  Nining  putriku  masuk  dengan  wajah lelah.  Demi   

                                                                                                                                                       

dilihatnya di tanganku terpegang sekumpulan kertas, raut mukanya menyiratkan kekagetan.  Segera ia menghambur ke arahku dan berusaha merebutnya seraya berkata,”Uh, papa jahat.  Itu cerpen jelek, bohong-bohongan.”

        Ia berhasil merebut kertas itu, dan bersegera akan menuju ke kamarnya dengan wajah cemberut lucu.  Namun belum jauh ia melangkah kupanggil ia, “Nining sini, duduklah dulu!” dengan ogah-ogahan ia membalikkan badan, lalu mengambil tempat duduk di hadapanku, “Papa senang kok kau bisa menulis cerpen. Dulu mamamu juga suka menulis cerpen, lho.”                                                                                                                         

        “Ah, Nining nggak bisa kok, Pa.  Cerpen ini jelek banget.  Nining malu papa dan mama telah membaca cerpen ini.”

        “Oh, jangan, sama sekali jangan malu.  Cerpenmu itu sangat menarik.”

        “O ya, Pa? Bagaimana cerpen ini,Pa?” tanyanya dengan raut gembira.

        “Cerpenmu itu kan belum selesai?”

        “Justru itu,Pa, Nining bingung mau menyelesaikannya.”

        “Kenapa bingung?”

        “Nining bingung mau memihak kepada siapa?  Nining tak enak hati sama tokoh Diana, Budi dan Ikram,Pa.”

         Mendengar penuturannya itu, aku tertawa berderai.  Demikian juga tawa Jeng Ndari terdengar dari ruang makan.  Jeng Ndari bolak-balik ke sana kemari mempersiapkan sejumlah snack seraya menguping penuturan Nining.  Betapa anak kami itu lucu sekali, celotehnya menggelikan hati,”Kenapa bisa sampai begitu?” tanyaku lebih lanjut.

          “Begini,Pa. Kalau Diana pilih si Ikram, kan bisa repot, soalnya sebenarnya Diana masih mencintai Budi.  Kalau Diana pilih Budi, kasihan Ikram dong, sebab bukankah Ikram mulai bisa merasakan cinta?  Tetapi kalau tidak memilih kedua-duanya, yang kasihan Diana.  Diana kan lagi pengin punya cinta, bisa bengong dia nanti.” 

          “Tetapi bukankah memilih itu selalu yang terbaik?” 

          “Papa pasti akan cocok jika yang dipilih Diana adalah Ikram?”                                                                                                                                                  

           “Sudah jelas,kan?  Bukankah Budi itu playboy, sementara Ikram adalah anak yang baik?’

           Ketika Jeng Ndari melintas di dekatku, ia melempar senyum tipis buatku.  Di tangannya terlihat pudding segar yang hendak ditata di meja, “Ayo, dong Ma, ikut ngomong.  Katanya bekas cerpenis, gimana sih?” pintaku seraya kugamit lengan sintalnya.

         “Enggak deh, Mama jadi pendengar saja,” jawabnya dengan nada pasrah.

         “Bukan begitu,Pa, sebenarnya Diana ingin merumuskan suatu kebaikan buat                                                                                                                          semuanya.”  Anakku ini agaknya kian bersemangat, terbukti tak menghiraukan  sapaanku terhadap mamanya tadi. 

        Air mukaku pun kusemburatkan dengan rona seksama, “Maksudmu?”

        “Bagi Diana, Budi adalah cermin kejujuran cintanya, betapapun karakter Budi seperti itu.  Diana tak bisa bohong bahwa ia hanya mencintai Budi. Sedangkan terhadap Ikram hanya emosi yang mendasarinya, karena rasa marah ia dicampakkan Budi.  Jadi perasaan cinta Diana, kalaupun itu ada, terhadap Ikram bukan berasal dari nuraninya yang terdalam.  Perkara ternyata kemudian Ikram sungguh-sungguh mencintai Diana, hal ini tak diperhitungkan Diana sama sekali.”

        Hei !, betapa lancarnya anak ini bercerita. “Nampaknya kau membela Budi?”

       “Bukan begitu, Pa.  Idealnya memang Budi dan Diana-lah yang keluar sebagai pemenang.”

        “Berarti sesungguhnya Diana itu pembohong, Ikram yang jadi korbannya?”

       “Diana bukan pembohong,Pa.  Dengan mencintai Budi, setidaknya akan berguna bagi gadis-gadis.”

        “Lho???” sepenggal keheranan mengerutkan dahiku.

       “Iya, Pa. Dengan memilih Budi, Diana sekaligus bermaksud hendak mengakhiri petualangan Budi yang suka ganti-ganti pacar itu.  Sedangkan Ikram agaknya tak berbahaya bagi gadis-gadis.”

        “Lantas bagaimana dengan prinsip Diana yang tak mau dicium itu?”

        “Ah, itu gampang, Pa  memutuskan ending ceritanya. Bukankah Nining adalah penulis cerpen ini?”  jawabnya seraya berlari menghambur ke arah kamarnya.  Jeng Ndari mendekatiku yang tengah terlanda rasa bengong. Kutatap wajah Jeng Ndari, senyumnya berlumur makna.  Dari rekah sepasang bibirnya  seperti hendak meluncur kata-kata bernuansa sindiran tajam, “Nining, sesungguhnya papamu ini  tak beda jauh dengan karakter tokoh Budi dalam cerpenmu itu!!” (*).

         

                                      “Kemiskinan dan penderitaan itu 

                                       sesungguhnya adalah lumbung inspirasi 

                                       yang hanya merepotkan secara ekonomi.  

                                       Jika banyak memiliki inspirasi, kemiskinan 

                                       dan penderitaan itu menjadi tidak berasa”

 

       

                                                                                                                                                                                                                                                                      

                                                   

RESUME dan STEP BY STEP PERJALANAN LITERASI NanCita 

01 dari 9 STEP 

          (3 BUAH “PENCAPAIAN LITERASI” YANG MEMORABLE KETIKA SMA)
                                                           
Salah satu dari sejumlah piagam lomba menulis ketika SMA. 
Juara 1 dan 2-nya kini menjadi dosen sekaligus penulis terkenal. 
 Karya saat kelas 1 SMA
Karya ketika kelas 3 SMA
 
   

   02 dari 9 STEP

        EPISODE KULIAH SEKALIGUS UPAYA PERWUJUDAN GAGASAN-GAGASAN
                              (menulis di media, rajin mengikuti ceramah dan diskusi, dll)

  Sebagian tulisan saya yang dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogya dan PELITA Jakarta
 


                                                                                                                                                                  03 dari 9 STEP                                  
  


  

Pengalaman ber-KKN yang kian melecut untuk mewujudkan gagasan yang bisa
langsung dinikmati oleh masyarakat yakni SANGGAR BACAAN  
                                                                                                                                                                                                 

04 dari 9 STEP 
                         
  Cuplikan dari proposal yang gagal terwujudkan (1992) 
   Teks proposal ini selengkapnya dimuat dalam naskah buku Kumpulan Sajak PARKIR  

                                          
                                                                                                                                                                   
        Proposal ini juga gagal terwujudkan (1998) 
             Teks proposal ini selengkapnya dimuat dalam naskah buku Kumpulan Sajak PARKIR   
  
 05 dari 9 STEP
                                                                                                                                                     

   SANGGAR BACAAN PUN AKHIRNYA TERWUJUD    
 







  
    
                                                                                                                                                 
06 dari 9 STEP  

Sanggar Bacaan NanCita dibuka tanggal 30 Oktober 2000



  
 07 dari 9 STEP 

Sanggar Bacaan N-CeDe PARAKAN dibuka tanggal 29 Mei 2004 

 Sanggar Bacaan N-CeBe JAMPIROSO dibuka tanggal 11 Desember 2006  

   

 08 dari 9 STEP  

(memuat kisah finansial yang dramatis hingga rumah nyaris tersita oleh bank, selengkapnya bisa disimak di buku ini dan ekonancita.blogspot.com) 


09 dari 9 STEP 

NanCita terkini 

 



  
110
   
“Bisnis yang membahagiakan secara otentik itu ditentukan oleh MINDSET, HABITUAL ACTION dan tentu saja  BY DESIGN. O ya, satu lagi: PERCAYA DIRI. Seyogyanya modal berbisnis itu tidak berasal dari teman, saudara, orang tua, lembaga donor, pemerintah atau bank.  Tetapi terlebih dulu menjadi TKI di Taiwan”
                                                            (jelas ini bukan quote, namun pengalaman) 

  KTA BURUH MIGRAN (=DIASPORA, EKSPATRIAT ?)  



RINGKASAN DOKUMENTASI PERJALANAN PANJANG YANG SAYA TEMPUH   




Di rumah semacam inilah saya lahir dan dibesarkan di desa. Saat itu sudah kutu buku, beruntung sekali ayah adalah Guru SD yang sering membawakan bahan bacaan. Sempat menyabet gelar Pelajar Teladan SD Tingkat Kecamatan Juara 3 !! Seterusnya diterima di SMPN 2 dan lalu SMAN 1 di kota dengan kondisi ekonomi orangtua yang teramat susah payah. Di sepanjang hobi membaca itu selalu tertarik dengan tema kemiskinan karena saya memang mengalaminya. Kemudian timbul pemikiran bahwa kemiskinan bisa diatasi dengan PENDIDIKAN dan KEWIRAUSAHAAN.  Tema  pendidikan dan kemiskinan itulah yang selalu menemani benak saya di sepanjang berliterasi terutama ketika kuliah.  Menjadi TKI di Taiwan juga dalam rangka mencari modal buat perjuangan literasi,  kemudian lahirlah 2 buah gagasan ini:
1.      Rimba Puisi Antar Kota yang terkait dengan pendidikan masyarakat.
2.      DANURBA yang terkait dengan kemiskinan masyarakat. 

(ide literasi untuk siapapun) 

(ide dana modal buat siapapun) 

Dengan ide DANURBA dan  RIMBA PUISI ANTAR KOTA  itulah, saya ingin sekali bisa melengkapi minat MEMBACA dan MENULIS dengan minat BERGAGASAN serta berupaya mewujudkannya (hilirisasi) agar budaya berliterasi menjadi semakin sempurna. Semoga.                                                                                                                                                                                                                                         
                                                                                                                                                            
                                                                                                                        
                                                                                                                                                                         

                                                                                                                               

                                  SAAT BER-KKN MENGUJI SOCIAL SKILL                                                                                                                                                                                                                         

PARA PEMBURU CINTA
Masih teringat jelas ketika pertama kali saya berkenalan dengan seorang gadis bernama Hestiningsih. Kami: saya, Bowo, Aris dan Upri, mereka semua teman satu kos saya, secara bersamaan berkenalan dengan dia di  sebuah warung makan di kawasan Rinjani Semarang. Pada awalnya kami berangkat bersama saat dolan ke kos-kosan Hesti yang berjarak kurang lebih 200m dari kos-kosan kami.  Namun berikutnya kami berkunjungnya dengan tidak saling mengajak…… Jebul masing-masing melakukan gerilya sendirian seperti berlomba dalam upaya mengambil hati Hesti.  Kemudian saya berinisiatif membuat semacam sayembara di antara kami yakni: barang siapa yang paling duluan bisa memperoleh pasfoto Hesti, dialah pemenangnya.  Singkat cerita, setelah memberi kesempatan kepada kawan-kawan unjuk kebolehan dalam berburu pasfoto, akhirnya pasfoto itu berhasil saya dapatkan langsung dari Hesti !! 


                       DARI SEMARANG, KAMI PUN MERAJUT MASA DEPAN

(Dan pasfoto itu saya dapatkan dengan melobi Hesti melalui hobinya.  Dia suka membaca maka saya kirimi dia buku-buku antara lain 3 buah novel Mira W edisi perdana ini. Dan di sampul belakang novel itu saya selipkan sajak. Ke tiga novel ini sungguh memorable sekali. Hingga kini tetap tersimpan dan menjadi koleksi Sanggar Bacaan NanCita. Masih sering pula dipinjam oleh para anggota. Tiga buah novel yang menjadi cikal-bakal dan “pondasi” pendirian perpustakaan)      


               
         

BERTUNANGAN SEBELUM KE TAIWAN  


 SEPULANG KERJA DI MESS PABRIK


         MEMBELI RUMAH SEBELUM MENIKAH (dari hasil kerja di Taiwan)               
                                      
MENIKAH DENGAN BIAYA DARI HASIL KERJA DI TAIWAN 



MENDIRIKAN PERPUSTAKAAN DENGAN MODAL DARI HASIL KERJA DI TAIWAN 


                      MEMBELI RUMAH DARI HASIL USAHA PERPUSTAKAAN SWASTA 

 
MEMBOPONG ANAK PERTAMA  

                                                       
                                          BERSAMA ANAK KE DUA

                                                         KEDUA ANAK KAMI KINI    

                    
        Neofandy Aikan Nancitazen, 3 SMA        

   
  Hanna Nancitanova Rifdah, 2 SD     

     


   

                                       
Sebagai mahasiswa POLITIK (Fisip) saat itu, saya menggemari SASTRA dan EKONOMI khususnya kewirausahaan agar bisa bertahan hidup sehingga antara lain membuka warung makan mahasiswa, menjadikan lahir banyak ide.  Buku ini memuat artikel baik yang dimuat media atau belum dikirimkan dan lebih bertema “politik dan ekonomi”.  Dan ada satu artikel yang penulisannya masih macet sebab membutuhkan riset dan referensi undang-undang pemda/politik terkini.  Artikel itu berjudul PRESIDEN-KEPALA DESA: Gerakan Empan Papan.
















Komentar

  1. Harrah's Reno Hotel & Casino - Mapyro
    Find Harrah's Reno Hotel & Casino, Reno, 경상북도 출장샵 Nevada, 강릉 출장샵 United States, 김포 출장샵 reviews and more. Rating: 충청남도 출장마사지 3.4 세종특별자치 출장샵 · ‎22 reviews

    BalasHapus

Posting Komentar