Daftar Isi
01. CERPEN PUTRIKU.
02. KUBINGKAI CEMBURU MUTIARAMU.
03. SEPENGGAL KASIH DI TEPIAN SAYANG.
04. IBUKU DAN ATAU SANG PERAMPOK.
05. (nantikan judul-judul selanjutnya).
06. RESUME dan STEP BY STEP PERJALANANLITERASI NanCita.
CERPEN PUTRIKU
Oleh Eko Nurwindarto
Ketika semalam secara tiba-tiba aku
memasuki kamar belajarnya, buru-buru ia menghentikan mesin printernya yang
sedang bekerja. Kulihat ia segera menggeser mouse
komputernya, dan di layar monitor seperti tertampil kisi-kisi sebuah mata
pelajaran. Aku tak begitu memperhatikan, sebab segera kusadar bahwa kehadiranku
sangat mengganggunya. Atau tepatnya mengagetkan keasyikannya nge-print sesuatu naskah tadi. Setelah menyapa
alakadarnya, pintu kamarnya kututup kembali sambil meninggalkan kesan seolah
aku tak melemparkan kecurigaan atas kesibukannya itu. Di matanya aku tadi
tengah melihat bahwa ia sedang mengerjakan tugas atau belajar.
Namun sesungguhnya tidak demikian
pikiran yang menggangguku. Ia pasti tengah mengerjakan sesuatu yang sangat
pribadi sifatnya. Rahasia bahkan. Bisa
jadi ia sedang menyusun proposal yang ibu dan ayahnya ini tak boleh tahu.
Jangan-jangan ia sedang membuat naskah atau brosur untuk sebuah kegiatan
terselubung? Tapi apa mungkin? Sebab
kutahu putri sulungku itu bertipe anak yang terbuka kepada siapa saja. Aku
memang belum pernah berhasil menangkap basah apa yang sesungguhnya sedang di-print-nya itu. Putriku itu beperasaan
sangat sensitif, sehingga dibutuhkan kehati-hatian berlipat ganda manakala
menghadapi kaca kristalku itu.
“Aku lebih condong menduga bahwa yang ia
kerjakan itu berkaitan dengan urusan keremajaan sesuai umurnya saat ini,” tukas
Nurfarin Heningkumandangndari istriku, mantan aktifis kampus, “kalau kau tuduh
ia kemungkinan terlibat jaringan terlarang, kau berlebihan,” sambungnya ketika
kami membincangkan perilaku putri kami itu.
“Bagaimanapun kita harus waspada,
Jeng,”sanggahku kepada wanita bermata bulat yang kuliahnya dulu tiga tingkat di bawahku
ini.
“Ia menanjak dewasa dan kita berangkat
tua ya, Jeng?” kataku sambil membetulkan
tali sepatu.
“Empat puluh tiga memang lebih tua dibanding tiga puluh, tetapi empat puluh tiga kan lebih muda daripada yang lima puluh tiga?” canda diplomatis istriku seraya melesatkan senyuman memikat. Ada tahi lalat kecil di atas bibirnya. Terbayang ketika melakukan prosesi
“Makin tua harus makin bijaksana,” kataku lagi.
“Jelas, dong. Termasuk harus hati-hati
dalam menghadapi puber ke dua,” cetus Jeng Ndari, demikian sapaan yang kupilih
untuknya, sembari menghunjamkan lirikan mata jauh ke dalam hatiku.
“Ah, kau bisa saja,” jawabku dengan
nada seperti habis diskak mat, “Jangan khawatir Jeng, pertahananku kuat kok.”
Dan kudaratkan lembut kecupan di keningnya sebagai tanda pamit berangkat ke
kantor.
Pada usia ke 43 ini memang terasa makin
kompleks saja persoalan yang kuhadapi.
Baik yang berhubungan dengan karirku di kantor maupun dalam keluargaku.
Anakku berjumlah tiga, dan yang gadis adalah si sulung itu. Ketika usianya sudah menginjak 17 tahun tentulah ia
bukan kanak-kanak lagi. Pertumbuhan,
terutama dari sisi kejiwaannya, tentulah berbeda dengan Gion atau Ade, kedua
adik si sulung Nining. Aku harus bisa
memberikan arahan yang tak terkesan otoriter kepadanya. Bukan saja agar ia bisa menjadi panutan bagi
kedua adiknya, namun aku juga mesti bisa menangkap sisi-sisi sifat
pemberontakkannya sebagaimana lazimnya gadis seusia dia.
Ah, tiba-tiba saja potensi kebapakanku
terasa kian teruji dengan tantangan-tantangan yang baru lagi. Seperti inikah siklus umum seorang bapak yang
memiliki anak seorang gadis? Kupikir
kebengalan yang sering muncul dari usia anak remaja itu tidak hanya disebabkan
oleh lingkungan saja. Namun juga oleh
orangtuanya yang tidak berhasil merengkuhnya sebagai anak dengan rengkuhan
sedekat mungkin.
Ada sesirat kebanggaan dan sekaligus
kekhawatiran yang menyelinap di balik nuraniku.
Bangga karena aku akan berada pada puncak usia sebagai ayah. Khawatir
sebab kebanggaan itu bisa saja mendadak pupus olehkarena ulah sang anak
pula. Gadis seusia Nining itu memang
wajar jika mulai bersinggungan dengan
cinta, misalnya. Namun jika tak
diteropong dengan seksama bisa saja akan menjungkalkan segala harapan.
Kira-kira apa ya isi dari naskah yang akhir-akhir ini ia kerjakan? Tentu bukan tugas-tugas sekolahan, sebab
pekerjaannya itu tampak selalu ingin ia sembunyikan.
“Seksamai selalu dia ya,Jeng, karena kau
yang lebih banyak di rumah. Namun dengan
cara yang halus. Jangan sampai di matanya kita ini bersikap
kasar atau otoriter. Bisa berontak tak
karuan dia nanti. Dalam memberi nasehat
pun harus dengan kata dan waktu yang tepat.
Berikan padanya keleluasaan berpikir dan kesempatan berbicara. Pada gadis seumur dia, rawan penanganan
memang. Seumuran dia tentu akan sudah tahu mana yang baik mana yang buruk. Namun seharusnya tetaplah dalam bimbingan
kita sebagai orangtuanya. Kita pun
jangan sampai salah menempatkan diri.
Bisa-bisa nanti ia akan bertindak hanya berdasarkan kebenaran yang ia
susun sendiri,“ ucapku seperti mendikte kepada istriku sepulang dari
kantor. Seharian itu rasanya aku hanya
ingin membicarakan tentang Nining saja.
“Sudaaaaah??? Gantian aku yang ngomong, dong !!” sergah
istriku seperti memberontak.
Dan langsung
memberondongkan peluru kata-kata, “Kita jangan terlalu cepat mendakwa anak kita.
Pikiran harus diolah masak-masak dulu sebelum menyimpulkan sesuatu. Bahkan kalau perlu pakai investigasi segala,
Mas.”
“Lho, sepertinya kau kok memojokkan
diriku?”
“Tak hanya memojokkanmu, tetapi juga
membuka matamu lebar-lebar.”
Lho ?!! Kemudian Jeng Ndari mengangsurkan
kepadaku berlembar-lembar kertas hasil mesin printer. “Kutemukan itu di laci meja belajar
Nining. Bacalah, aku telah membacanya,
mumpung tadi Nining bilang bahwa ia akan pulang agak sorean. Ada rapat kelas katanya.”
Kuterima segepok kertas itu dengan
gunung rasa penasaran. Oh, ternyata deretan kata-kata yang tersusun berupa
cerita pendek. Kubaca judulnya : Sebongkah Hati di Ujung Bingung oleh NiningTyasHernani. Dan di pojok kanan
atas dari cerpen itu tertulis : untuk
Rifa, mohon kritik-kritiknya.
Persoalan
yang tengah dihadapi Diana sungguh tak bisa dianggap sepele. Saban hari otaknya serasa diperas untuk
memikirkan hal itu saja. Ia sama sekali
tak ingin kehilangan Budi. Betapa hatinya
terasa disiram kesejukan jika sudah berdampingan dengan Budi. Akan tetapi ia tak bisa mengabulkan
permintaan Budi yang satu itu. Bagi
dirinya permintaan Budi sangatlah berat, betapapun mungkin bagi Budi hal
semacam itu wajar saja. Bahkan menurut Nonon, Tina dan Mery hal itu
mah bukanlah sesuatu yang aneh.
“Segitu aja kok, kagak bakalan susut
deh tubuh kita,”celetuk Nonon dengan genitnya.
“Kecil, tuh,” sambut Tina dengan nada
kalimat yang sangat ringan.
“Ah, justru bikin suasana makin
romantis,” timpal Mery nadanya memanja.
Diana memang tak dengan sengaja
menanyakan hal itu pada kawan-kawan sekelasnya itu. Ia hanya sering mendengar pembicaraan mereka
bila jam istirahat tiba. Nguping.
Nampaknya mereka telah menganggap hal itu semacam jabat tangan
saja. Oh, Diana rasanya seperti terasing
sekali. Ia tak bisa mengimbangi
pembicaraan mereka. Sebenarnya ia juga
ingin ikut bergabung bicara tentang segala hal termasuk hal itu. Tetapi apakah setiap pembicaraan terlebih
dulu harus berdasarkan suatu pengalaman?
“Lho, ya jelas,dong,” jawab Mery
ketika si alim Santi secara kebetulan berdebat tentang hal itu dengan
“gerombolan” Nonon, Tina dan Mery, “Dicium segitu aja nggak mau,” sahut Nonon
menyambung.
Diana berpikir, ia harus memihak kepada siapa nih? Apakah ia akan membenarkan sikap Santi yang
kemudian pergi dengan wajah tak setuju begitu mendengar jawaban Mery dan Nonon itu? Ataukah ia akan berpihak pada Nonon dan
Mery? “Santi itu memang belum pernah pacaran sih.
Ia masih bau kencur, belum tahu apa-apa.
Maka alimnya,huu nggak ketulungan,” timpal Tina kemudian. Apakah benar Santi belum pernah pacaran? Kalau begitu lain dong dengan diriku, batin
Diana.
Diana merasa bahwa satu sisi dari hidup masa
lalunya, keceriaan tanpa beban di masa kecilnya, telah hilang. Ia merasa sudah tak pantas lagi bermain
boneka. Ia bukan Diana yang dulu
lagi. Diana berpikir, kini hidupnya kok
jadi lain sekali. Aku kini tengah seneng
banget kepada Budi, cowok cakep kakak kelas SMA-nya. Tiap saat ada desiran rasa
kangen di hati. Tetapi kok ada problema yang mengganjal sih? Apakah Budi hanya
ingin main-main saja padaku, rusuh hati Diana.
Kecamuk hati Diana itu menunjukkan
bahwa ia memang sudah memiliki pribadi yang berbeda dibanding waktu-waktu yang
lalu. Ia merasa selalu dalam pusaran
tanya akan eksistensinya kini. Misalnya,
apakah ia harus selalu tunduk patuh pada kedua orang tuanya. Bahkan cenderung
takut, sehingga menjadikan dirinya canggung dan tertutup. Apakah bisa ia menanyakan perasaan yang kini
mendera kalut hatinya itu kepada bapak-ibunya?
Juga apakah perasaan suka pada Budi itu harus melahirkan sikap tunduk
pula kepada kemauan Budi? Ia pernah
diajak Budi ke rumah nenek Budi sehabis sekolah. Dan setelah pulang dari bermain itu, ibu dan
bapaknya marah besar. Ia pun
menangis. Sebenarnya Diana ingin
bicara. Ingin mengatakan bahwa sewaktu
diajak bermain itu ia tak kuasa menolaknya.
Bahkan ingin sekalian menanyakan, kok dirinya bisa menjadi penurut pada
Budi seperti itu, kenapa? Namun bapak
ibunya tak memberi kesempatan sedikitpun kepadanya. Dampratan orang tuanya justru kian menggila.
“Pacaran ya kamu!!?” Mangkir ya!!?
Sekecil itu sudah berani nekad !”
Seplastik buah jambu yang dibawanya dari
rumah nenek Budi, direbut ibunya kemudian dilemparkannya hingga berhamburan,
“Huh, jambu guna-guna!” seru ibunya seraya memandang tajam suaminya seperti
memohon persetujuan atas amarahnya. Diana pun lari ke kamarnya sambil
mengeraskan suara tangisnya.
Perasaannnya rusuh bukan main.
Aku harus bagaimana? Oh, ibu tak mau tahu perasaanku, dan bapak tahunya
hanya menamparku atas laporan ibu.
Di kamarnya tangis Diana kian membuncah
saja. Budi, tahukah kau bahwa tak ada
orang yang mau mengerti diriku? Kenapa
kau menambah beban-bebanku? Aku
sebenarnya ingin berbicara, berkeluh kesah, tetapi siapa yang akan mendengarkan?
Aku ingin bertanya tentang banyak hal, namun siapa yang berkenan memberikan jawaban? Budi, kenapa sih kau yang kucintai kok minta
cium segala? Apakah cinta itu tak boleh ada tanpa hal itu?
Rasanya Diana ingin lari saja, namun
kedua kakinya terasa berat. Kalaupun bisa lari, akan menuju
ke mana dan kepada siapa? Apakah yang penting lari, lari dan lari saja? Sebab jika diam melulu, dirinya serasa dalam
tahanan. Kalau berteriak, nanti dikira
dirinya tak lagi waras. Tiba-tiba selintas keputusan mengaliri benaknya. Ia harus tetap memutuskan bahwa bagaimanapun
ia tak mau memenuhi permintaan Budi itu.
Tak mau, betapapun ia sangat mencintai bintang basket itu. Aku harus tegas dan berani, tekadnya dalam
hati.
Pada suatu kesempatan yang lain lagi,
Budi mengajak Diana pergi ke sebuah tempat wisata. Lagi-lagi Diana tak kuasa menolaknya. Budi memang cakep, kayak Aliando Syarif
digabung dengan Al Ghazali. Ihh, tubuh Budi atletis banget. Namun Diana tetap
berpegang pada tekad yang telah ia pancangkan dalam hatinya. Kesadarannya pun
bulat mendukung gumpalan tekadnya. Ia
tak menemukuan alasan yang tepat untuk harus melakukan itu. Cinta ya cinta pokoknya.
“Lihat Na, langit cerah sekali,” tukas Budi
setiba di tempat wisata dan mereka duduk di atas bangku taman. Diana tetap
sadar bahwa ia tengah dibawa ke suatu suasana. Sedangkan Budi sangat yakin
bahwa suasana itu akan takluk dengan segenap rencananya.
“Kalau langit cerah lalu kenapa?” respon
Diana dengan nada kocak.
“Berarti
untuk waktu satu atau dua jam lagi, rasanya tak akan turun hujan.”
“Kalau memang ada tanda-tanda mau hujan,
kita langsung cabut ya?”
“Tanda-tanda
itu belum ada, Na. Berarti tak ada alasan untuk buru-buru pulang. Kita nikmati saja kebebasan Hari Minggu ini,
sebagai penyegaran setelah kita semingguan suntuk mikirkan pelajaran.”
“Di
rumah pun sebenarnya kita bisa mencari penyegaran. Baca majalah, nonton tv, seharian
ngenet…”
“Ah, bosan dong, nggak alamiah dan hijau
seperti di sini.”
Pada mulanya yang mereka bicarakan
sekedar yang ringan-ringan saja. Tetapi
Diana tahu bahwa Budi pasti akan menjurus ke sana. Kenapa sih gitu, batin Diana. Betul juga, Budi kemudian mengajak Diana
untuk duduk di tempat yang terlindung rerimbun pohon. Terlindung dari pandangan
orang. Angin terasa semilir membuai insan yang tengah jatuh cinta. Hembusannya berpotensi menggoyahkan perasaan
sekuat apapun. Menawarkan kenikmatan yang menggoda. Apalagi bagi Budi,
berkali-kali ia menemukan kesempatan semacam ini dalam setiap perburuan dan
petualangannya. Maka ia menjadi sangat
paham bagaimana strategi menaklukkan kesempatan. Sekaligus mewujudkan segenap
keinginannya, melengkapkan gemuruh perasaannya yang lama tertahan.
“Jangan Bud, jangan!! Aku nggak mau !!”
tolak Diana seraya mendorong tubuh Budi ketika Diana merasakan nafas Budi yang
terasa menerpa pipi Diana.
Tergumpallah raut kekecewaan di wajah
Budi. Dihembuskannya nafas yang
mengandung nada keberangan yang tertahan.
Ia lalu bangkit berdiri dan melangkah menuju bangku di depannya. Ditinggalkannya Diana yang menunduk sendiri. Perasaan rusuh sangat membaluti hati
Diana. Dengan enggan ditepiskannya
sesuatu seperti debu yang hinggap di blusnya.
Tiba-
tiba
ia sadar bahwa tadi telah berbohong kepada bapak-ibunya. Sesungguhnya Hari
Minggu ini tak ada kegiatan di sekolahnya. Ia membuat alasan hanya demi ingin
bertemu dengan Budi saja. Bahkan malah
pergi ke taman ini. Oh, matahari terus
merangkak kian mendekati titik kulminasi.
“Kalau kau ingin pulang, pulanglah!”
mendadak suara Budi memecah sunyi.
Seperti menghardik saja. Seketika
hati Diana menggejolak. Ditatapnya Budi
dengan pandang penuh keheranan. Bud, aku
mencintaimu tetapi kamu kok kejam begitu sih?
Sesungguhnya aku ingin setia padamu, kenapa kamu tampak marah
begitu? Persoalan cium saja bikin kamu
ngambek. Kuingin kita bicara tentang
pelajaran, buku-buku kesukaan atau boleh juga tentang cita-cita. Kelak kau ingin jadi apa, Bud?
“Berarti kau tidak mencintaiku. Kau tak ingin jadi milikku,” tambah Budi lagi. Aduh sungguh Bud,aku ingin tetap
mencintaimu. Kenapa kamu tidak bisa mengerti sih? Duh, bagaimana aku harus mengatakannya?
“Ternyata kau hanya setengah hati
terhadapku. Okelah kalau memang begitu,
kita putus sampai di sini saja!! “
Blarrr!! Lho?! Kok putus bagaimana sih,
Bud? Pelahan dan tak terasa karena hati
Diana risau tak terkira,bulir-bulir air matanya pun membasahi pipinya.
“Satu kali dua kali, aku masih bisa menerima
penolakanmu. Tetapi setelah yang kali
ini, sudah cukup bukti untuk mengatakan bahwa kau hanya bohong-bohongan saja
padaku. Baik, untuk yang terakhir
kalinya kau akan kuantar pulang. Tetapi
untuk waktu-waktu berikutnya jangan bermimpi aku sudi tersenyum padamu.”
Oh Budi, mengapa kau ucapkan kata-kata
itu? Apakah kau tak merasa bahwa aku
telah cukup berjuang untukmu? Betapa aku
sering dimarahi ibu-bapakku setelah pergi terlalu lama, itu semua demi kamu,
Bud. Kalau selama ini aku menolak kau
cium, kupikir itu hanya karena tak pantas saja.
Belum boleh tepatnya, Bud. Lagian kenapa orang yang saling jatuh cinta
pakai cium segala? Jatuh cinta itu kan
saling mengagumi. Kamu memendam rasa
kangen, demikian juga aku. Selalu ada dorongan hati untuk saling melindungi. Malu ah jika pakai cium segala ! Coba bayangkan, kalau aku melihat kamu yang
kupandang pasti bibirmu. Ketika makan,
tentu aku akan ingat bibirmu. Pada saat gosok gigi seketika aku pasti terbayang
bahwa bibirmu pernah nempel di pipiku.
Ah, enggak…enggaaaak! Takut
deh,Bud, sumpah aku takut.
Tubuh Diana berguncang. Bayangan hari-hari mendatang yang bakal
dihadapinya, tiba-tiba menghantui dirinya. Kalau Budi benar-benar tak mau lagi
menyapa dirinya, betapa akan perih banget hatinya. Di sekolah, apakah ia hanya menatapnya tanpa
lagi bisa menegurnya? Oh, bagaimana jika
Budi keukeuh meninggalkan dirinya? Apa
kata teman-teman nanti? Selama ini
mereka sudah tahu bahwa antara dirinya dengan Budi bak sepasang merpati. Lalu bagaimana jika tiba-tiba Budi sudah
menggaet gadis lain, dan memamerkannya di depan mata?
Oh, ke mana muka akan kusurukkan?
Semenjak kejadian itu, memang benar Budi
kemudian menjauhi Diana. Bahkan kini Budi telah pula punya gacoan baru. Reny gadis berponi teman sekelas Budi. Tampak
mereka akrab sekali. Sesungguhnya Diana tak ingin menengok kemesraan mereka itu. Namun seperti
ada dorongan spontan, ia pengin mengetahuinya, meskipun setelah itu hatinya
digodam deraan luka. Luka hebat yang menganga.
Teringat betapa beberapa waktu yang lalu, ia juga menikmati hal yang
sama. Tetapi kok naga-naganya saat itu
Budi tidak semesra dibanding dengan Reny
saat ini, ya? Apakah dulu itu ia hanya bersandiwara denganku?
Ah, tidak. Kurasa dulu Budi memang mencintaiku. Buktinya ia sering mengajakku ke manapun
pergi. Tetapi……,kenapa kini ia
meninggalkanku? Hanya karena aku tak mau dicium? Berarti kalau sekarang Budi kelihatan mesra
dengan Reny, Reny pasti mau dicium dong. Ah..ihhhhh…segitunya Budi dalam
mengukur tanda-tanda cinta. Kenapa
begitu sih, Bud? Ataukah Budi berprinsip
bahwa gadis yang pertama kali dicium akan dijadikan kekasih buat
selamanya? Bahkan menjadi istrinya
kelak? Oh, kalau begitu kini aku sudah tak mungkin lagi menjadi
kekasihnya. Berarti Reny-lah yang
beruntung. Ah, andaikata saja dulu aku
mau dicium, tentu aku…… Oh, tidak ! Ngeri deh, ngeri !!
Akhirnya segumpal kesadaran hinggap juga
pada diri Diana. Terlalu mengharap saja
tentu akan sia-sia jika memang Budi telah menyisihkan dirinya. Lantas Diana
mencoba untuk mencari kesibukan supaya kisah-kisah bersama Budi terlupakan. Ia
bersedia menerima jabatan sekretaris kelas yang ditawarkan padanya. Dulu terhadap urusan macam begitu, ia tak
berminat sama sekali. Juga kini ia ikut kegiatan kesenian
sekolah. Tetapi meskipun telah dengan
sesibuk-sibuknya ia berkegiatan, hatinya masih sering terusik juga dengan
penggalan kisah cintanya dengan Budi. Apalagi bila ada temannya yang
menyinggungnya. Ada yang menyayangkan,
katanya pasangan Budi-Diana itu ideal. Cantik dan cakep. Diana menekur, kalau
sedang berjalan bersama kayaknya memang
serasi banget. Namun ada pula yang
memaklumi, di dunia ini memang tak ada yang kekal. Bahkan ada pula yang mengucapkan selamat
kepadanya, “Selamat deh, Na. Budi itu
kan playboy. Kamu sebagai anak
kelas satu belum tahu siapa Budi,”kata Sisil kakak
kelasnya yang juga aktifis kesenian.
Terhadap info dari Sisil itu ia mencoba merenungkannya. Ada sekilas
pembenaran yang lantas hadir dalam benaknya.
Apalagi begitu cepatnya Budi pindah ke tangan Reny.
Semakin Diana menyibukkan diri ke dalam
berbagai kegiatan sekolah, semakin ia merasa terkuak dunianya. Banyak teman yang bisa saling diajak
bercerita. Bahkan dukungan-dukungan
untuk jangan gampang terpuruk oleh cinta pun, berdatangan. Dan serasa tiba-tiba
saja ….kini ia sudah dekat dengan Ikram, kakak kelasnya juga.
Ikram ini jauh sekali sifat dan gayanya dengan
Budi. Orangnya kalem, sedikit pemalu dan
berkesan dingin. Sekilas seperti putra sulung Presiden Jokowi, Gibran…. siapa
tuh nama lengkapnya? Dari segi tampang,
Ikram tak begitu jauh
berbeda dengan Budi.
Dan agaknya
Ikram
ini baru pertama kali jatuh cinta terlihat dari lagak gayanya. Sementara bagi
Diana tentu saja bukan yang pertama.
Yang kedua, seperti apakah bedanya dengan cinta pertama, batin Diana
dirundung rasa penasaran.
Ternyata meskipun ia telah bareng dengan
Ikram, di dalam hatinya kadang masih muncul
tautan rasa kepada Budi. Padahal
ia tahu kini Budi pun telah bersama Reny. Dalam satu kata, cinta Diana kepada
Budi belum sama sekali bisa pupus. Kayaknya sudah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya
deh. Ah, betapa Budi sedemikian
hangatnya. Kocak juga, ngegemesin
pokoknya. Bahkan secara agak kurang ajar dia sering membatin bahwa suatu ketika
Budi akan kembali kepadanya. Ia tahu bahwa perasaannya itu aneh, tetapi ia tak
tahu kenapa bisa begitu.
Terkadang ia pun jujur dengan
hatinya. Bahwa dekatnya dirinya dengan
Ikram semata dikarenakan adanya dorongan rasa malu telah dicampakkan Budi. Dan juga sakit hati terutama bila
melihat Budi dengan Reny asyik ngobrol
dan berjalan beriringan. Jadi Ikram semata sebagai pelampiasan dendam saja.
Juga kadang terlintas dalam benak Diana, jangan-jangan tontonan kemesraan Budi
bersama Reny yang demonstratif itu sengaja dilakukan Budi dengan tujuan untuk
memanasi Diana belaka. Mungkin Budi
sengaja berbuat begitu agar Diana mau
berpikir
ulang atas permintaaannya, sehingga hubungan bisa dijalin kembali. Berarti sesungguhnya Budi juga masih ada
keinginan untuk kembali kepadanya? Apalagi Budi sepertinya sering sengaja memamerkan
kemesraan itu di hadapannya. Berarti Reny hanya diajak bersekongkol saja.
Bersandiwara.
Tetapi kalau memang aku harus kembali
kepada Budi, lalu bagaimana dengan Ikram?
Teman-teman sudah tahu kalau ia jalan bareng dengan Ikram. Dan nampaknya pula kini Ikram sudah mulai
bisa hangat kepadanya. Tanpa disadarinya
Diana seperti telah “mendidik” Ikram untuk jatuh cinta. Namun bersamaan dengan itu, perasaan cinta Diana
kepada Budi kok terus saja berkobar di hatinya.
Oh, aku harus pilih siapa?
Kecamuk hatinya menderu-deru.
Apalagi ia mendengar kabar bahwa hubungan Budi dengan Reny sudah
merenggang. Ohhh……….
Catatan: tanggal 6 Juni menghubungi Rifa,
mendiskusikan
cerpen ini.
(malam sunyi, 30 Mei pukul 23.45).
Hhhhh….cukup
tegang juga mengikuti alur cerita pendek Nining, putri manisku ini. Aku tak
menduga jika cerpen inilah yang selama ini ia kerjakan. Ia beroleh ilham darimana? Jangan-jangan
tokoh Diana yang diciptakannya itu adalah potret dirinya. Betapa selama ini aku tak memahami
perkembangan putriku. Rupanya aku harus
memulai membuka komunikasi dengannya.
Potensi kebapakanku mulai diuji. Kemudian seraya kulepas helaan nafas
lega, kulesatkan senyum pada Jeng Ndari. Terima kasih atas investigasimu,
batinku teruntuk istriku.
Tiba-tiba dari arah
pintu terlihat Nining putriku
masuk dengan wajah
lelah. Demi
dilihatnya di tanganku
terpegang sekumpulan kertas, raut mukanya menyiratkan kekagetan. Segera ia menghambur ke arahku dan berusaha
merebutnya seraya berkata,”Uh, papa jahat.
Itu cerpen jelek, bohong-bohongan.”
Ia berhasil merebut kertas itu, dan
bersegera akan menuju ke kamarnya dengan wajah cemberut lucu. Namun belum jauh ia melangkah kupanggil ia,
“Nining sini, duduklah dulu!” dengan ogah-ogahan ia membalikkan badan, lalu
mengambil tempat duduk di hadapanku, “Papa senang kok kau bisa menulis cerpen.
Dulu mamamu juga suka menulis cerpen, lho.”
“Ah, Nining nggak bisa kok, Pa. Cerpen ini jelek banget. Nining malu papa dan mama telah membaca
cerpen ini.”
“Oh, jangan, sama sekali jangan
malu. Cerpenmu itu sangat menarik.”
“O ya, Pa? Bagaimana cerpen ini,Pa?”
tanyanya dengan raut gembira.
“Cerpenmu itu kan belum selesai?”
“Justru itu,Pa, Nining bingung mau
menyelesaikannya.”
“Kenapa bingung?”
“Nining bingung mau memihak kepada
siapa? Nining tak enak hati sama tokoh
Diana, Budi dan Ikram,Pa.”
Mendengar penuturannya itu, aku
tertawa berderai. Demikian juga tawa
Jeng Ndari terdengar dari ruang makan.
Jeng Ndari bolak-balik ke sana kemari mempersiapkan sejumlah snack
seraya menguping penuturan Nining.
Betapa anak kami itu lucu sekali, celotehnya menggelikan hati,”Kenapa
bisa sampai begitu?” tanyaku lebih lanjut.
“Begini,Pa. Kalau Diana pilih si
Ikram, kan bisa repot, soalnya sebenarnya Diana masih mencintai Budi. Kalau Diana pilih Budi, kasihan Ikram dong,
sebab bukankah Ikram mulai bisa merasakan cinta? Tetapi kalau tidak memilih kedua-duanya, yang
kasihan Diana. Diana kan lagi pengin
punya cinta, bisa bengong dia nanti.”
“Tetapi bukankah memilih itu selalu
yang terbaik?”
“Papa pasti akan cocok jika yang
dipilih Diana adalah Ikram?”
“Sudah jelas,kan? Bukankah Budi itu playboy, sementara Ikram
adalah anak yang baik?’
Ketika Jeng Ndari melintas di
dekatku, ia melempar senyum tipis buatku.
Di tangannya terlihat pudding segar yang hendak ditata di meja, “Ayo, dong
Ma, ikut ngomong. Katanya bekas
cerpenis, gimana sih?” pintaku seraya kugamit lengan sintalnya.
“Enggak deh, Mama jadi pendengar
saja,” jawabnya dengan nada pasrah.
“Bukan begitu,Pa, sebenarnya Diana
ingin merumuskan suatu kebaikan buat semuanya.” Anakku ini agaknya kian bersemangat, terbukti
tak menghiraukan sapaanku terhadap
mamanya tadi.
Air mukaku pun kusemburatkan dengan
rona seksama, “Maksudmu?”
“Bagi Diana, Budi adalah cermin
kejujuran cintanya, betapapun karakter Budi seperti itu. Diana tak bisa bohong bahwa ia hanya
mencintai Budi. Sedangkan terhadap Ikram hanya emosi yang mendasarinya, karena
rasa marah ia dicampakkan Budi. Jadi
perasaan cinta Diana, kalaupun itu ada, terhadap Ikram bukan berasal dari
nuraninya yang terdalam. Perkara
ternyata kemudian Ikram sungguh-sungguh mencintai Diana, hal ini tak
diperhitungkan Diana sama sekali.”
Hei !, betapa lancarnya anak ini
bercerita. “Nampaknya kau membela Budi?”
“Bukan begitu, Pa. Idealnya memang Budi dan Diana-lah yang
keluar sebagai pemenang.”
“Berarti sesungguhnya Diana itu
pembohong, Ikram yang jadi korbannya?”
“Diana bukan pembohong,Pa. Dengan mencintai Budi, setidaknya akan
berguna bagi gadis-gadis.”
“Lho???” sepenggal keheranan
mengerutkan dahiku.
“Iya, Pa. Dengan memilih Budi, Diana
sekaligus bermaksud hendak mengakhiri petualangan Budi yang suka ganti-ganti
pacar itu. Sedangkan Ikram agaknya tak
berbahaya bagi gadis-gadis.”
“Lantas bagaimana dengan prinsip Diana
yang tak mau dicium itu?”
“Ah, itu gampang, Pa memutuskan ending ceritanya. Bukankah Nining
adalah penulis cerpen ini?” jawabnya
seraya berlari menghambur ke arah kamarnya.
Jeng Ndari mendekatiku yang tengah terlanda rasa bengong. Kutatap wajah
Jeng Ndari, senyumnya berlumur makna.
Dari rekah sepasang bibirnya
seperti hendak meluncur kata-kata bernuansa sindiran tajam, “Nining,
sesungguhnya papamu ini tak beda jauh
dengan karakter tokoh Budi dalam cerpenmu itu!!” (*).
“Kemiskinan dan
penderitaan itu
sesungguhnya
adalah lumbung inspirasi
yang hanya
merepotkan secara ekonomi.
Jika banyak memiliki inspirasi,
kemiskinan
dan penderitaan itu
menjadi tidak berasa”
(Dan pasfoto itu saya dapatkan dengan melobi Hesti melalui hobinya. Dia suka membaca maka saya kirimi dia buku-buku antara lain 3 buah novel Mira W edisi perdana ini. Dan di sampul belakang novel itu saya selipkan sajak. Ke tiga novel ini sungguh memorable sekali. Hingga kini tetap tersimpan dan menjadi koleksi Sanggar Bacaan NanCita. Masih sering pula dipinjam oleh para anggota. Tiga buah novel yang menjadi cikal-bakal dan “pondasi” pendirian perpustakaan)
Harrah's Reno Hotel & Casino - Mapyro
BalasHapusFind Harrah's Reno Hotel & Casino, Reno, 경상북도 출장샵 Nevada, 강릉 출장샵 United States, 김포 출장샵 reviews and more. Rating: 충청남도 출장마사지 3.4 세종특별자치 출장샵 · 22 reviews