MIKROKREDO Edisi 01
(Ini adalah RUBRIK BARU tentang "pikiran-pikiran sesat" kala itu saat geliat idealisme tumbuh di
jiwa. Selain FOTO-FOTO lama, akan bagus kiranya jika kita kenang pula OPINI-OPINI lama)
MOTIVATOR VS GLADIATOR
DULU SAYA NEKAT BERPENDAPAT bahwa bila hanya berpikir positif itu sebenarnya mengandung kelemahan. "Apapun yang menimpa, berpikirlah positif," begitu advis yang lazim terlontar dari para motivator. Saya kok merasa bahwa dalam berpikir positif itu justru terkandung suatu kepasrahan yang bisa-bisa tidak produktif guna mengeksekusi problema yang mendera. Bagaimana jika kebiasaan hanya BERPIKIR POSITIF itu kita tambahi atau bahkan ganti saja dengan BERPIKIR AKURAT? Di dalam berpikir akurat terkandung STRATEGI, TAKTIK dan AKSI USAHA yang takkan pernah berhenti. Lha wong sudah berpikir akurat saja kadang masih meleset apalagi hanya berpikir positif yang cenderung menyebabkan munculnya sikap pasrah, mellow, manja dan menye-menye. Kalau cara berpikir positif itu anjuran para MOTIVATOR, maka cara berpikir akurat adalah kebiasaan yang dilakukan oleh para GLADIATOR !! (Hallo, ini adalah "pikiran sesat" yang tentu saja tak perlu diikuti).
"Pikiran memang bisa liar, gerakannya melebihi belitan ular.
Pikiran akan menjadi tenang manakala ditemani CINTA yang tak berkesudahan.
Sedangkan cinta sesaat serupa bisa ular yang mematikan"
(*EkoNanCita WA/sms 081328747838/FB:Nancita Baru Temanggung)
(*EkoNanCita WA/sms 081328747838/FB:Nancita Baru Temanggung)
(MIKROKREDO edisi 2 berikutnya: BEA SISWA DAN PINJAMAN FUTURISTIK. Mohon ditunggu kemunculannya ya. Tapi bagi yang dolan ke NanCita langsung bisa dikonfirmasi, didebat dan didiskusi hingga habis kata-kata seperti biasanya !! Atau meluncurlah ke blog: ekonancita.blogspot.com. Ada kisah seru di sana. MIKROKREDO juga akan dikumpulkan di blog itu juga. Blog rupa-rupa tema !!!)
MIKROKREDO Edisi 02
BEA SISWA VS PINJAMAN FUTURUSTIK
DULU SAYA NEKAT BERPENDAPAT bahwa penerima bea siswa itu adalah mahasiswa pilihan negara dan diharuskan berbakti kepada negeri. Jika kemudian ternyata ada yang lebih sibuk memperkaya diri, mungkin dana yang diterimanya itu dianggapnya bukanlah bea siswa, namun adalah "sedekah dari negara". Teringat saat seorang teman yang mendapat bea siswa lalu mengajak makan-makan, ketika itu batin saya terguncang: lho kok gitu?!!! Saya berpikir: bagi yang tidak bisa memperoleh bea siswa, dan kelompok ini lebih banyak, bagaimana jika diberi pinjaman dana? Tentu hanya bagi yang punya ide kreatif-aplikatif, meskipun IP-nya ya ampuuuun... Pemerintah mungkin ngeri ya dananya bakal tak kembali? Tapi lha wong yang menerima bea siswa saja belum tentu akan mengabdi, jadi seharusnya pemerintah jangan sangsi.... Ingat: antara DIBERI dengan DIPINJAMI itu akan memunculkan karakter daya juang yang berbeda lho. Yang DIBERI cenderung bisa ngacir pergi, sedangkan yang DIPINJAMI akan berjuang sekuat tenaga agar tidak ditagih hingga ke ujung dunia !! Bisa "dosa" lho bila beroleh bea siswa tetapi tidak mengabdi kepada bangsa !!! (Hallo, ini adalah "pikiran sesat" yang tentu saja tak perlu diikuti. JIDOR !!)
MIKROKREDO Edisi 02
BEA SISWA VS PINJAMAN FUTURUSTIK
DULU SAYA NEKAT BERPENDAPAT bahwa penerima bea siswa itu adalah mahasiswa pilihan negara dan diharuskan berbakti kepada negeri. Jika kemudian ternyata ada yang lebih sibuk memperkaya diri, mungkin dana yang diterimanya itu dianggapnya bukanlah bea siswa, namun adalah "sedekah dari negara". Teringat saat seorang teman yang mendapat bea siswa lalu mengajak makan-makan, ketika itu batin saya terguncang: lho kok gitu?!!! Saya berpikir: bagi yang tidak bisa memperoleh bea siswa, dan kelompok ini lebih banyak, bagaimana jika diberi pinjaman dana? Tentu hanya bagi yang punya ide kreatif-aplikatif, meskipun IP-nya ya ampuuuun... Pemerintah mungkin ngeri ya dananya bakal tak kembali? Tapi lha wong yang menerima bea siswa saja belum tentu akan mengabdi, jadi seharusnya pemerintah jangan sangsi.... Ingat: antara DIBERI dengan DIPINJAMI itu akan memunculkan karakter daya juang yang berbeda lho. Yang DIBERI cenderung bisa ngacir pergi, sedangkan yang DIPINJAMI akan berjuang sekuat tenaga agar tidak ditagih hingga ke ujung dunia !! Bisa "dosa" lho bila beroleh bea siswa tetapi tidak mengabdi kepada bangsa !!! (Hallo, ini adalah "pikiran sesat" yang tentu saja tak perlu diikuti. JIDOR !!)
"Cinta bukan bagaikan bea siswa yang setelah diterima kemudian
lupa dikembalikan dalam bentuk nyata pengabdian.
CINTA juga bukan seperti pinjaman yang tidak bisa dikembalikan
karena terlanda kemiskinan.
Sebab daripada yang diterima, cinta harus selalu lebih banyak yang dikembalikan"
CATATAN:
"Hampir sebagian besar biaya pendidikan saya adalah bea siswa, itu saya anggap sebagai utang dan mengabdi ke pelosok adalah cara saya membayar 'utang' itu kepada negara" kata Atina Handayani, 28 tahun, konsultan Gerakan Tanimbar Mengajar, Maluku Tenggara Barat, eks pengajar muda Program Indonesia Mengajar (Kompas 2 September 2017 halaman 15).
(Ikuti terus kemunculan MIKROKREDO berikutnya. Namun sesungguhnya ada kredo-perjuangan yang lebih seru di blog ini lho. Simak-kuak dalam entri-entri lain !!)
MIKROKREDO EDISI 03
GAIRAH EKONOMI SEPAKBOLA VS GELIAT EKONOMI PILKADA
DULU SAYA NEKAT BERPENDAPAT bahwa antara sepakbola dengan pilkada itu sama saja "manajemen penghamburan dananya"!! Pendukung kesebelasan saling berkonvoi sembari keras-keras mblayer sepeda motor Jepangnya dan membawa bendera lebar berkibar-kibar. Demikian pun para pendukung kontestan dalam helatan pilkada. Keduanya getol membelanjakan dana untuk: sablon kaos, cetak banner, sticker, bando, spanduk dan sejenisnya. Dulu begitu, sekarang begitu, kelak pun niscaya akan begitu selalu hingga anak-cucu. Prestasi sepakbola kita tetap Tanda Tanya sebetapapun dipanggil pelatih dari berbagai belahan benua. Demikian pula dengan pesta pilkada: akan begitu-begitu saja. Temanya senantiasa ingin memberantas kemiskinan (berarti dari dulu kemiskinan tidak pernah bisa ditendang dong?!). Tapi tak mengapa, sebab tetap bisa membikin rakyat sesaat bereuforia-bahagia: snack jadi laku, sound system disewa terus, cetak sablon laris manis, ekonomi kreatif melejit. Bahkan pemain bola pun bisa nyambi jualan jersey, Tantan Persib contohnya. Artinya jangan buru-buru bermimpi memiliki timnas yang mendunia. Sistem politik yang tercipta pun baru sebatas "SISTEM POLITIK di INDONESIA". Belum terbangun "SISTEM POLITIK INDONESIA" yang bikin segan dunia seperti Trias Politika !! (Hallo...ini adalah "pikiran sesat" saat itu. Supaya tidak makin tersesat, jangan baca MIKROKREDO lainnya ya yang termuat di blog: ekonancita.blogspot.com. JIDOR !!)
"Manuver cinta dan sepakbola itu sama. Yang berbeda adalah strategi dan prosesi ketika hendak menjebol gawangnya atau tujuannya. Sedangkan pilkada tak ubahnya seperti cinta pertama yang selalu bikin terpana: ditolak atau diterima !! Diksi GAIRAH dan GELIAT itu sesungguhnya milik CINTA. Sebab diksi dalam sepakbola adalah: tawuran, sedangkan pemilu/pilkada punya diksi tersendiri yaitu: janji-janji !!!!!!!!!!"
*EkoNanCita Temanggung
WA/SMS 081328747838
NB: Semoga Luis Milla bisa menghantar timnas meraih juara Sea Games 2017 dengan menekuk pasukan tuan rumah Malaysia (ini ramalan, dan ternyata meleset), kemudian kapan-kapan bisa ke kancah Asia dengan mengalahkan Jepang atau Arab Saudi (ini doa), seterusnya menginjak Piala Dunia dengan menekuk Brazil atawa Jerman (ini Mimpi).
*Jika benar timnas bertemu Malaysia di final, pastilah akan muncul euforia rasa nasionalisme yang membara. Gerakan Kerja Bersama-Merajut Bangsa pun akan seketika kompak tercipta. Tapi itu sesungguhnya adalah sejenis nasionalisme yang terbuhul setelah membuat bangsa lain kecewa lho. Bukankah warga Malaysia bakal dirundung kecewa masal karenanya? Seperti inikah yang disebut nasionalisme, Bu Guru? Sejatinya tafsir nasionalisme yang kekinian itu seperti apa to, Pak Guru? Sebenarnya agak ngeri juga ketika hendak menjelaskan kepada anak-anak bahwa nasionalisme itu seperti serdadu kita yang "berhasil" menembak mati Belanda atau membunuhi pasukan Jepang kala itu. Nasionalisme itu kiranya tidak harus berurusan dengan darah! Gimana bila tafsir nasionalisme kekinian itu adalah yang berkaitan dengan urusan PENCIPTAAN KARYA? Tapi contoh penciptaan karya itu apa saja ya, Bapak-Ibu Guru? Tentu saja hasil penciptaan karya yang sudah mendunia serta berdampak masif-sistemik dalam penggunaannya. Seperti penemuan "resources" 4 G misalnya yang bisa digunakan oleh segala usia warga dimana pun berada, dan setiap detik muncul eksistensinya. Lainnya apa lagi ya ?!!
MIKROKREDO Edisi 04
MIKROKREDO EDISI 03
DULU SAYA NEKAT BERPENDAPAT bahwa antara sepakbola dengan pilkada itu sama saja "manajemen penghamburan dananya"!! Pendukung kesebelasan saling berkonvoi sembari keras-keras mblayer sepeda motor Jepangnya dan membawa bendera lebar berkibar-kibar. Demikian pun para pendukung kontestan dalam helatan pilkada. Keduanya getol membelanjakan dana untuk: sablon kaos, cetak banner, sticker, bando, spanduk dan sejenisnya. Dulu begitu, sekarang begitu, kelak pun niscaya akan begitu selalu hingga anak-cucu. Prestasi sepakbola kita tetap Tanda Tanya sebetapapun dipanggil pelatih dari berbagai belahan benua. Demikian pula dengan pesta pilkada: akan begitu-begitu saja. Temanya senantiasa ingin memberantas kemiskinan (berarti dari dulu kemiskinan tidak pernah bisa ditendang dong?!). Tapi tak mengapa, sebab tetap bisa membikin rakyat sesaat bereuforia-bahagia: snack jadi laku, sound system disewa terus, cetak sablon laris manis, ekonomi kreatif melejit. Bahkan pemain bola pun bisa nyambi jualan jersey, Tantan Persib contohnya. Artinya jangan buru-buru bermimpi memiliki timnas yang mendunia. Sistem politik yang tercipta pun baru sebatas "SISTEM POLITIK di INDONESIA". Belum terbangun "SISTEM POLITIK INDONESIA" yang bikin segan dunia seperti Trias Politika !! (Hallo...ini adalah "pikiran sesat" saat itu. Supaya tidak makin tersesat, jangan baca MIKROKREDO lainnya ya yang termuat di blog: ekonancita.blogspot.com. JIDOR !!)
"Manuver cinta dan sepakbola itu sama. Yang berbeda adalah strategi dan prosesi ketika hendak menjebol gawangnya atau tujuannya. Sedangkan pilkada tak ubahnya seperti cinta pertama yang selalu bikin terpana: ditolak atau diterima !! Diksi GAIRAH dan GELIAT itu sesungguhnya milik CINTA. Sebab diksi dalam sepakbola adalah: tawuran, sedangkan pemilu/pilkada punya diksi tersendiri yaitu: janji-janji !!!!!!!!!!"
*EkoNanCita Temanggung
WA/SMS 081328747838
NB: Semoga Luis Milla bisa menghantar timnas meraih juara Sea Games 2017 dengan menekuk pasukan tuan rumah Malaysia (ini ramalan, dan ternyata meleset), kemudian kapan-kapan bisa ke kancah Asia dengan mengalahkan Jepang atau Arab Saudi (ini doa), seterusnya menginjak Piala Dunia dengan menekuk Brazil atawa Jerman (ini Mimpi).
*Jika benar timnas bertemu Malaysia di final, pastilah akan muncul euforia rasa nasionalisme yang membara. Gerakan Kerja Bersama-Merajut Bangsa pun akan seketika kompak tercipta. Tapi itu sesungguhnya adalah sejenis nasionalisme yang terbuhul setelah membuat bangsa lain kecewa lho. Bukankah warga Malaysia bakal dirundung kecewa masal karenanya? Seperti inikah yang disebut nasionalisme, Bu Guru? Sejatinya tafsir nasionalisme yang kekinian itu seperti apa to, Pak Guru? Sebenarnya agak ngeri juga ketika hendak menjelaskan kepada anak-anak bahwa nasionalisme itu seperti serdadu kita yang "berhasil" menembak mati Belanda atau membunuhi pasukan Jepang kala itu. Nasionalisme itu kiranya tidak harus berurusan dengan darah! Gimana bila tafsir nasionalisme kekinian itu adalah yang berkaitan dengan urusan PENCIPTAAN KARYA? Tapi contoh penciptaan karya itu apa saja ya, Bapak-Ibu Guru? Tentu saja hasil penciptaan karya yang sudah mendunia serta berdampak masif-sistemik dalam penggunaannya. Seperti penemuan "resources" 4 G misalnya yang bisa digunakan oleh segala usia warga dimana pun berada, dan setiap detik muncul eksistensinya. Lainnya apa lagi ya ?!!
MIKROKREDO Edisi 04
SEXYNYA POLITIK PRAKTIS dan APA KABAR ILMU
POLITIK
DULU SAYA NEKAD
BERPENDAPAT bahwa ilmu politik itu serupa keahlian tukang ramal yang modus pekerjaannya
sama, cuma “media penujumnya” berbeda.
Sedangkan politik praktis itu serupa perdagangan sapi, dimana yang
paling berperan di dalamnya adalah para blantik
semata. Seekor sapi bisa dihargai
berbeda bila di tangan blantik yang
lebih bermodal daripada lainnya. Politik
praktis juga sangat sexy, terbukti segala profesi bisa memasukinya dengan
kapabilitas yang beraneka intelegensianya (tanpa perlu diuji dengan buku
“Dasar-Dasar Ilmu Politik” atau “Jaring-Jaring Ilmu Pemerintahan” sekalipun). “Ilmu” politik sungguh terlalu baik hati,
sebab bersedia dipelajari oleh siapa saja bahkan sambil wedangan dan nongkrong di warung angkringan. Mahasiswa ilmu politik
yang sudah berbekal bermacam jurus-jurus methodologi dan ketajaman pisau-analisa
pun, dibuatnya melongo belaka. Apalagi
pada saat itu jabatan-jabatan politik hampir diraup oleh kalangan nonsipil semua.
Lalu kapankah ilmu politik akan mampu berkontribusi untuk melahirkan politisi
handal secara masif yang benar-benar punya ide dan nyali untuk menyerang
kemiskinan misalnya? Bukannya bernyali hanya ketika menyerang sesama politisi!!
Yeaaahhh, rupanya ilmu politik itu baru
nampak digdaya ketika terlihat melalui visualisasi kinerja para pengamat
politik. Dan juga via lembaga-lembaga survei yang mengeksis di tv-tv menjelang
pemilu atau pilkada saja. Dari tahun ke
tahun serupa tukang ramal lagi deh, cuma
media penujumnya bukan berupa asap kemenyan atau seperangkat jampi-jampi berdupa!!
“CINTA YANG
SEJATI akan selalu mampu memindai kedalaman keseksian seseorang. Seksi
pemikirannya, seksi gestur tubuhnya, overall
seksinya. Jika terdengar istilah ‘mencintai seseorang itu harus pakai politik’,
jelas di sini telah terjadi deviasi terminologi politik. Sebab akan berarti bahwa politik itu hanya
sebatas taktik atau strategi guna meraih tujuan individual semata. Padahal bila
menilik makna politik yang sesungguhnya semenjak zaman Yunani kuno dulu, politik itu
harus mengandung keluhuran budi demi kemaslahatan bersama. KEPADA YTH PARA POLITISI,
MOHON JANGAN TULARI CINTA DENGAN VIRUS INGKAR JANJI !!”
MIKROKREDO Edisi 05
ONE
MAN ONE VOTE vs SATU PARTAI BANYAK MANUVERNYA
DULU SAYA BERPENDAPAT bahwa
partai politik itu akan bisa berkontribusi signifikan bagi keutuhan bangsa
manakala memiliki “garis komando” yang kuat. Tetapi kini rasanya kok malah serasa terpecah-belah dan membingungkan.
Dua partai di Jakarta sana yang “saling berseberangan, bahkan seolah
bermusuhan, ibarat air dan minyak”, namun di daerah bisa jalan bareng. Lucu
jadinya ketika melihat segala militansi berpartai itu lalu membanci seketika,
setelah terjadi tawar-menawar kursi jabatan di daerah. Anda pernah dengar
keluhan seseorang begini: “ah males jadinya, partaiku kok berkoalisi
dengan partai itu?!!”
Misalnya untuk jabatan wakil bupati atau wakil gubernur. Tak terhitung energi
yang dibuang guna sowan sana sowan
sini, waduh….calon wakil yang telah
lama digadang-gadang jebul keduluan
digaet oleh cabup/cagub yang lain!! Selain
UU Pemilu yang mencenderungkan terjadinya aksi demikian, rupanya hal itu juga
disebabkan oleh efek ONE MAN ONE VOTE. Siapapun Anda entah bergelar S3 atau es
cendol sekalipun, suara politik Anda akan dihitung satu saja!! MENDULANG SUARA,
itulah kalkulator pilitiknya. Padahal setelah kepilih, kinerja sang wakil itu
kadang nggak eksis juga. Maka lazim
belaka bila kemudian pada pemilu berikutnya, membangun kubu sendiri (Menurut
data Kemendagri: hanya 5 % kepala daerah yang tetap akur dengan wakilnya hingga
akhir masa jabatan).
Gemas rasanya melihat “politik ubyang-ubyung” (manuver sowan sana-sowan
sini), terkesan betapa lambannya untuk menentukan “siapa calon wakil presiden”
di Jakarta sana. Kok pihak stasiun televisi nggak eman-eman ya membuang pulsa
untuk menelepon pengamat politik yang berapi-api teoritik menganalisa? Kok juga nggak eman-eman daya listrik dibuang
buat menghidupkan kamera yang nge-zoom
in dan zoom out para narasumber
pada talkshow politik macam begitu? Sungguh,
saya tak pernah nonton sinetron. Tetapi
kok tiba-tiba merasa seru juga ketika mengikuti persaingan “gestur kearifan
lokal dengan gestur dan diksi milenial” antara Si Gendis-Inyong versus Si Tuti-Bingits dalam memperebutkan
perhatian dari Alex dalam sinetron DUNIA TERBALIK. Sungguh, saya menyimak sinetron ini mulai dari
episode 798, telat banget ya?!! Terhibur juga sih, meskipun ada beberapa scene yang lebay. Gawat nih jika nanti
lama-lama bosan juga menonton sinetron ini, mau nonton talkshow politik lagi?
“CINTA
PILIHAN bisa terbangun dari dua jiwa yang patah. Bisa pula tersusun dari dua jiwa yang semula
merdeka. Dan setelah saling bersedia menyatu, kemudian menjadi sadar ternyata keduanya
sama-sama terbelenggu. Meskipun terdiri dari yang serba dua, cinta tidak lantas
gampang men-dua, sebab bila demikian akan cenderung bisa me-niga, meng-empat,
dst. CINTA BISA PULA SERUPA AIR PAM. Jika
arus di bagian hulu deras, setelah mengalir melalui ‘pipa-pipa kesetiaan’, maka ketika sampai kran-kran di hilir
pun akan tetap berarus deras. Namun jika arus di hilir ternyata hanya sebesar
jarum, berarti pipa-pipa pengalirnya sedang tidak setia. Padahal para pelanggan
sudah rutin memberikan kasih sayang berupa pembayaran rekening tagihan air
setiap bulan!!”
*Saya tulis seusai
menemani istri mencuci baju
MIKROKREDO Edisi 06
KEBANGGAAN
SEKOLAH KEPADA ALUMNINYA vs NASIB ALUMNI YANG TIDAK MEMBANGGAKAN
DULU SAYA PERNAH BERPENDAPAT
betapa akan menjadi ikon kejujuran
fenomenal jika ada sebuah sekolah “berani”
mendata alumninya yang terlibat korupsi. Didata berapa milyar jumlah uang yang
dikorupsi lengkap dengan jabatannya sebagai apa, dst. Dan dulu semasih sekolah
aktif di bidang apa: basket, lomba
cerdas-cermat, kepengurusan OSIS, dll? Juga disebutkan jumlah dana yang
telah ia sumbangkan kepada almamaternya: untuk
membangun lapangan upacara, memberi bea
siswa atau merenovasi mushola sekolah? Selama
ini BUKU TAHUNAN yang diterbitkan atau REUNI AKBAR yang diselenggarakan, melulu
berisi alumni yang jadi jendral, jadi gubernur, jadi ilmuwan, jadi usahawan
atau jadi artis kondang. Padahal Bapak/Ibu Guru sekolah
tersebut tentu tahu jika ada mantan siswa atau siswinya
yang SENYAM-SENYUM di televisi ketika ditangkap KPK!!
Juga
akan menjadi IKON KEJUJURAN yang luar biasa jika ada sekolah yang berani
mendata: ada berapa mantan siswa yang dipenjara karena kasus kriminal, juragan togel,
bandar narkoba atau tindakan makar, sudah berapa pula siswinya yang hamil
sebelum tamat sekolah, dst. Mereka semua kan pernah “menuntut ilmu” di sekolahnya??!!
Tetapi rasanya pendataan
semacam itu tidak mungkin dilakukan ya, sebetapapun hal tersebut adalah fakta. Sebab
“kejujuran otentik” akan sulit dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang harus
selalu mem-branding diri atau jual
kecap demi nama baik serta nasib eksistensinya ke depan. Walhasil, semua stakeholder akan terseret di dalamnya
untuk memanis-maniskan lembaganya. Jika data-data hitam itu diungkap, bisa-bisa
tahun depan tidak akan ada siswa yang mendaftar!! Jadi, sebuah sekolah hanya akan
selalu membanggakan alumninya yang berhasil menjadi orang!! Sedangkan alumni yang tidak membanggakan,
terpaksa disembunyikan dari almari etalase sekolah yang penuh berisi piala-piala
besar dari beragam kejuaraan!! Apakah
sesungguhnya ini adalah serupa kebohongan berjamaah?
(“Aku cinta padamu, sungguh!!” Nah,
kalau yang ini jelas pernyataan yang berasal dari amanat kejujuran. Datangnya
pun tak terduga. Ia hadir ke dalam ‘kamar-kamar intim perasaan’. Sedangkan kebohongan selalu direkayasa dari ‘laboratorium-laboratorium
sangar pikiran’. Cinta tetap bisa dirasakan meskipun tidak kesampaian atau ditolak
sekalipun. Dan jikapun terpaksa terpendam, suatu saat ia akan hadir berupa
larik puisi atau notasi lagu. Bilapun harus hancur akan seperti lilin, tubuhnya
pelahan musnah sendiri setelah bertugas menerangi. Sedangkan kebohongan
berjamaah yang dilakukan oleh sebuah lembaga akan bisa melibas lembaga lain
yang sejenis dan merupakan pesaingnya. Lebih-lebih dalam dunia usaha: dari
kelas mie ayam hingga yang sudah berlabel unicorn
sekalipun. Kemudian akan lahirlah ketamakan berpilin-pilin yang tidak
berkesudahan, padahal mereka juga pernah “menuntut ilmu tentang kebajikan” di sekolahan!!!).
*MIKROKREDO edisi 07 rencananya berjudul: STRAIGHT
POLITICS VS STAIRS POLITICS. Tidak hanya Plato dan Machiavelli yang berbeda pendapat saat membuat tafsir
politik. Sesungguhnya kita pun bisa menyusun tafsir sendiri-sendiri tentang
politik!!
MIKROKREDO Edisi
07
STAIRS POLITICS VS STRAIGHT POLITICS
DULU SAYA SUKA BERPIKIR bahwa mereka yang terjun ke dunia politik dengan
mencalonkan diri sebagai caleg (calon legislatif) maupun calek (calon
eksekutif) adalah orang-orang hebat. Mereka
relakan dananya dengan tujuan untuk menyejahterakan warga. Selain ada yang disetorkan
kepada partai, juga untuk membeli spanduk, kaos, umbul-umbul, banner yang
bergambar dirinya dan dipasang di sepanjang jalan agar bisa dilihat
orang-orang. Termasuk menyewa panggung kampanye tempat penyanyi bergoyang-goyang.
Uang mereka tentu banyak. Namun cita-cita hebat untuk menyejahterakan rakyat
itu tidak serta merta menjadi nyata. Butuh waktu dan “tangga-tangga” untuk
mewujudkannya. Ropat-rapat dulu, ubyang-ubyung study banding dulu,
pidato-pidato dulu, dst. “Tangga-tangga” itu juga harus dilewati terlebih
dahulu ketika masih dalam proses pencalonan. Dua buah tangga tinggi sekali dan butuh dana
besar yang harus didaki sebelum mewujudkan bakti kepada negeri. Dan ketika
pelantikan, harus disumpah dengan kitab suci lagi. Itulah STAIRS POLITICS!!
Berbeda dengan STRAIGHT POLITICS. Seseorang yang ingin berbakti kepada warga
bangsanya, ia bisa LANGSUNG mewujudkannya. Diam-diam. Tiada kerakusan yang mengaliri
kanal-kanal syaraf di kepalanya. Tanpa perlu
hirarki dan seremonia nan gegap-gempita. Ia membagikan DANA serta GAGASAN
KEMASYARAKATAN tanpa mengharap pengembalian berupa pujian. Tulus mengabdi tanpa
basa-basi. Tidak harus berfoto dengan mengenakan peci-santri kemudian dipasang
di pinggir-pinggir jalan. Apalagi foto dengan
paras yang tersenyum itu dihasilkan dengan memaksa tukang foto. Dipaksa
memotret berulang-ulang agar bisa dihasilkan foto senyuman yang paling
menawan!! Bagi mereka yang berkredo straight politics ini, politik tidak
identik dengan perebutan kursi kekuasaan. Politik itu adalah cara untuk
mengajak sejahtera dan bahagia kepada satu, dua orang se RT, se kelurahan atau se kecamatan dan seterusnya. Tidak dengan memancing perseteruan dan ujaran
kebencian. Tanpa harus disertai penyematan tugas jabatan di pundaknya. Panggilan
tugas itu sudah sangat melekat di hati serta jiwanya sebagai pengejawantahan
ketuhanan.
Nah, bagi mereka yang kalah dalam
kancah perebutan sebagai CALEG atau CALEK, maukah mengubah SYAHWAT STAIRS
POLITICSNYA-nya menjadi SEMANGAT STRAIGHT POLITICS? Jangan malah meminta
kembali seperangkat sound system yang
telah diberikan kepada warga demi mengijon suara. Padahal warga sudah terlanjur
getol latihan paduan suara. Atau malah ngumpet untuk muncul 5 tahun lagi dengan
kembali berfoto peci-santri disertai gaya dan senyuman lebih palsu lagi??!! Setiap manusia adalah zoon politicon, sehingga dalam mendefinisikan politik sering tidak sama. Mungkin hingga kini Socrates
dan Machiavelli pun tetap
berseberangan pandangan tentang politik dalam “forum akademia” di alam barzah Sana.
(Berbeda dengan politik, CINTA harus ditempuh dengan satu cara yaitu
melalui bertangga-tangga. Pertama-tama
mengenal si dia. Kemudian membawakan coklat, buah-buahan atau aneka mainan buat adik-adiknya. Untuk mengambil hati calon
mertua, diperlukan lobi-lobi tingkat tinggi.
Bisa diajak main catur dengan langkah bidak-bidak yang sengaja mengalah.
Atau pura-pura serius mendengarkan kisah perjuangan hidup calon mertua,
meskipun sesungguhnya membosankan. Bergaya antusias dan sepaham jika diajak
ngobrolin tentang banyak hal, padahal berlainan sudut pandang. Merebut cinta butuh strategi juga,
demikian pun ketika kemudian harus merawatnya).
Catatan:
*Machiavelli= Politik
itu cara meraih kekuasaan dengan berbagai cara.
*Socrates= Politik itu seni yang
mengandung kesantunan.
*********************************************************************
MIKROKREDO Edisi 08
LIBERASI COPYPASTE VS LITERASI DIGITAL
DULU SAYA TIDAK
MEMBAYANGKAN bahwa kegiatan menyontek itu akan semudah dan setanpadosa
sekarang. Bahkan bisa jadi justru mendatangkan pahala. Yaitu sepanjang yang
dicontek dan disebarkan itu perkara kebaikan yang menghibur dan menambah
wawasan. Namun suatu ketika sempat kaget juga ketika mendapati sebuah akun yg
memposting karya penulis terkenal. Tetapi
diakui seolah merupakan karya pemilik akun. Akun ini sangat aktif “berkarya” dengan
membajak karya orang lain. Follower-nya yang banyak kok ya diam saja. Malah kagum (nge-like)
“buah karya” palsu pemilik akun itu. Terjadilah tidak paham berjamaah!! Meng-copypaste kini memang bebas dan mudah.
Tinggal klik, dan berharap teman yang di sana akan ketawa-ketiwi dengan materi
yang diposting. Namun “jebul” diam saja. Ternyata sang teman sudah lebih dulu
tahu dari grup yang lain. Terjadilah tabrakan copypaste!! Garing deh....
Tidak akan ada
kekuatan yang mampu menghentikan budaya copypaste
ini. Yang ada adalah tekad untuk mengendalikan. Yakni berupa kesadaran bahwa
selain tangan, kaki dan lainnya, kita juga diberi organ berupa bongkahan otak. Melalui
aktifasi otak itulah kita bisa jeda sejenak dari hasrat ber-copy paste. Yaitu dengan mengolah diksi
atau ujaran yang murni hasil “pemikiran” otak kita. Sehingga produk digital itu
bisa kita tempeli dengan karya literasi. Sedikit kata saja juga nggak apa-apa. Misalkan
kita sedang berteduh di suatu tempat karena hujan. Teks yang kita terakan dalam
foto jangan hanya DI SINI HUJAN, kemudian di-posting. Tetapi lengkapi dulu menjadi DI SINI HUJAN, JUGA
MENGHUJANI HATIKU YANG KEPENGIN RINDU!! Kiranya inilah Literasi Digital itu. Atau kita sedang berpose pada sebuah taman,
literasi digitalnya bisa berbunyi: DI ANTARA BUNGA-BUNGA, MEMANDANG
KUNTUM-KUNTUM MASA DEPAN KITA!!
Sesungguhnya antara
copypaste atau bukan copypaste, baik-baik saja kok.
Kedua-duanya akan nglarisi penjual
data internet. Para produsen pemilik
kartu simcard pun akan senang-senang saja. Tak peduli apa yang kita
posting. Harapan mereka: boros-boroslah
bermedsos biar berkali-kali kuota data cepat habis!! Penjual data di lapak itu pun sedang kredit
motor. Jika dagangan kuota internetnya laris, hitung-hitung membantu dia agar motornya tidak
ditarik leasing. Jadi jika ada
seorang ibu yang mem-posting :“Nak, di sini cuaca lagi mendung lho, gimana
dengan di kotamu?” atau “Sedang masak
apa kamu hari ini?”. Postingan remeh-temeh kayak gini akan tetap membantu
pertumbuhan ekonomi juga lho. Namun
marilah sejenak kita rawat karunia berupa otak kita dengan senantiasa
memberdayakannya. Salah satunya dengan
membubuhkan teks-teks literasi dalam karya digital kita. Boleh puitis, bisa
pula bercanda. Seperti dalam foto-foto terlampir. Hasil reuni bersama teman-teman
se angkatan di Balkondes Magelang, Taman Bunga Celosia Bandungan, di Wujil
Resort Ungaran, di Stasiun Kereta Api Ambarawa dan di Kampus Undip Semarang beberapa waktu yang lalu.
(CINTA. Apakah cinta yang kita miliki ini adalah copypaste kisah Adam+Hawa, Romeo+Juliet,
Mark Antony+Cleopatra, Oddyseus+Penelope, Shah Jahan+Mumtaz Mahal, Galih+Ratna,
Rangga+Cinta, Sampek+Engtay, Jayaprana+Layonsari, Panji Asmorobangun+Dewi
Candrakirana? Ribuan lembar karya literasi telah diciptakan oleh kisah-kisah
cinta nan melegenda itu. Apakah kisah cinta kita akan layak untuk di-copypaste oleh anak-cucu?)
____________________________________________________
MIKROKREDO edisi 09
GENERASI CHASING VS GENERASI KONTEN
Buku kenangan SMP dan SMA ini karya generasi kini, yang SMA terbit Mei 2019. Di berbagai sekolah juga membuatnya dengan bentuk yang serupa. Segi
visualnya memang bagus. Full colour
dengan hardcover nan megah. Namun teks literasinya sangat simpel. Hanya memuat NAMA dan secuplik data.
Kita maklumi, sebab budaya baca memang masih berada dalam
tataran wacana dan narasi. Dan mencenderungkan para peserta didik lebih
berorientasi kepada chasing-kebendaan (materialisme). Belum kepada konten-transendental
(religiositas). Di balik itu kiranya ini adalah
keberuntungan zaman. Digitalisasi sangat
berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi kreatif. Juga perkembangan desain grafis. Didukung oleh segenap perangkat teknologinya
yang kebanyakan berasal dari
luar negeri. Salah satunya KAMERA DIGITAL. Dalam
konteks itulah tampaknya akan
ciamik jika trend tersebut didampingi dengan KAMERA KATA-KATA. Tidak
saja dalam rangka pembuatan buku kenangan, namun juga untuk merespon segenap
fenomena. KAMERA KATA-KATA itu pernah
saya pakai untuk memotret TEMAN-TEMAN SMA yang
terbit MEI 1982, seperti terlampir. Setelah
kulineran, fashion, nyalon dan spa, mari kita ajak anak-anak ke perpustakaan
atau toko buku. Kalau nggak ada waktu,
baca e book di HP juga boleh. NJO, kita kembangkan budaya literasi, sambil
merawat keseimbangan kinerja OTAK KANAN dan OTAK KIRI generasi. Giat membaca,
sambil tetap berteknologi. Agar lahir ide-ide yang humanis!!
(CINTA yang dipotret dengan
kamera digital memang tampak indah. Seindah apapun hasilnya tetaplah
membutuhkan kata-kata untuk memperjelas penandanya. Boleh saja bila ada yang
berpendapat bahwa cinta tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Tetapi
bilamana sudah sampai pada episode: Will you marry me?, akankah diam saja? Kemudian ketika dalam perkawinan sang
pasangan ternyata diam-diam mendua, juga akankah membisu kata: mbengok dong!! Sesungguhnya cinta tak bisa dipisahkan dari
kata-kata. Bahkan ada yang sampai merasa
kehabisan kata-kata, sebab begitu indahnya cinta.....)
___________________________________________________________
**********************************************************************
Komentar
Posting Komentar