MIKROKREDO








MIKROKREDO Edisi 01 
(Ini adalah RUBRIK BARU tentang "pikiran-pikiran sesat" kala itu saat geliat idealisme tumbuh di
 jiwa.  Selain FOTO-FOTO lama, akan bagus kiranya jika kita kenang pula OPINI-OPINI lama)

MOTIVATOR VS GLADIATOR
DULU SAYA NEKAT BERPENDAPAT bahwa bila hanya berpikir positif itu sebenarnya mengandung kelemahan. "Apapun yang menimpa, berpikirlah positif," begitu advis yang lazim terlontar dari para motivator.  Saya kok merasa bahwa dalam berpikir positif itu justru terkandung suatu kepasrahan yang bisa-bisa tidak produktif guna mengeksekusi problema yang mendera.  Bagaimana jika kebiasaan hanya BERPIKIR POSITIF itu kita tambahi atau bahkan ganti saja dengan BERPIKIR AKURAT?  Di dalam berpikir akurat terkandung STRATEGI, TAKTIK dan AKSI USAHA yang takkan pernah berhenti.  Lha wong sudah berpikir akurat saja kadang masih meleset apalagi hanya berpikir positif yang cenderung menyebabkan munculnya sikap pasrah, mellow, manja dan menye-menye. Kalau cara berpikir positif itu anjuran para MOTIVATOR, maka cara berpikir akurat adalah kebiasaan yang dilakukan oleh para GLADIATOR !! (Hallo, ini adalah "pikiran sesat" yang tentu saja tak perlu diikuti).  

"Pikiran memang bisa liar, gerakannya melebihi belitan ular. 
Pikiran akan menjadi tenang manakala ditemani CINTA yang tak berkesudahan. 
Sedangkan cinta sesaat serupa bisa ular yang mematikan"  

(*EkoNanCita WA/sms 081328747838/FB:Nancita Baru Temanggung)

(MIKROKREDO edisi 2 berikutnya: BEA SISWA DAN PINJAMAN FUTURISTIK. Mohon ditunggu kemunculannya ya.  Tapi bagi yang dolan ke NanCita langsung bisa dikonfirmasi, didebat dan didiskusi hingga habis kata-kata seperti biasanya !!  Atau meluncurlah ke blog: ekonancita.blogspot.com.  Ada kisah seru di sana.  MIKROKREDO juga akan dikumpulkan di blog itu juga.  Blog rupa-rupa tema !!!)

MIKROKREDO Edisi 02  

BEA SISWA VS PINJAMAN FUTURUSTIK 
DULU SAYA NEKAT BERPENDAPAT bahwa penerima bea siswa itu adalah mahasiswa pilihan negara dan diharuskan berbakti kepada negeri. Jika kemudian ternyata ada yang lebih sibuk memperkaya diri, mungkin dana yang diterimanya itu dianggapnya bukanlah bea siswa, namun adalah "sedekah dari negara". Teringat saat seorang teman yang mendapat bea siswa lalu mengajak makan-makan, ketika itu batin saya terguncang: lho kok gitu?!!!  Saya berpikir: bagi yang tidak bisa memperoleh bea siswa, dan kelompok ini lebih banyak, bagaimana jika diberi pinjaman dana? Tentu hanya bagi yang punya ide kreatif-aplikatif, meskipun IP-nya ya ampuuuun... Pemerintah mungkin ngeri ya dananya bakal tak kembali?  Tapi lha wong yang menerima bea siswa saja belum tentu akan mengabdi, jadi seharusnya pemerintah jangan sangsi.... Ingat: antara DIBERI  dengan DIPINJAMI itu akan memunculkan karakter daya juang yang berbeda lho. Yang DIBERI cenderung bisa ngacir pergi, sedangkan yang DIPINJAMI akan berjuang sekuat tenaga agar tidak ditagih hingga ke ujung dunia !!  Bisa "dosa" lho bila beroleh bea siswa tetapi tidak mengabdi kepada bangsa !!! (Hallo, ini adalah "pikiran sesat" yang tentu saja tak perlu diikuti.  JIDOR !!

"Cinta bukan bagaikan bea siswa yang setelah diterima kemudian 
lupa dikembalikan dalam bentuk nyata pengabdian. 
CINTA juga bukan seperti pinjaman yang tidak bisa dikembalikan 
karena terlanda kemiskinan. 
Sebab daripada yang diterima, cinta harus selalu lebih banyak yang dikembalikan"  

CATATAN: 
"Hampir sebagian besar biaya pendidikan saya adalah bea siswa, itu saya anggap sebagai utang dan mengabdi ke pelosok adalah cara saya membayar 'utang' itu kepada negara" kata Atina Handayani, 28 tahun, konsultan Gerakan Tanimbar Mengajar, Maluku Tenggara Barat, eks pengajar muda Program Indonesia Mengajar (Kompas 2 September 2017 halaman 15).

(Ikuti terus kemunculan MIKROKREDO berikutnya.  Namun sesungguhnya ada kredo-perjuangan yang lebih seru di blog ini lho.  Simak-kuak dalam entri-entri lain !!)

MIKROKREDO EDISI 03 
 

GAIRAH EKONOMI SEPAKBOLA VS GELIAT EKONOMI PILKADA 
DULU SAYA NEKAT BERPENDAPAT bahwa antara sepakbola dengan pilkada itu sama saja "manajemen penghamburan dananya"!! Pendukung kesebelasan saling berkonvoi sembari keras-keras mblayer sepeda motor Jepangnya dan membawa bendera lebar berkibar-kibar. Demikian pun para pendukung kontestan dalam helatan pilkada. Keduanya getol membelanjakan dana untuk: sablon kaos, cetak banner, sticker, bando, spanduk dan sejenisnya. Dulu begitu, sekarang begitu, kelak pun niscaya akan begitu selalu hingga anak-cucu. Prestasi sepakbola kita tetap Tanda Tanya sebetapapun dipanggil pelatih dari berbagai belahan benua. Demikian pula dengan pesta pilkada: akan begitu-begitu saja. Temanya senantiasa ingin memberantas kemiskinan (berarti dari dulu kemiskinan tidak pernah bisa ditendang dong?!). Tapi tak mengapa, sebab tetap bisa membikin rakyat sesaat bereuforia-bahagia: snack jadi laku, sound system disewa terus, cetak sablon laris manis, ekonomi kreatif melejit. Bahkan pemain bola pun bisa nyambi jualan jersey, Tantan Persib contohnya. Artinya jangan buru-buru bermimpi memiliki timnas yang mendunia. Sistem politik yang tercipta pun baru sebatas "SISTEM POLITIK di INDONESIA". Belum terbangun "SISTEM POLITIK INDONESIA" yang bikin segan dunia seperti Trias Politika !! (Hallo...ini adalah "pikiran sesat" saat itu. Supaya tidak makin tersesat, jangan baca MIKROKREDO lainnya ya yang termuat di blog: ekonancita.blogspot.com. JIDOR !!) 

"Manuver cinta dan sepakbola itu sama.  Yang berbeda adalah strategi dan prosesi ketika hendak menjebol gawangnya atau tujuannya.  Sedangkan pilkada tak ubahnya seperti cinta pertama yang selalu bikin terpana: ditolak atau diterima !! Diksi GAIRAH dan GELIAT itu sesungguhnya milik CINTA.  Sebab diksi dalam sepakbola adalah: tawuran, sedangkan pemilu/pilkada punya diksi tersendiri yaitu: janji-janji !!!!!!!!!!" 

                                                                                                             *EkoNanCita Temanggung 
                                                                                                               WA/SMS 081328747838 

NB: Semoga Luis Milla bisa menghantar timnas meraih juara Sea Games 2017 dengan menekuk pasukan tuan rumah Malaysia (ini ramalan, dan ternyata meleset), kemudian kapan-kapan bisa ke kancah Asia dengan mengalahkan Jepang atau Arab Saudi (ini doa), seterusnya menginjak Piala Dunia dengan menekuk Brazil atawa Jerman (ini Mimpi).

*Jika benar timnas bertemu Malaysia di final, pastilah akan muncul euforia rasa nasionalisme yang membara.  Gerakan Kerja Bersama-Merajut Bangsa pun akan seketika kompak tercipta. Tapi itu sesungguhnya adalah sejenis nasionalisme yang terbuhul setelah membuat bangsa lain kecewa lho. Bukankah warga Malaysia bakal dirundung kecewa masal karenanya? Seperti inikah yang disebut nasionalisme, Bu Guru? Sejatinya tafsir nasionalisme yang kekinian itu seperti apa to, Pak Guru? Sebenarnya agak ngeri juga ketika hendak menjelaskan kepada anak-anak bahwa nasionalisme itu seperti serdadu kita yang "berhasil" menembak mati Belanda atau membunuhi pasukan Jepang kala itu.  Nasionalisme itu kiranya tidak harus berurusan dengan darah!  Gimana bila tafsir nasionalisme kekinian itu adalah yang berkaitan dengan urusan PENCIPTAAN KARYA?  Tapi contoh penciptaan karya itu apa saja ya, Bapak-Ibu Guru?  Tentu saja hasil penciptaan karya yang sudah mendunia serta berdampak masif-sistemik dalam penggunaannya.  Seperti penemuan "resources" 4 G misalnya yang bisa digunakan oleh segala usia warga dimana pun  berada, dan setiap detik muncul eksistensinya. Lainnya apa lagi ya ?!!


MIKROKREDO Edisi 04        

SEXYNYA POLITIK PRAKTIS dan APA KABAR ILMU POLITIK

DULU SAYA NEKAD BERPENDAPAT bahwa ilmu politik itu serupa keahlian tukang ramal yang modus pekerjaannya sama, cuma “media penujumnya” berbeda.  Sedangkan politik praktis itu serupa perdagangan sapi, dimana yang paling berperan di dalamnya adalah para blantik semata.  Seekor sapi bisa dihargai berbeda bila di tangan blantik yang lebih bermodal daripada lainnya.  Politik praktis juga sangat sexy, terbukti segala profesi bisa memasukinya dengan kapabilitas yang beraneka intelegensianya (tanpa perlu diuji dengan buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” atau “Jaring-Jaring Ilmu Pemerintahan” sekalipun).  “Ilmu” politik sungguh terlalu baik hati, sebab bersedia dipelajari oleh siapa saja bahkan sambil wedangan dan nongkrong di warung angkringan. Mahasiswa ilmu politik yang sudah berbekal bermacam jurus-jurus methodologi dan ketajaman pisau-analisa pun, dibuatnya melongo belaka.  Apalagi pada saat itu jabatan-jabatan politik hampir diraup oleh kalangan nonsipil semua. Lalu kapankah ilmu politik akan mampu berkontribusi untuk melahirkan politisi handal secara masif yang benar-benar punya ide dan nyali untuk menyerang kemiskinan misalnya? Bukannya bernyali hanya ketika menyerang sesama politisi!! Yeaaahhh, rupanya ilmu politik itu baru nampak digdaya ketika terlihat melalui visualisasi kinerja para pengamat politik. Dan juga via lembaga-lembaga survei yang mengeksis di tv-tv menjelang pemilu atau pilkada saja.  Dari tahun ke tahun serupa tukang ramal lagi deh, cuma media penujumnya bukan berupa asap kemenyan atau seperangkat jampi-jampi berdupa!!

“CINTA YANG SEJATI akan selalu mampu memindai kedalaman keseksian seseorang. Seksi pemikirannya, seksi gestur tubuhnya, overall seksinya. Jika terdengar istilah ‘mencintai seseorang itu harus pakai politik’, jelas di sini telah terjadi deviasi terminologi politik.  Sebab akan berarti bahwa politik itu hanya sebatas taktik atau strategi guna meraih tujuan individual semata. Padahal bila menilik makna politik yang sesungguhnya semenjak zaman Yunani kuno dulu, politik itu harus mengandung keluhuran budi demi kemaslahatan bersama. KEPADA YTH PARA POLITISI, MOHON JANGAN TULARI CINTA DENGAN VIRUS INGKAR JANJI !!”  


MIKROKREDO Edisi 05 

ONE MAN ONE VOTE vs SATU PARTAI BANYAK MANUVERNYA    

      DULU SAYA BERPENDAPAT  bahwa partai politik itu akan bisa berkontribusi signifikan bagi keutuhan bangsa manakala memiliki “garis komando” yang kuat. Tetapi kini  rasanya kok malah serasa terpecah-belah dan membingungkan. Dua partai di Jakarta sana yang “saling berseberangan, bahkan seolah bermusuhan, ibarat air dan minyak”, namun di daerah bisa jalan bareng. Lucu jadinya ketika melihat segala militansi berpartai itu lalu membanci seketika, setelah terjadi tawar-menawar kursi jabatan di daerah. Anda pernah dengar keluhan seseorang begini: “ah males jadinya, partaiku kok berkoalisi dengan partai itu?!!”  
      Misalnya untuk jabatan wakil bupati atau wakil gubernur. Tak terhitung energi yang dibuang guna sowan sana sowan sini, waduh….calon wakil yang telah lama digadang-gadang jebul keduluan digaet oleh cabup/cagub yang lain!!  Selain UU Pemilu yang mencenderungkan terjadinya aksi demikian, rupanya hal itu juga disebabkan oleh efek ONE MAN ONE VOTE. Siapapun Anda entah bergelar S3 atau es cendol sekalipun, suara politik Anda akan dihitung satu saja!! MENDULANG SUARA, itulah kalkulator pilitiknya. Padahal setelah kepilih, kinerja sang wakil itu kadang nggak eksis juga.  Maka lazim belaka bila kemudian pada pemilu berikutnya, membangun kubu sendiri (Menurut data Kemendagri: hanya 5 % kepala daerah yang tetap akur dengan wakilnya hingga akhir masa jabatan). 
     Gemas rasanya melihat “politik ubyang-ubyung” (manuver sowan sana-sowan sini), terkesan betapa lambannya untuk menentukan “siapa calon wakil presiden” di Jakarta sana. Kok pihak stasiun televisi nggak eman-eman ya membuang pulsa untuk menelepon pengamat politik yang berapi-api teoritik menganalisa?  Kok juga nggak eman-eman daya listrik dibuang buat menghidupkan kamera yang nge-zoom in dan zoom out para narasumber pada talkshow politik macam begitu? Sungguh, saya tak pernah nonton sinetron.  Tetapi kok tiba-tiba merasa seru juga ketika mengikuti persaingan “gestur kearifan lokal dengan gestur dan diksi milenial” antara Si Gendis-Inyong versus Si Tuti-Bingits dalam memperebutkan perhatian dari Alex dalam sinetron DUNIA TERBALIK.  Sungguh, saya menyimak sinetron ini mulai dari episode 798, telat banget ya?!! Terhibur juga sih, meskipun ada beberapa scene yang lebay. Gawat nih jika nanti lama-lama bosan juga menonton sinetron ini, mau nonton talkshow politik  lagi?

“CINTA PILIHAN bisa terbangun dari dua jiwa yang patah.  Bisa pula tersusun dari dua jiwa yang semula merdeka. Dan setelah saling bersedia menyatu, kemudian menjadi sadar ternyata keduanya sama-sama terbelenggu. Meskipun terdiri dari yang serba dua, cinta tidak lantas gampang men-dua, sebab bila demikian akan cenderung bisa me-niga, meng-empat, dst. CINTA BISA PULA SERUPA AIR PAM.  Jika arus di bagian hulu deras, setelah mengalir melalui ‘pipa-pipa  kesetiaan’, maka ketika sampai kran-kran di hilir pun akan tetap berarus deras. Namun jika arus di hilir ternyata hanya sebesar jarum, berarti pipa-pipa pengalirnya sedang tidak setia. Padahal para pelanggan sudah rutin memberikan kasih sayang berupa pembayaran rekening tagihan air setiap bulan!!” 

*Saya tulis seusai menemani istri mencuci baju
                                   di pancuran mbelik Brojolan Timur Temanggung Kota   



MIKROKREDO Edisi 06          

KEBANGGAAN SEKOLAH KEPADA ALUMNINYA vs NASIB ALUMNI YANG TIDAK MEMBANGGAKAN

          DULU SAYA PERNAH BERPENDAPAT betapa akan menjadi ikon kejujuran fenomenal jika ada sebuah sekolah “berani” mendata alumninya yang terlibat korupsi. Didata berapa milyar jumlah uang yang dikorupsi lengkap dengan jabatannya sebagai apa, dst. Dan dulu semasih sekolah aktif di bidang apa: basket, lomba cerdas-cermat, kepengurusan OSIS, dll? Juga disebutkan jumlah dana yang telah ia sumbangkan kepada almamaternya: untuk membangun  lapangan upacara, memberi bea siswa atau merenovasi mushola sekolah?  Selama ini BUKU TAHUNAN yang diterbitkan atau REUNI AKBAR yang diselenggarakan, melulu berisi alumni yang jadi jendral, jadi gubernur, jadi ilmuwan, jadi usahawan atau jadi artis kondang. Padahal Bapak/Ibu Guru sekolah tersebut tentu tahu jika ada mantan siswa atau siswinya yang SENYAM-SENYUM di televisi ketika ditangkap KPK!!
         Juga akan menjadi IKON KEJUJURAN yang luar biasa jika ada sekolah yang berani mendata: ada berapa mantan siswa yang dipenjara karena kasus kriminal, juragan togel, bandar narkoba atau tindakan makar, sudah berapa pula siswinya yang hamil sebelum tamat sekolah, dst. Mereka semua kan pernah “menuntut ilmu” di sekolahnya??!!
        Tetapi rasanya pendataan semacam itu tidak mungkin dilakukan ya, sebetapapun hal tersebut adalah fakta. Sebab “kejujuran otentik” akan sulit dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang harus selalu mem-branding diri atau jual kecap demi nama baik serta nasib eksistensinya ke depan. Walhasil, semua stakeholder akan terseret di dalamnya untuk memanis-maniskan lembaganya. Jika data-data hitam itu diungkap, bisa-bisa tahun depan tidak akan ada siswa yang mendaftar!! Jadi, sebuah sekolah hanya akan selalu membanggakan alumninya yang berhasil  menjadi orang!!  Sedangkan alumni yang tidak membanggakan, terpaksa disembunyikan dari almari etalase sekolah yang penuh berisi piala-piala besar dari beragam kejuaraan!!  Apakah sesungguhnya ini adalah serupa kebohongan berjamaah?  

(“Aku cinta padamu, sungguh!!”  Nah, kalau yang ini jelas pernyataan yang berasal dari amanat kejujuran. Datangnya pun tak terduga. Ia hadir ke dalam ‘kamar-kamar intim perasaan’.  Sedangkan kebohongan selalu direkayasa dari ‘laboratorium-laboratorium sangar pikiran’. Cinta tetap bisa dirasakan meskipun tidak kesampaian atau ditolak sekalipun. Dan jikapun terpaksa terpendam, suatu saat ia akan hadir berupa larik puisi atau notasi lagu. Bilapun harus hancur akan seperti lilin, tubuhnya pelahan musnah sendiri setelah bertugas menerangi. Sedangkan kebohongan berjamaah yang dilakukan oleh sebuah lembaga akan bisa melibas lembaga lain yang sejenis dan merupakan pesaingnya. Lebih-lebih dalam dunia usaha: dari kelas mie ayam hingga yang sudah berlabel unicorn sekalipun. Kemudian akan lahirlah ketamakan berpilin-pilin yang tidak berkesudahan, padahal mereka juga pernah “menuntut ilmu tentang kebajikan” di sekolahan!!!).


*MIKROKREDO edisi 07 rencananya berjudul: STRAIGHT POLITICS VS STAIRS POLITICS. Tidak hanya Plato dan Machiavelli  yang berbeda pendapat saat membuat tafsir politik. Sesungguhnya kita pun bisa menyusun tafsir sendiri-sendiri tentang politik!!  


 

MIKROKREDO Edisi 0

STAIRS POLITICS VS STRAIGHT POLITICS 

DULU SAYA SUKA BERPIKIR bahwa mereka yang terjun ke dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai caleg (calon legislatif) maupun calek (calon eksekutif) adalah orang-orang hebat. Mereka relakan dananya dengan tujuan untuk menyejahterakan warga. Selain ada yang disetorkan kepada partai, juga untuk membeli spanduk, kaos, umbul-umbul, banner yang bergambar dirinya dan dipasang di sepanjang jalan agar bisa dilihat orang-orang. Termasuk menyewa panggung kampanye tempat penyanyi bergoyang-goyang. Uang mereka tentu banyak. Namun cita-cita hebat untuk menyejahterakan rakyat itu tidak serta merta menjadi nyata. Butuh waktu dan “tangga-tangga” untuk mewujudkannya. Ropat-rapat dulu, ubyang-ubyung study banding dulu, pidato-pidato dulu, dst. “Tangga-tangga” itu juga harus dilewati terlebih dahulu ketika masih dalam proses pencalonan.  Dua buah tangga tinggi sekali dan butuh dana besar yang harus didaki sebelum mewujudkan bakti kepada negeri. Dan ketika pelantikan, harus disumpah dengan kitab suci lagi. Itulah STAIRS POLITICS!!
Berbeda dengan STRAIGHT POLITICS. Seseorang yang ingin berbakti kepada warga bangsanya, ia bisa LANGSUNG mewujudkannya.  Diam-diam. Tiada kerakusan yang mengaliri kanal-kanal syaraf di kepalanya.  Tanpa perlu hirarki dan seremonia nan gegap-gempita. Ia membagikan DANA serta GAGASAN KEMASYARAKATAN tanpa mengharap pengembalian berupa pujian. Tulus mengabdi tanpa basa-basi. Tidak harus berfoto dengan mengenakan peci-santri kemudian dipasang di pinggir-pinggir jalan.  Apalagi foto dengan paras yang tersenyum itu dihasilkan dengan memaksa tukang foto. Dipaksa memotret berulang-ulang agar bisa dihasilkan foto senyuman yang paling menawan!!  Bagi mereka yang berkredo straight politics ini, politik tidak identik dengan perebutan kursi kekuasaan. Politik itu adalah cara untuk mengajak sejahtera dan bahagia kepada satu, dua orang se RT, se kelurahan  atau se kecamatan dan seterusnya.  Tidak dengan memancing perseteruan dan ujaran kebencian. Tanpa harus disertai penyematan tugas jabatan di pundaknya. Panggilan tugas itu sudah sangat melekat di hati serta jiwanya sebagai pengejawantahan ketuhanan.
Nah, bagi mereka yang  kalah dalam kancah perebutan sebagai CALEG atau CALEK, maukah mengubah SYAHWAT STAIRS POLITICSNYA-nya menjadi SEMANGAT STRAIGHT POLITICS? Jangan malah meminta kembali seperangkat sound system yang telah diberikan kepada warga demi mengijon suara. Padahal warga sudah terlanjur getol latihan paduan suara. Atau malah ngumpet untuk muncul 5 tahun lagi dengan kembali berfoto peci-santri disertai gaya dan senyuman lebih palsu lagi??!!  Setiap manusia adalah zoon politicon, sehingga dalam mendefinisikan politik sering  tidak sama.  Mungkin hingga kini  Socrates dan Machiavelli pun tetap berseberangan pandangan tentang politik dalam “forum akademia” di alam barzah Sana.
(Berbeda dengan politik, CINTA harus ditempuh dengan satu cara yaitu melalui bertangga-tangga.  Pertama-tama mengenal si dia. Kemudian membawakan coklat, buah-buahan atau aneka mainan  buat adik-adiknya. Untuk mengambil hati calon mertua, diperlukan lobi-lobi tingkat tinggi.  Bisa diajak main catur dengan langkah bidak-bidak yang sengaja mengalah. Atau pura-pura serius mendengarkan kisah perjuangan hidup calon mertua, meskipun sesungguhnya membosankan. Bergaya antusias dan sepaham jika diajak ngobrolin tentang banyak hal, padahal berlainan sudut  pandang. Merebut cinta butuh strategi juga, demikian pun ketika kemudian harus merawatnya).  
Catatan:
*Machiavelli= Politik itu cara meraih kekuasaan dengan berbagai cara.
*Socrates= Politik itu seni yang mengandung kesantunan.   

 

*********************************************************************
MIKROKREDO Edisi 08 

LIBERASI COPYPASTE VS LITERASI DIGITA

DULU SAYA TIDAK MEMBAYANGKAN bahwa kegiatan menyontek itu akan semudah dan setanpadosa sekarang. Bahkan bisa jadi justru mendatangkan pahala. Yaitu sepanjang yang dicontek dan disebarkan itu perkara kebaikan yang menghibur dan menambah wawasan. Namun suatu ketika sempat kaget juga ketika mendapati sebuah akun yg memposting karya penulis terkenal.  Tetapi diakui seolah merupakan karya pemilik akun.  Akun ini sangat aktif “berkarya” dengan membajak karya orang lain.  Follower-nya yang banyak kok ya diam saja. Malah kagum (nge-like) “buah karya” palsu pemilik akun itu. Terjadilah tidak paham berjamaah!! Meng-copypaste kini memang bebas dan mudah. Tinggal klik, dan berharap teman yang di sana akan ketawa-ketiwi dengan materi yang diposting. Namun “jebul” diam saja. Ternyata sang teman sudah lebih dulu tahu dari grup yang lain. Terjadilah tabrakan copypaste!! Garing deh....
Tidak akan ada kekuatan yang mampu menghentikan budaya copypaste ini. Yang ada adalah tekad untuk mengendalikan. Yakni berupa kesadaran bahwa selain tangan, kaki dan lainnya, kita juga diberi organ berupa bongkahan otak. Melalui aktifasi otak itulah kita bisa jeda sejenak dari hasrat ber-copy paste. Yaitu dengan mengolah diksi atau ujaran yang murni hasil “pemikiran” otak kita. Sehingga produk digital itu bisa kita tempeli dengan karya literasi. Sedikit kata saja juga nggak apa-apa. Misalkan kita sedang berteduh di suatu tempat karena hujan. Teks yang kita terakan dalam foto jangan hanya DI SINI HUJAN, kemudian di-posting. Tetapi lengkapi dulu menjadi DI SINI HUJAN, JUGA MENGHUJANI HATIKU YANG KEPENGIN RINDU!! Kiranya inilah Literasi Digital itu. Atau kita sedang berpose pada sebuah taman, literasi digitalnya bisa berbunyi: DI ANTARA BUNGA-BUNGA, MEMANDANG KUNTUM-KUNTUM MASA DEPAN KITA!!
Sesungguhnya antara copypaste atau bukan copypaste, baik-baik saja kok. Kedua-duanya akan nglarisi penjual data internet.   Para produsen pemilik kartu simcard pun akan senang-senang saja. Tak peduli apa yang kita posting.  Harapan mereka: boros-boroslah bermedsos biar berkali-kali kuota data cepat habis!!  Penjual data di lapak itu pun sedang kredit motor. Jika dagangan kuota internetnya laris,  hitung-hitung membantu dia agar motornya tidak ditarik leasing. Jadi jika ada seorang ibu yang mem-posting :“Nak, di sini cuaca lagi mendung lho, gimana dengan di kotamu?” atau “Sedang masak apa kamu hari ini?”. Postingan remeh-temeh kayak gini akan tetap membantu pertumbuhan ekonomi juga lho.  Namun marilah sejenak kita rawat karunia berupa otak kita dengan senantiasa memberdayakannya.  Salah satunya dengan membubuhkan teks-teks literasi dalam karya digital kita. Boleh puitis, bisa pula bercanda. Seperti dalam foto-foto terlampir. Hasil reuni bersama teman-teman se angkatan di Balkondes Magelang, Taman Bunga Celosia Bandungan, di Wujil Resort Ungaran, di Stasiun Kereta Api Ambarawa dan di Kampus Undip Semarang beberapa waktu yang lalu.

(CINTA.  Apakah cinta yang kita miliki ini adalah copypaste kisah Adam+Hawa, Romeo+Juliet, Mark Antony+Cleopatra, Oddyseus+Penelope, Shah Jahan+Mumtaz Mahal, Galih+Ratna, Rangga+Cinta, Sampek+Engtay, Jayaprana+Layonsari, Panji Asmorobangun+Dewi Candrakirana? Ribuan lembar karya literasi telah diciptakan oleh kisah-kisah cinta nan melegenda itu. Apakah kisah cinta kita akan layak untuk di-copypaste oleh anak-cucu?)    

 
 
 
 
 

 
 
  

  
 
 
 

 
 
 
 
 
____________________________________________________ 

MIKROKREDO edisi 09 
  
GENERASI CHASING VS GENERASI KONTEN
Buku kenangan SMP dan  SMA ini karya generasi kini, yang SMA terbit Mei 2019. Di berbagai sekolah  juga membuatnya dengan bentuk yang serupa. Segi visualnya memang bagus. Full colour dengan hardcover nan megah. Namun teks literasinya sangat simpel.  Hanya memuat NAMA dan secuplik data. Kita maklumi, sebab budaya baca memang masih berada dalam tataran wacana dan narasi. Dan mencenderungkan para peserta didik lebih berorientasi kepada chasing-kebendaan (materialisme).  Belum kepada konten-transendental (religiositas). Di balik itu kiranya ini adalah keberuntungan zaman.  Digitalisasi sangat berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi kreatif.  Juga perkembangan desain grafis.  Didukung oleh segenap perangkat teknologinya yang kebanyakan berasal dari luar negeri. Salah satunya KAMERA DIGITAL.  Dalam konteks itulah tampaknya akan ciamik jika trend tersebut didampingi dengan KAMERA KATA-KATA. Tidak saja dalam rangka pembuatan buku kenangan, namun juga untuk merespon segenap fenomena.  KAMERA KATA-KATA itu pernah saya pakai untuk memotret TEMAN-TEMAN SMA yang terbit MEI 1982, seperti terlampir. Setelah kulineran, fashion, nyalon dan spa, mari kita ajak anak-anak ke perpustakaan atau toko buku.  Kalau nggak ada waktu, baca e book di HP juga boleh. NJO, kita kembangkan budaya literasi, sambil merawat keseimbangan kinerja OTAK KANAN dan OTAK KIRI generasi. Giat membaca, sambil tetap berteknologi. Agar lahir ide-ide yang humanis!! 

(CINTA yang dipotret dengan kamera digital memang tampak indah. Seindah apapun hasilnya tetaplah membutuhkan kata-kata untuk memperjelas penandanya. Boleh saja bila ada yang berpendapat bahwa cinta tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Tetapi bilamana sudah sampai pada episode: Will you marry me?, akankah diam saja?  Kemudian ketika dalam perkawinan sang pasangan ternyata diam-diam mendua, juga akankah membisu kata: mbengok dong!!  Sesungguhnya cinta tak bisa dipisahkan dari kata-kata.  Bahkan ada yang sampai merasa kehabisan kata-kata, sebab begitu indahnya cinta.....) 





 




___________________________________________________________

















**********************************************************************









Komentar